01 . DCMA

pshaconne
9 min readJan 20, 2024

--

Pagi ini BELIFT High School tengah digemparkan dengan berita miring. Tentang salah satu pebisnis sukses sekaligus petinggi Korea yang di gadang-gadang telah terlibat kasus penyuapan pada seorang Hakim yang menangani kasus sengketa lahan serta penghilang barang bukti. Sehingga pihak yang bersangkutan bisa memenangkan kasus tersebut secara telak pada masa nya. Lebih tepatnya sepuluh tahun lalu.

Berita itu jelas sangat menggemparkan di sekolah tersebut sebab anak dari petinggi yang dimaksudkan kini tengah berstatus siswa tingkat akhir di sana.

Park Jongseong. Atau biasa dikenal dengan nama panggilan Jay.

Jay adalah seorang pemuda tampan yang sangat ramah sopan dan murah senyum. Ia juga sangat rendah hati dan berkepribadian hangat. Pembawaannya juga selalu tenang dan berwibawa secara bersamaan. Ia tidak sedikitpun terlihat seperti sosok anak petinggi yang sombong. Ia tidak pernah menggunakan kekuasaan Ayahnya sama sekali. Bahkan untuk masuk di sekolah elit tersebut ia melalui jalur seleksi yang sama seperti siswa lainnya.

Pemuda itu juga dikenal sangat mandiri serta dermawan. Ia bekerja part time di salah satu cafe sebagai seorang barista. Meskipun gajinya tak sampai sentuh angka seperempat dari uang sakunya.

Ia juga sering terlihat pergi ke sebuah yayasan kanker dan panti asuhan untuk berbagai apa yang ia punya dan membantu apapun yang ia bisa.

Sungguh status anak dari orang berpengaruh di negaranya tak semerta-merta membuat Jay tumbuh menjadi anak yang angkuh dan gila hormat.

Jay adalah pemuda yang baik. Sangat.

Namun usai meledak nya issue miring tentang sang Ayah kemarin sore. Sejak pagi tadi, saat ia sampai di sekolahnya itu tiada henti hentinya ia mendengar namanya dijadikan bahan olokan dan gunjingan seluruh siswa di sana. Yang katanya mereka siswa sekolah elit dengan rata-rata IQ yang tinggi serta sangat sopan dan bermartabat.

Namun sebab kesalahan sang Ayah yang bahkan masih abu-abu. Beritanya juga masih simpang-siur namun mereka yang dahulu begitu baik padanya dengan mudahnya kini menunjukkan wajah aslinya.

Yang nyatanya munafik. Dekat dengan nya hanya karena ia anak orang yang berpengaruh. Apalagi posisinya sebagai orang terkaya nomor empat di Korea.

Belum lagi sosoknya juga terlalu baik. Sangat sulit ia dapat temukan orang-orang bermuka dua itu dahulu.

Hatinya terlalu putih untuk berfikir buruk tentang orang-orang di sekitarnya. Yang nyatanya tak satupun dari mereka yang benar-benar menerima sosoknya sebab dirinya sendiri yang apa adanya.

“Gitu aja mau bunuh diri”

Jay yang sedang berdiri di ujung rooftop sekolahnya dengan keduanya tangannya yang mengepal erat di atas pagar pembatas spontan menolehkan kepalanya ke arah samping kanannya. Dimana seorang pemuda manis bertubuh jangkung namun juga sangat ringkih itu kini berdiri tepat di sampingnya.

“Siapa juga yang mau bunuh diri?” Sahut Jay sedikit sinis. Baru kali ini Jay begitu buruk menyahuti ucapan seseorang. Maklum saja suasana hatinya benar-benar kacau saat ini.

Lagipula memang benar ia tidak berniat untuk bunuh diri. Jay hanya ingin menenangkan badai terus yang bergemuruh di pikirannya, itu saja. Dan lagi ia juga tengah menghindari orang-orang tidak jelas yang sok tau tentang dirinya bahkan dengan berani memfitnahnya macam-macam.

Maka dari itu, ia memilih untuk mengasingkan dirinya di sana dengan sengaja. Karena tempat itu sangat jarang didatangi oleh siapapun kecuali petugas kebersihan, itu pun hanya disaat sekolah telah benar-benar ditutup.

“Syukurlah” ujar pemuda itu.

Jay masih terpaku di tempatnya dengan posisi yang tak berubah sama sekali. Ia masih tetap memandang ke samping ke arah pemuda manis itu, yang nyatanya memiliki surai berwarna dark purple yang sedikit samar. Dan sepertinya hanya akan terlihat jika disinari cahaya matahari saja.

Surainya tampak indah saat terpapar sinar matahari warnanya begitu menarik perhatiannya dan lagi surainya itu tampak begitu lembut saat terombang-ambing hembusan angin.

