️️ ️️
“Apa kabar, Mahesa?” Sang empunya nama langsung merutuki dirinya sendiri yang betulan patuh kala di titah menuju ke tempat sangwira yang tengah menantinya di atas ketinggian gedung sekolah mereka itu, seraya duduk santai di sofa lusuh dan merokok dengan tenang juga. Entah dari mana ia dapatkan pemantik api sampai dapat nyalakan batang rokoknya itu, apa mungkin benar-benar lakukan hal yang ia sebut primitif itu sebelumnya.
“Kita gak akrab, gak udah sok asik deh” Prasatya malah terkekeh geli mendengar bagaimana Mahesa menyahutinya dengan nada ketus, namun Mahesa terus melangkah mendekatinya dan ambil posisi yang entah mengapa begitu gegabah ia ambil.
“Gue belum ada nyuruh lo duduk” Godanya yang berhasil buat pipi Mahesa merona padam, sebab ia sudah terlanjur lancang duduk di atas pangkuan Prasatya dengan posisi saling berhadapan.
“Yaudah sih, nanti juga lo suruh duduk sini kan?” Lagaknya tak peduli namun detak jantungnya yang terdengar riuh jenaka di rungu Prasatya tak ayal buat Mahesa lagi-lagi harus tebalkan muka.
“Tunggu ya, gue abisin ini dulu” Mahesa palingkan wajahnya ke arah manapun asal tatapannya tak saling tukar pandang dengan netra kelam Prasatya yang tampak begitu berbinar kala memantulkan bayangan wajahnya.
“Sejak kapan lo jadi gay?” Celetuk Mahesa asal, agar kecanggungan yang ia rasakan segera menguap.
“Lo tau dari mana emang kalo gue gay, heum?” Tubuh Mahesa menegang, telapak tangan besar Prasatya yang bebas mengusap-usap pinggang ringkihnya dengan lembut, seolah dengan cara tak langsung ia mau Mahesa menatap ke arahnya kembali.
“Lo - kan, kemarin lo cium gue! Lo juga gay berarti kan kalo gitu!” Sahutnya tergugu namun cukup lantang di akhir, sebab tangan Prasatya kian jenaka menarik kemeja seragamnya keluar dari rengkuhan lingkaran celananya, lalu ia telusupkan tangannya kedalam sana tuk mengusap area pinggangnya secara langsung.
“Gue gak suka cowo, Mahesa” Netra bambinya merekah sempurna dengar sahutan Prasatya yang terasa melukai harga dirinya yang terlanjur mengaku sukai sesamanya.
“Tapi gue gak suka cewe juga sih” Lanjutnya, namun terlalu ambigu. Mahesa tak paham ke arah mana sexualitas Prasatya yang sebenarnya.
“Terus kenapa lo cium gue kemarin? Atau - lo sengaja kan? Lo mau ngancurin reputasi gue? Oh atau lo siapin kamera juga? Buat rekam moment kemarin, iya?” Mahesa terlalu menggebu-gebu berujar dan menerka, sedang Prasatya hanya tersenyum kecil dengan tangan kirinya yang semakin jauh berkelana sampai masuk ke dalam celana dan dalaman Mahesa tuk meremas langsung pantat sintalnya yang sering diperhatikannya kala tengah berjalan di belakang sang empu.
“Gue aseksual dan kasus gue ke lo itu —”
“Enghh! Prasatya-hhh tangan lo shhh keluarin gak!” Mahesa mendesah keras, kala mulai tersadar pantatnya tengah Prasatya permainkan dengan gemas.
“Jangan teriak-teriak nanti ketahuan orang, udah lo diem aja, dengerin gue ngomong dulu” Katanya seraya coba sesap batang nikotinnya yang masih tersisa setengah.
“Gue ulangi, gue aseksual dan kasus gue ke lo itu, gue juga gak tau? Semuanya berawal dari lo tiba-tiba masuk team basket setahun lalu. Pas kita semua mandi bareng, gue gak tau kenapa gue ngerasa horny pas liat lo telanjang. Padahal gue udah biasa mandi bareng sama anak-anak lainnya”
“Enghh Satya-hh shhh!” Mahesa menjatuhkan dirinya ke tubuh Prasatya, wajahnya ia simpan di ceruk leher sang empu, jemari mungilnya meremas seragam Prasatya sampai lusuh.
Prasatya menyesap batang nikotinnya untuk terakhir kalinya, walaupun masih tersisa namun langsung ia jatuhkan setelahnya ke dalam gelas minuman plastik yang terisi sedikit air.
