Bagian I

pshaconne
8 min readJan 10, 2025

--

️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ Hancur — lebur adalah sepasang kata yang sangat pantas tuk jabarkan kondisi Kota Puspita saat ini. Kota yang begitu padat penduduknya itu, Kota yang dihuni oleh beberapa Clan terkuat dan telah menjadi satu-satunya Pack terbesar selama ini, juga selalu berjaya pada masanya. Kota itu telah resmi menjadi lautan api di tengah gulitanya semesta kini.

Di sepanjang netra yang fungsi dan dapat menangkap jelas potret dari pusat Kota di tanah Pratiwinta itu kini, tak ada secercah kehidupan pun yang tampak lagi di sana, bahkan seolah-olah tempat itu tak sedikitpun miliki kesempatan dan harapan tuk gaungkan namanya kembali.

“Pratiwinta memang tak pernah layak tuk ungguli Raficha!” Ujar seorang Zeta (Jenderal) yang berasal dari tanah Raficha seraya menyeringai tinggi, saat kemenangan telak didapatkannya mutlak. Usai melalui rangkaian perang Atlas yang telah berkepanjangan terjadi selama ini.

Meskipun jika ditilak kembali, sebenarnya kemenangan mereka bukanlah suatu hal yang dapat dibanggakan sama sekali. Sebab, pasukan dari tanah Raficha telah menyalahi aturan perang, yang mana seharusnya mereka tak lagi melakukan penyerangan kala sang candra telah bertahta di angkasa. Namun, manakala ego yang begitu besar mulai merasa sangat kelaparan hingga butuh asupan dan kepuasan, jadilah logika dan kewarasan dengan lancangnya menindas harga diri sang insan. Sampai-sampai dengan tak tahu malunya para pasukan dari tanah Raficha itu pun meluncurkan serangkaian penyerangan di tengah gulitanya malam. Bahkan, dengan binatangnya, usai menghabisi seluruh penduduk Kota Puspita yang tengah terlelap tidur, mereka pun langsung membakar habis Kota itu. Kota yang seharusnya menjadi satu-satunya tempat paling aman bagi seluruh penghuni Pratiwinta, yang sudah seharusnya juga menjadi satu-satunya tempat yang tak boleh terjamah dikala peperangan tengah terjadi.

Perang Atlas itu telah terjadi lebih dari 1 Dekade di Queenanty atau di perbatasan antara Pratiwinta dan Raficha. Kemenangan dari pihak Raficha atas Pratiwinta saat ini tentu saja bukanlah sesuatu hal yang Selene berkahi. Kata ‘perang’ bahkan sudah tak lagi layak untuk peristiwa itu dapat dijuluki. Peristiwa itu adalah genosida, pembunuh massal, pembantaian, mereka telah berusaha untuk memusnahkan satu golongan bahkan tanpa sisa. Sungguh, manusia setengah Serigala itu kali ini benar-benar telah tunjukkan sisi kebinatangan mereka yang sempurna.

Kian larut malam berlalu, maka kian bengis semilir angin menyapu, hingga dengan jenakanya lidah-lidah api itu terjulur ke segala sisi yang masih tersisa dari Kota Puspita. Sampai riuh suara bangunan yang perlahan ambruk dan siap menjadi abu, kini menjadi melodi paling mengerikan yang pernah berkidung di tahan Pratiwinta.

Sang Zeta dari tanah Raficha yang merasa berada di atas ketinggian hirarki duniawidi usai dapatkan kemenangannya itu lantas mengaum lantang hingga menggelegar keseluruhan penjuru wilayah Pratiwinta, yang lantas lekas diikuti oleh para Eta-nya (Prajurit), sebagai tanda penutupan dari puncak kemenangan hina mereka atas tanah Pratiwinta.

“Cari penduduk Pratiwinta yang masih hidup, dan bawa mereka ke Istana!” Titahnya, pada para Eta-nya, sebelum kemudian pergi tinggalkan Pratiwinta dengan kesombongan yang masih melangit.️️

️️ ️️

️️ ️️

“Rama! Biyuna!” Ditengah lautan api yang masih melanda Kota Puspita, seorang anak laki-laki yang baru berusia sepuluh tahun tampak berlari tunggang langgang seraya berteriak lantang penuh kepiluan dari arah padang rumput Savira.