“Mau aku bantu?”. Jay mengerutkan dahinya mendengar ucapan pemuda manis tersebut.

“Bantu apa?”. Jay yang sedari tadi masih menatap lekat intensitas keberadaan pemuda manis di sampingnya itu kini sedikit kagum. Sebab netra elangnya bertemu tatap dengan netra bambi sang empu yang begitu bulat jernih dan indah.

Pemuda manis itu sangatlah cantik. Di benak pikiran Jay.

Ekhem. Aku bantu buktikan jika Ayah mu tidak bersalah”

“Bisa memang?”

“Aku anak Hakim. Ayahku pernah menceritakan kasus sengketa ini. Dan ya … aku tahu sedikit tentang hal ini”

“Kau mau aku membuktikan jika Ayahku seorang penjahat, begitu?”

“Kau sudah membahas hal ini dengan Ayahmu tidak? Dia sudah memberimu penjelasan yang sebenarnya belum?”

“Sudah. Dia hanya mengatakan jika dia tidak bersalah. Karena surat-surat yang dia punya asli dan disahkan negara bahkan di persidangan Ayahku menghadirkan saksi yang sah juga. Namun sialnya saksinya telah meninggal dunia, dua tahun lalu”

“Lalu kenapa kau bilang … jika aku membantumu sama saja untuk membuktikan jika Ayahmu seorang penjahat?”

“Entahlah … aku hanya tidak percaya lagi padanya”

“Kau jadi pribadi yang seperti ini sebenarnya didikan siapa, huh? Setahuku, maaf Ibumu telah berpulang saat kau duduk di bangku taman kanak-kanak. Lalu jika bukan Ayahmu yang mendidik mu, dari mana sifat dan sikapmu selama ini?”

“Hah …. Yayaya. Dia yang mendidik ku”

“Lalu kenapa kau tidak mempercayainya?”

“Orang-orang di sekitarku juga sama baiknya seperti Ayah. Seolah tidak ada kesempatan untuk mereka menikam ku. Dan setelah kasus ini aku belajar bahwa, semua hanya tentang waktu saja untuk mengungkapkan segala kebenarannya. Bisa saja Ayahku manipulatif juga kan aslinya?”

“Jay?”. Sang pemilik nama sedikit terkejut. Saat pemuda manis itu mengetahui nama panggilannya. Padahal keduanya tidak saling mengenal sama sekali. Dan rasa-rasanya hari ini adalah pertemuan pertama mereka. Jika pun pemuda manis itu tahu tentang dirinya sebab kasus tersebut seharusnya pemuda manis itu tidak memanggilnya dengan nama akrabnya.

“Apa?”

“Ayahmu orang baik. Itu yang aku tahu dan itu yang aku kenal. Apa kamu tahu? Bahwa di semesta ini dia hanya punya dirimu saja? Dan apa kau tahu jika Ayahmu sangat menyayangimu?”. Jay hanya mampu terdiam menanti seluruh penjelasan pemuda manis tersebut sampai selesai.

“Jika kau saja, satu-satunya orang yang dia miliki dan sangat dia sayangi tidak mempercayainya. Lalu … kemana dia harus pulang saat ini? Seluruh semesta saat ini tidak memihak nya tapi bukankah seharusnya dia masih punya dirimu disisinya saat ini?”

Jay paham maksud pemuda manis itu. Tentang pulang yang tidak berarti kembali ke rumah. Namun kembali pada tempat ternyaman di sisi orang yang sangat di-percayainya dan juga mem-percayainya. Hingga dapat redam dengung di rungu nya sebab lantangnya suara gemuruh petir gunjingan. Juga dapat melindungi tubuhnya dari dinginnya angin yang berhembus kencang sebab amukan badai masalah. Lalu beri pelukan hangat, aman, nyaman, dan sanggup berinya rasa tentram.

“Aku tidak mengenalmu dengan baik. Tapi dengan tuan Park, aku cukup kenal. Dia orang baik. Aku harap kau mempercayainya. Aku paham, kau juga kacau dapatkan banyak penghianatan dari teman-teman bahkan sahabat mu saat ini. Sebab ulah yang sebenarnya bukan salah Ayahmu. Tapi setidaknya gunakan logikamu. Jangan biarkan egomu merubah jati dirimu. Dan membiarkan Ayahmu terluka seorang diri sebab orang-orang tak bertanggung jawab yang ingin melengserkan posisi Ayahmu”

“Lalu imbalan apa yang harus ku berikan untukmu? Aku yakin ada yang kau mau dari diriku”

Jay tidak ingin berprasangka buruk terhadap pemuda manis di sisinya tersebut. Namun di dunia ini tidak ada yang gratis, pasti ada harga yang harus dibayar bahkan untuk sekedar uluran tangan tulus dari sosok di sampingnya tersebut.

