Senja itu, sebuah mobil Audi hitam dengan kecepatan sedang terus melaju kencang membelah jalanan kota, sebelum kemudian terparkir sempurna di halaman depan sebuah rumah mewah yang begitu megah namun penuh kesunyian. Lantas seorang pria berusia kepala tiga dengan pakaian kantornya yang sudah tampak lusuh segera keluar dari sana.
Air muka pria itu tampak begitu keruh, langkah kakinya bahkan tiada semangat sedikitpun yang menyertainya, saat dirinya memasuki rumah, bahkan undakan anak tangga yang ia pijaki terasa begitu jauh tuk capai area lantai dua rumahnya.
Entah beban seberat apa yang tengah ditopang kedua bahunya sampai ia tampak begitu menyedihkan saat ini.
“Ayah!”
Suara gadis kecil yang tengah memanggilnya bagaikan sebuah mantra magis yang seketika sirnakan raut letih di wajah pria itu kala ia membuka pintu kamarnya, hingga senyuman hangatnya langsung terbit dengan sempurna.
“Ruby, sedang apa di kamar Ayah?”
Usai meletakkan tas kerja dan tuxedo hitamnya di ranjang, pria itu pun berjalan mendekati si gadis kecil sebelum kemudian ikut serta duduk bersimpuh di karpet bulu di lantai kamarnya.
“Kamar Ayah? Ini kan kamar Papa” Gadis kecil itu membuat ekspresi kesal sembari menutup buku di pangkuannya lalu meletakkannya asal di karpet.
“Iya, tapi sekarang kan jadi kamar Ayah” Sahut pria itu dengan lembut sembari mengusap rambut hitam legam dan panjang milik gadis kecilnya dengan penuh kasih.
“Papa gak akan balik kesini lagi ya, Yah?” Kini gadis itu menundukkan kepalanya dengan murung.
“Kenapa Ruby bertanya seperti itu?”
“Sudah dua tahun Papa tidur di sana, dan kamar Papa malah di tempati Ayah sekarang. Sebenarnya kapan sih Papa pulang, Ayah?” Netra bambi gadis kecil itu mulai berkaca-kaca saat ia mendongakkan kepalanya menatap wajah lelah sang Ayah.
“Ruby …” Pria itu menghela nafas panjang sebelum kemudian membawa tubuh mungil gadis berusia delapan tahun itu ke pangkuannya, “Papa pasti pulang kok, tapi gak sekarang” Jelasnya dengan penuh kelembutan.
“Ruby kangen Papa. Ruby mau dipeluk Papa, mau digendong Papa, mau disuapin juga, sama mau di temenin main. Ruby pengen banget diantar Papa ke sekolah, biar temen-temen Ruby tau kalo Ruby juga punya Papa” Pecah, tangis gadis kecil itu luruh dengan mudahnya usai sampaikan keinginan kecilnya, saat ia meminta masa itu kembali.
Masa dimana tawanya tak pernah redup dan hatinya tidak pernah merasakan sakit, karena menahan rindu.
“Maaf …” Hanya itu yang bisa pria itu ucapkan pada putri kecilnya.
“Ruby rindu Papa. Sangat rindu, Ayah”
“Besok Ayah ambil cuti, kita ketemu Papa ya?”
Pria itu mencoba mengalihkan perhatian gadis kecilnya, tanpa memaksanya tuk menghentikan tangisannya yang mungkin sudah begitu lama di tahannya seorang diri.
Karena pria yang berstatus sebagai Ayahnya itu terlalu sibuk bekerja sampai tak punya banyak waktu untuk memperhatikan bagaimana kondisi putri kecilnya selama ini.
“Nanti kita bawain Papa bunga juga ya, Ruby boleh rangkai sendiri. Mau kan?” Gadis kecil itu hanya menganggukkan kepalanya sebab tangisnya sulit dihentikan.
Usai beberapa menit berlalu isak tangis gadis kecil itu akhirnya terhenti dan digantikan sebuah dengkuran halus serta suara sesenggukan kecil yang masih tersisa. Pria itu segera bangkit dari posisinya bersama dengan tubuh ringkih putrinya yang sudah ada di gendongannya. Dengan gumaman penenang serta tepukan kecil di punggung putrinya serta dengan penuh kehati-hatian pria itu membawanya kembali ke kamarnya yang terletak di sebelah kamar itu.
“Maaf. Maafkan ayah” Ujar pria itu dengan tulus usai membaringkan tubuh putrinya di atas kasur serta membubuhkan kecupan sayang di dahinya.
Dengan langkah yang semakin bertambah lunglai pria itu keluar dari kamar gadis kecilnya dan kembali ke kamar sebelumnya.
Setelah menutup pintu kamar itu ia langsung menuju ke tempat semula. Tepat di atas karpet bulu itu ia kembali bersimpuh, tangan ringkihnya yang gemetar mencoba meraih buku diary berwarna baby blue polos dengan keterangan —
“Kisah untuk cyan” Ejanya, yang seketika buat netra bambi yang ia turunkan pada putri kecilnya itu mulai berkaca-kaca. Bibir mungilnya yang ranum bergetar kalut. Degup jantungnya yang berdetak jadi semakin riuh namun detakannya untuk sebuah rasa lara yang menghukum hatinya sebanyak mungkin sampai tak tersisa sedikitpun untuk di katakan baik-baik saja acap kali ia melihat buku itu.
Buku yang ditulis seseorang dengan penuh rasa cintanya, dengan seluruh ketulusan hatinya, serta seluruh masa yang ia habiskan hanya untuk sosok Cyan-nya,
… Untuk dirinya.
“Genta … aku rindu. Aku rindu. Aku rindu kamu Genta. Maafkan aku. Maaf. Aku rindu kamu, Gema Magenta” Rancu pria itu di iringi tangisannya yang begitu pilu.