“Gue inget banget gimana ringkihnya pinggang lo ini” Kini kedua tangannya meremas pinggang Mahesa yang selalu ia bayangkan setiap kali tengah ingin.
“Satya-hhh shhh!”
“Inget banget gimana sintalnya pantat lo ini shhh. Ah sial kenyel banget ternyata” Mahesa tak tahu sejak kapan ikat pinggangnya melonggar hingga telapak tangan besar Prasatya bisa menelusup masuk keduanya, tuk meremas-remas pantatnya dengan gerakan yang sensual dan sialnya terasa nikmat.
“Satya-hhh jangan terlalu kebawah” Mahesa tak fokus diajak berbicara nyatanya, ia terlalu sibuk menahan gejolak ingin dalam dirinya yang semakin meningkat, sebab ujung jari tengah Prasatya yang lentik teras membelai kerutan bunga krisannya.
“Gue sering coli sambil bayangin lo lagi nunggangin batang gue. Shhh gue bayangin lo lagi naik-turunin pantat lo ini, sambil merem melek keenakan, padahal wajah lo udah kacau, badan lo penuh sama cupang dari gue yang kesiram keringat lo. Shhh Mahesa … lo pasti indah banget”
“Stop-hhh udahh enghh!” Tubuh Mahesa menggelinjang saat Prasatya menekan salah satu jari masuk ke dalam kerutan bunga krisannya.
“Pasti enak banget rasanya, kalo batang gue di jepit sama anal lo yang sempit ini. Mahesa, lo buat gue gila bertahun-tahun. Lo buat gue jadi terobsesi buat coli tiap malem setiap abis lo hukum”
Mahesa meringis dan tanpa sadar menggigit leher Prasatya, sebelum kemudian ia sesap kuat untuk merendam desahannya yang semakin acak ia vokalkan.
“Gue gak bisa berhenti, gue benar-benar terobsesi sama lo Mahesa, bahkan gue sering coli di depan layar hp gue yang lagi nampilin foto lo yang abis main basket. Shhh gue bayangin bisa bucat di wajah lo pasti enak banget”
“Stop-hhh!” Mahesa mencoba bangkit usai tanpa sadar buat tanda merona di leher jenjang Prasatya.
“Cium. Cium gue Mahesa” Ucap Prasatya dengan suara merdunya yang buat Mahesa tak mampu berkata tidak.
Di tangkupnya wajah Prasatya tergesa, lantas ia satukan ranum mereka kembali selekat hari lalu. Dengan amatir Mahesa berusaha membalas lumatan bibir Prasatya yang begitu lincah dan terasa nikmat, sampai lama kelamaan rasa kenikmatan lain di bagian belakang tubuhnya mulai menyengatnya bak aliran listrik bertegangan tinggi.
“Enghh emphh satya-hhh emphh!” Tubuh Mahesa lunglai, jari tengah Prasatya masuk begitu dalam, bergerak keluar masuk dengan lincah walaupun terasa sulit, lantas coba menyentak lebih dalam lagi sampai ujung kukunya terasa mengecup kuat prostat Mahesa.
“Ahh satya-hhh shhh katanya lo ahh gak suka di tempat umum shh stop gue gak tahan!”
“Tapi gue selalu hilang akal tiap sama lo. Shhh jari gue bisa remuk ini rasanya, gue jadi bayangin gimana kalo batang gue yang ada di dalem sini shhh pasti enak banget”
“Heunghh Satya-hhh shhh emhh!” Mahesa kembali melumat bibir Prasatya dengan acak-acakan, kedua tangannya menarik tengkuk Prasatya seolah tak mau ciuman mereka terurai.
Prasatya tersenyum puas, dapat menjamah tubuh Mahesa, yang sudah lama diam-diam ia intai bak mangsa ternikmat. Jari tengahnya perlahan ia berikan teman dengan ia telusupkan jari telunjuknya, lantas dua jarinya yang bersarang itu langsung ia gerakkan maju-mundur dengan semakin cepat temponya, sesekali juga akan ia benamkan begitu dalam di liang anal Mahesa tuk gapai prostatnya sampai sang empu mendesah keras, walaupun kesulitan mengudara sebab mulutnya sibuk tukar saliva dengannya.
Tak ada adegan merokok dan pelajar step selanjutnya bagi Mahesa dari Prasatya, ranum indah Mahesa tak sesap batang nikotin sebatang pun sebab terlalu sibuk menyesap bibir Prasatya yang memberinya ciuman terbaik.