“Aku rasa kau tidak suka bertele-tele jadi aku akan menjelaskannya secara terperinci dengan jelas. Tapi aku harap kau tidak menyela sampai aku selesai berbicara”

Jay diam sebentar untuk menimang-nimang sembari menerka-nerka sebenarnya apa yang pemuda manis itu incar darinya. Semoga bukan hal buruk untuk masa depannya nanti.

Sambil menghela nafas panjang Jay akhirnya pilih menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Agar pemuda manis itu memulai ceritanya.

“Ayahku dan sahabatnya terlibat perjanjian kuno. Dia berusaha menjodohkan ku dengan anak sahabatnya itu. Aku jelas tidak mau —”

“Kau mau aku — maaf silahkan lanjutkan. Tapi beritahu aku namamu terlebih dahulu”

Hah … namaku Heeseung, Lee Heeseung. Aku anak kelas 12-2. Aku anak Lee Heebin. Kau pasti tahu siapa Ayahku itu”

“Lanjut ke topik awal. Aku menentang perjodohan yang Ayahku dan sahabat nya itu rencanakan. Aku tidak mau bersama dengan seseorang yang tidak aku cintai terutama karena dia bukan pilihan ku sendiri. Lagipula aku sudah cukup banyak menurut seumur aku hidup sampai saat ini, aku terlalu banyak patuh pada perintah dan kemauan orang tua ku. Ini kali pertama aku menentang permintaan mereka sebab aku benar-benar tidak suka”

“Lalu?”. Jay mencoba bersuara dengan hati-hati. Tidak bermaksud memotong atau menginterupsi cerita sang empu namun sebab pemuda itu kini mulai memalingkan wajahnya sehingga tatapan mereka tak lagi bertemu. Kini si manis malah mantap kosong lurus ke depan pada bangunan-bangunan megah di sekitar sekolah mereka.

“Aku mau kau membantuku membatalkannya”

“Okey … tapi dengan cara apa?”

Netra bambi pemuda manis bernama Heeseung itu kembali bertemu tatap dengan tajam tatapan netra elang Jay yang sedikit mengintimidasinya.

Dengan perasaan yang campur aduk serta sangat mendebarkan. Dengan getaran hebat di dadanya yang membuncang dan terus menjalar ke seluruh tubuhnya. Dengan pikirannya yang sudah melewati batas warasnya. Heeseung dengan hati-hati mengucapkan kesepakatan yang ia inginkan lewat bibir mungilnya yang semula merona alami itu dan kini telah menjadi pucat pasi.

Setelah pertemuan dan percakapannya dengan pemuda manis itu siang tadi. Malam ini Jay tidak dapat tidur dengan nyenyak sebab memikirkan kesepakatan mereka yang telah ia sepakati.

Gila. Satu kata yang pantas untuk Jay saat ini dan juga untuk pemuda manis itu.

Bagaimana bisa Jay dengan mudahnya membeli apa yang Heeseung jual?

Bagaimana mungkin Jay dengan mudahnya menukar nama baik Ayahnya dengan kesepakatan konyol tersebut?

Bagaimana dan hanya bagaimana. Seolah-olah hal yang tadi ia sepakati dengan si manis adalah sebuah tindakan di luar kesadarannya.

Jay menghela nafasnya untuk yang kesekian kali. Kemudian bangkit dari posisinya yang sebelumnya telah berbaring terlentang di atas kasurnya.

Jay turun dari ranjang tempat tidurnya. Lalu melangkahkan kakinya keluar kamar untuk pergi ke dapur. Segelas air mineral mungkin dapat tawarkan pikiran keruhnya.

Namun belum sampai di lantai dasar menuju arah dapur Jay spontan menghentikan langkah kakinya saat mendengar percakapan sang Ayah dengan seseorang melalui sambungan telepon.

Dari suaranya saja Jay dapat menangkap, jika Ayahnya sangat frustasi dengan kondisinya saat ini.

Wajar, sebab issue tidak jelas itu harga saham perusahaan-perusahaannya menurun. Beberapa kontraktor bahkan dengan tidak hormat memutuskan kerja sama dengannya.

Posisinya di pemerintahan juga terancam. Belum lagi sedari kemarin sikap Jay padanya sangat tidak baik. Jelas saja pria berusia kepala empat itu sangat frustasi dibuatnya.

‘Terimakasih untuk malam ini Jihan … aku sangat menyayangimu. Selamat malam’

Kaku. Tubuh Jay mendadak kaku di tempatnya. Keringat dingin bahkan langsung melingkupi sekujur tubuhnya.

Sebab, usai sang Ayah puas mengadu. Jay baru menyadarinya. Saat lirih suara pamit sang Ayah ucapkan pada sang empunya nama. Nyatanya sang Ayah tidak sedang bercakap-cakap dengan seseorang di balik sambungan teleponnya.