“Tidak jangan! Jangan tinggalkan aku!” Sepasang kaki ringkihnya yang bahkan telah terluka parah sebab tak terlindungi alas apapun jua terus ia paksakan membelah kehancuran Kota, untuk dapat segera sampai di Dianova. Tempat dimana pusat pemerintahan Pratiwinta berjalan dengan semestinya.

“Rama! Biyuna!” Saat kaki kecilnya berhenti melangkah, kedua lututnya pun tanpa ragu lekas membentur bumi bersamaan dengan telapak tangannya yang bahkan langsung tertancap pecahan kaca dan paku.

“Tidak! Rama ... Biyuna ... Jangan tinggalkan aku! Rama! Biyuna!” Anak lelaki itu terus meraung-raung tangis di hadapan kobaran api yang semakin lahap membumi hanguskan tempat dimana kedua orang tuanya seharusnya tengah bersinggah nyaman dan tenang kini.

“Tidak ... Jangan tinggalkan aku!” Sore tadi, anak lelaki itu berpamit pergi kepada kedua orang tuanya untuk ikut serta berburu bersama para Kappa (Pemburu utama). Namun, sayangnya tanpa sadar ia sudah terlalu jauh membawa sepasang kakinya melangkah. Sehingga, ia pun harus berakhir tersesat di tengah belantara hutan, dan saat ia dapatkan jalan tuk kembali pulang, sayangnya Kota Puspita sudah tak lagi utuh. Seperti hatinya yang juga benar-benar hancur kini.

“Tangkap dia!”. Anak lelaki itu tak sempat waspada atau pun menyadari keadaan disekitarnya, tiba-tiba tubuh ringkihnya yang lemah dan penuh luka itu telah diringkus kasar oleh dua orang Eta berbadan kekar.

“Hey! Lepaskan aku! Lepas!”

“Diam bocah, jika kau tak mau mati terpanggang disini!”

“Lepaskan aku! Apa mau kalian? Akhhh! Lepaskan!”

“Diam! Kau harus ikut kami ke Raficha!”

“Tidak! Tidak mau! Lepaskan aku! Dasar makhluk hina! Lepaskan aku!” Dua Eta berbadan kekar itu tak memperdulikan perlawanan dan teriakannya. Mereka terus memaksa dan menariknya dengan cara yang kasar agar segera ikut serta. Bahkan, tanpa rasa belas kasih dua Eta itu pun langsung melemparkan tubuh ringkih dan penuh luka si kecil dengan cara binatang ke dalam jeruji besi.

“Kalian makhluk hina! Selene, pasti akan menghukum kalian dengan begitu buruk! Atas segala hal yang telah kalian lakukan kepada kami! Aku bersumpah demi seluruh jagat raya sang Pratiwinta!”

Ya, ya, ya, teruslah bermimpi anak muda” Ujar salah satu Eta itu seraya terkekeh geli yang diikuti oleh kawannya, seolah-olah ucapan anak itu hanyalah riuh kelakar jenaka.

“Lepaskan aku! Lepaskan!” Anak itu terus berteriak kencang dan mengguncang-guncang keras pintu jeruji besi yang mengurungnya kini, yang sayangnya tak hasilkan apapun jua, ia tetap berakhir terkurung di dalam sana dalam kondisi mengenaskan, baik jiwa dan raganya.

“Ayo pergi, kita harus kembali mencari”

“Lalu anak itu bagaimana?”

“Biarkan saja, lagi pula dia terlalu lemah untuk meloloskan dirinya” Setelah dua Eta itu meninggalkannya seorang diri di dalam jeruji besi, anak lelaki itu pun perlahan berhenti berteriak dan meronta, bahkan tubuhnya kini sudah meluruh jatuh. Anak lelaki itu langsung menangis pilu, seraya meringkuk dalam, berharap kejadian itu hanyalah bunga tidurnya semata.