Mahesa mengeram rendah di ceruk leher Prasatya saat sesi ciuman mereka harus usai, tubuh Prasatya ia rengkuh erat saat rojokan kedua jari sang empu di liang analnya semakin kasar dan hantaman bertubi-tubi di prostatnya semakin tak terkendali, Mahesa merasa lemas dan tak berdaya, batang penisnya yang terbungkus rapi di dalam celana dalamnya terasa nyeri dan kaku, perut bagian bawahnya tergelitik, rasa yang familiar ia rasakan kala tengah mempermainkan batang penisnya sendiri kini tiba-tiba ia rasakan.
“Prasatya-hhh ahhh mau cum shhh ahhh gak kuat ahh …” Prasatya mengecupi area bahu Mahesa sayang, seraya semakin cepat mengocok liang anal Mahesa dan menganiaya prostatnya tanpa ampunan.
“Keluarin aja sayang, Mahesa kan anak pinter, jadi nurut ya? Ayo Mahesa keluarin aja, keluarin yang banyak ya sayang?” Yang dipanggil dengan buaian kasih merengek kecil, tubuhnya yang sensitif berusaha semakin merapat ke tubuh Prasatya.
Prasatya tersenyum culas, saat Mahesa tiba-tiba menggerakkan pinggulnya acak, mungkin ia tengah mencoba menggesekkan gundukan penisnya yang ereksi sempurna itu ke tubuh kekarnya.
“Shh ahh Satya-hhh ahhh Satya-hhh ahhh!” Tubuh Mahesa bergetar hebat usai mengenjan kuat, saat Prasatya langsung menenggelamkan seluruh ruas kedua jarinya dengan begitu dalam, hingga menekan prostatnya kuat dan semburan dari cairan hangat dan kental dari batang penisnya pun membasahi dalamannya yang buat Mahesa meringis setelahnya, saat ia menyadari dapatkan pelepasannya tanpa sedikitpun batang penisnya itu tersentuh.
“Enak? Suka? Kalo iya, mulai sekarang nurut ya? Biar gue enakin terus, tiap lo ngerasa stress”
Tubuh lemas Mahesa tak bergeming, masih merengkuh tubuh Prasatya, walaupun tak lagi terasa erat. Tak ada jawaban yang ingin ia gumamkan, entah mengapa setelah dapatkan pelepasannya yang kali ini dibantu Prasatya ia mendadak hilang daya, seolah sentuhan Prasatya adalah yang ternikmat.
“Tidur aja, kalo sekolah udah bubar gue anterin balik” Ujar Prasatya serata benahi pakaian Mahesa.
“Gak enak, basah” Cicit Mahesa lirih, sedang yang dimaksud adalah area kelaminnya yang dipenuhi cairan ejakulasinya.
“Sabar ya? Nanti sampe mobil gue lo ganti aja, gue bawa celana kok”
“Papa?”
“Lo lupa gue anak siapa? Tenang aja, papa lo malah bakal senang liat lo akrab sama gue”
Mahesa menghela nafas lega sebelum kemudian coba raih buaian alam bawah sadarnya. Setidaknya Mahesa memang harus bersyukur bertemu sosok Prasatya. Selain bisa menjadi dirinya sendiri di hadapannya, Mahesa juga selalu dapat terselamatkan dari amukan Ayahnya dan omelan Ibunya, sebab sosok Prasatya adalah anak dari sosok yang orang tuanya hormati, bonusnya lagi segala bebannya yang jadikan dirinya merasa sinting langsung menguap pergi seolah tak pernah singgah.
“Selamat istirahat, princess” Kecupan sayang Prasatya bubuhkan di dahi Mahesa, sebelum ia rengkuh erat tubuh yang lebih jangkung darinya itu namun nyatanya begitu ringkih saat di dekapnya.
Mahesa masih dengar, Mahesa masih sadar, kecupan lembut dan panggilan untuk seorang gadis itu seharusnya buatnya marah, namun ia tak tahu mengapa, ia malah menyukainya hingga ia terlelap dengan senyuman manisnya.
Rasanya tak apa, dunia kacau balau, takdirnya pelik, orang tuanya tidak peduli padanya, masa bodoh dengan segala kegagalan dan tuntutan hidupnya, kini Mahesa rasa, semuanya kan baik-baik saja, asal ada Prasatya untuknya.
Walaupun asing, terlampau mencurigakan, dan terkesan tak masuk akal, Mahesa yakin, Prasatya orang yang ia butuhkan untuk tetap hidup dan waras.