Air mata Jay menetes membasahi pipinya. Sang Ayah nyatanya benar-benar frustasi dan tak memiliki tempat untuk mengadukan ulah kejahatan semesta. Sampai pulang, tempatnya kembali hanyalah pemilik hatinya seorang. Dia yang kini telah berada di keabadian.

Yoon Jihaan atau Park Jihan. Nama mendiang istrinya. Ibu kandung Jay.

Dengan hati-hati Jay mencoba mengintip dari celah pintu ruang kerja sang Ayah yang tidak ditutup rapat.

Menyedihkan, sosok gagah berwibawa dan tegas sang Ayah saat ini tidak terlihat sedikitpun. Yang Jay lihat hanyalah sosok pria dewasa yang begitu hancur hati dan mentalnya yang tengah memeluk pigura, yang Jay pastikan adalah foto mendiang sang Ibu.

Sambil menangis dalam kebisuannya, sang Ayah terus memeluk erat penuh kasih sayang pigura tersebut sembari ucapkan ungkapan rasa cintainya yang luar biasa.

Benar, cinta sang Ayah untuk Ibunya sangat luar biasa. Buktinya setelah kepergian sang istri untuk selama-lamanya, pria itu tidak sekalipun mencari bahkan menerima sosok wanita manapun lagi.

Sisa hidupnya ia gunakan untuk terus bertahan di pemerintahan sambil meneruskan perusahaan peninggalan sang istri yang susah payah ia jaga untuk masa depan Jay nantinya.

Lantas sisa kasih sayang yang ada di hatinya yang pria itu punya hanya ia curahkan utuh untuk sang buah hati. Untuk Jay seorang. Karenanya, Jay tumbuh menjadi pribadi yang baik meskipun tanpa sosok Ibu di sampingnya.

Sakit. Hati Jay teriris-iris rasanya melihat betapa rapuhnya sang ayah di balik topengnya selama ini. Menyesal, Jay menyesal sempat tak percaya dengan sang ayah dan pilih mengabaikannya seorang diri.

Dengan teratur Jay melangkah mundur. Ia berbalik arah kembali ke kamarnya. Melupakan niatnya untuk minum.

Di hatinya Jay berjanji sepenuh hati ia tidak akan mengabaikan Ayahnya lagi. Dan membiarkannya jatuh seorang diri.

Maka kesepakatannya dengan pemuda manis bernama Heeseung itu harus segera ia lakukan. Agar sang Ayah tidak terus menerus tersiksa seorang diri. Sebab untuk membantu dengan tangannya sendiri pun Jay tidak akan mampu. Sebab ia tidak pernah belajar tentang bisnis keluarganya apalagi hukum sengketa jujur ia tidak tahu sama sekali.

Sang Ayah sungguh sangat menyayanginya, karenanya Jay tidak seperti anak-anak petinggi atau pebisnis lainnya. Jay tetap bisa menikmati masa mudanya dengan baik tanpa bayang-bayang pekerjaan yang memang tidak seharusnya dimengerti oleh anak seusianya.

Sesampainya di kamar Jay langsung mengunci pintu kamarnya. Ia berjalan ke arah balkon kamarnya sambil mencoba menghubungi Heeseung. Yang kebetulan sang empu nyatanya masih belum tidur juga meskipun waktu telah menunjukkan pukul dua pagi.

“Jam tujuh malam. Di apartemen ku. Nanti lokasinya aku kirimkan”

Setelah mematikan sambungan teleponnya Jay langsung mengacak-acak surainya frustasi.

Jay benar-benar gila sekarang. Ingatannya kembali ke kejadian siang tadi.

Flashback On!

“Okey … tapi dengan cara apa?”

“Aku mau kamu memperkosa ku”

“KAU GILA?!”

“Tentu saja … lagipula hanya itu satu-satunya cara. Saat keluarga sahabat Ayahku tau jika aku tidak lagi virgin. Mereka yang berasal dari keluarga terhormat akan menolak ku mentah-mentah setelahnya”

Argggg!!! Tapi … kenapa harus ‘memperkosa’ apa kau tidak punya kata-kata lain untuk mengajakku bercinta denganmu?”

“Kita dua orang asing, tidak ada cinta di antara kita. Aku juga tidak punya pengalaman sex jadi kau silahkan saja mengunakan tubuhku sesukamu. Jadi aku pilih kata itu hehe … bagaimana?”

Flashback off!

“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Bagaimana bisa aku melakukannya? Dengan orang asing pula? Arggggg!!! Hah … tapi tidak ada cara lain. Aku juga tidak mau Ayah jadi gila jika terlalu lama menunggu …”

--

--

pshaconne
pshaconne

Written by pshaconne

love yourself or let me loving you better than anyone.

No responses yet