“Rama, Biyuna, aku takut …” Gumamnya lirih seraya terus menangis pilu meratapi malang nasibnya.

️️ ️️

️️ ️️

Sepasang netra yang milik rona berbeda warna itu perlahan-lahan merekah sempurna, kala guncangan kasar mulai semakin riskan ia rasakan. Keningnya langsung mengkerut setelahnya, sebab jenar sang surya langsung menyapa indra penglihatannya.

Huh ... ini bukan mimpi ternyata” Gumamnya jelas kecewa, saat menyadari keadaannya yang nyatanya masih berada di dalam jeruji besi, yang kini bergerak maju ditarik oleh dua kuda berwarna hitam ke arah perbatasan wilayah Pratiwinta dan Raficha.

Sorot mata anak lelaki itu mulai berembun saat rombongan yang tengah membawanya itu sampai di tepi sungai. Sebab, di sepanjang netranya dapat memandang hanya ada kehancuran menyakitkan yang dapat ia saksikan di sana. Ada begitu banyak Eta yang masih utuh kenakan baju Zirah-nya yang betulan begitu dikenalinya. Namun, mereka sudah tergeletak tak bernyawa dengan kondisi yang begitu mengenaskan.

Saat rombongan itu berhenti tuk beristirahat di tepi sungai, sang anak lelaki itu kembali meringkuk dan menunduk dalam. Nyatanya tak ada lagi harapan baginya tuk selamat, walaupun ia jelas ingin sangat.

“Pssst! Pssst!” Ditengah riuhnya gemericik suara air sungai, tiba-tiba suara berbisik lirih menyapa rungu anak lelaki itu.

“Jangan berteriak” Ujar sosok mungil itu masih cukup lirih, saat anak lelaki itu terkejut melihat keberadaannya.

“Aku akan membebaskanmu, tenang ya?” Anak lelaki itu lekas mengangguk kepalanya dengan cepat lantas berpaling muka tuk memantau kondisi disekitarnya, agar aksi sosok mungil yang hendak menyelamatkannya tak sampai terjumpai para Eta Raficha.

Hey! Sudah, ayo cepat keluar” Anak lelaki itu pun patuhi ucapannya. Lantas, keduanya pun mengendap-endap perlahan tuk segera menjauh dari sana.

“Ayo cepatlah!” Ujar si mungil terus menyemangati anak lelaki itu saat tubuh keduanya kian tertelan belantara hutan.

“Kakiku terluka. Aku tidak bisa berlari cepat” Sosok mungil itu berinisiatif tuk lekas narik lengan sang anak lelaki, namun sayangnya malah timbulkan pekikan kesakitan.

“Tanganku juga terluka” Adunya, bahkan anak lelaki itu hampir menangis kini.

Huh, tunggu disini!”

“Hey kau mau kemana?” Anak lelaki itu ditinggal seorang diri, dibalik pohon cendana. Namun, tak lama kemudian sosok mungil itu pun kembali menghampirinya membawa apa yang ia butuhkan untuk mengobati luka anak lelaki itu.

“Tahan suaramu” Peringatnya, lantas dengan telaten sosok mungil itu lekas membersihkan luka-luka di telapak kaki dan tangan anak lelaki itu tanpa rasa sungkan. Bahkan, setelahnya dengan lincahnya pula ia lekas membaluri luka sang empu dengan tumbuhan-tumbuhan obat yang sudah ditumbuknya di tepi hilir sungai tadi.

“Kau … calon Iota?” (Dokter)

“Bukan!” Sahutnya singkat dan terdengar ketus namun anak lelaki itu enggan merasa sungkan tuk kembali bertanya.

“Lalu dari mana kau belajar mengobati luka?”

“Byuna-ku seorang Iota, aku banyak belajar darinya”

“Emmm, begitu. Lalu dimana keluargamu sekarang?”

Huh … sudah kembali ke singgasana Selene

“Sama, Rama dan Byunaku pun sudah berpulang juga”

“Kau sudah makan? Ini, aku sempat memetiknya tadi, saat menumbuk obat untukmu. Makanlah” Sebuah Apel berwarna hijau ia serahkan pada bocah lelaki itu usai mengobati lukanya.

“Ayo, makanlah dulu” Sepasang netra rusanya yang merekah menggemaskan kini tengah bertemu tatap dengan sepasang netra anak lelaki itu, yang baru si mungil sadari nyatanya milik dua rona berbeda. Bersamaan dengan hal itu, semerbak aroma harum mewangi, bak bunga melati, tiba-tiba saja menyapa indera penciuman sang anak lelaki. Hingga mulai timbulkan tanya di benaknya, apakah itu Pheromone si mungil atau memang ada tumbuhan melati disekitar mereka kini.

“Kau sendiri?” Jawabnya tergugu seraya menerima Apel hijau itu.

“Aku sudah, sebelum membebaskanmu tadi”

Ekhem! Oke, terimakasih. Oh ya, namaku Samtala. Kalau namamu—”

“Telusuri tempat ini!” Belum sempat anak lelaki itu, Samtala, mengetahui nama malaikat penolongnya, tiba-tiba saja suara para Eta Raficha terdengar lantang, hingga membuat keduanya berjengit terkejut dan panik.

Tangan Samtala yang baru saja sosok mungil itu obati lekas sang empu genggam, lantas dengan cekatan ia menariknya kuat agar Samtala mengikuti langkahnya.

Dua anak kecil itu terus berlari tunggang-langgang, melewati rimbunnya belantara hutan. Detak jantung keduanya terus berpacu, bahkan lebih cepat dari langkah kaki-kaki kecil mereka, sampai nafas keduanya pun tersengal-sengal. Tangan mereka yang terus saling menggenggam erat tak sedikitpun melonggar. Keduanya terus berlari bergandengan tangan sampai di dekat perbatasan hutan dan air terjun.

“Akhhh!”

“Hey! Apa kau baik-baik saja?” Samtala semakin panik saat sosok mungil itu terjatuh tanpa sengaja, hingga kakinya bercucuran darah sebab tertancap patahan ranting kering yang begitu runcing.

“Pergi, Sam! Jangan hiraukan aku! Pergilah! Selamatkan dirimu!” Sang empunya nama menulikan permintaan si mungil, ia merenung sejenak tuk dapatkan cara menyelamatkannya.

“Sam! Larilah!”. Samtala yang teringat akan sapu tangan rajut yang selalu ia bawa kemanapun itu, lekas mencarinya, saat ia menemukannya di salah satu sakunya lalu langsung ia ikatkan pada kaki si mungil yang terluka.

“Rouge!” Teriak si mungil penuh kepanikan yang lebih mengerikan lagi. Sungguh malang sekali nasib keduanya, baru berhasil lolos dari Eta Raficha kini keduanya harus menjumpai kawan serigala liar.

“Samtala, kau bisa berenang?” Sang empunya nama lekas menganggukkan kepalanya dengan cepat.

“Ayo melompat, di ujung sana ada sungai!” Keduanya kembali bangkit, bergandengan tangan dan lekas berlari kencang seraya menahan rasa sakit dari luka-luka di daksa satu sama lain, saat kawanan Rogue itu kian mendekat.

“Lompat Sam!” Teriak si mungil, saat keduanya telah sampai di ujung jurang.

“TIDAK!” Samtala berteriak lantang dan pilu seraya melompat terjun. Sebab, sosok mungil itu nyatanya malah melepaskan genggaman tangan mereka.

“ESAA, ITU NAMA PANGGILANKU!” Ujar si mungil sebelum keduanya benar-benar berpisah.

Si mungil, atau Esaa jelas sengaja membiarkan Samtala terjun seorang diri, sedang dirinya kembali berlari ke dalam hutan tuk mengecoh kawanan Rougue agar tak mengejar Samtala.

Sebab, Esaa juga tahu, jika para Rougue pandai berenang. Jadi, dari pada keduanya berakhir sama mengenaskannya, Esaa lebih memilih untuk menyelamatkan Samtala sampai akhir.

--

--

pshaconne
pshaconne

Written by pshaconne

love yourself or let me loving you better than anyone.

No responses yet