Bagian II

pshaconne
13 min readJan 10, 2025

--

️️ ️️

️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ Hiruk pikuk semesta, perlahan mulai berhenti mengisi rungu. Kala sang waktu kian berlalu pergi tuk jumpai sang kekasih wayah dalu-nya. Semilir angin yang tengah membelai daksa pun kian terasa menusuk kulit begitu dalamnya. Sampai terasa menembus daging, mengoyak saraf, hentikan peredaran darah dan membelai tiap inci dari susunan tulang belulang. Namun, Samtala masih kukuh berdiam diri di balkon Istana, tanpa baju Zirah-nya yang Agung lagi. Seraya menatap ke arah sang angkasa yang begitu gulita dengan tatapan hampa namun simpan sejuta makna yang mengandung luka, lara, duka, serta segala kesedihannya lainnya.

Sepasang rona yang berbeda warna di netranya mulai menajamkan fokusnya, coba cari keberadaan sang candra yang dipaksa terpenjara dibalik kepulan awan kelabu yang tampak menyeramkan, dan disaat yang bersamaan pula pikirannya pun mulai melalang buana, cari celah agar dirinya mampu temukan titik terang dari peliknya tragedi dan peristiwa yang berakhir menjebaknya pada sebuah takdir yang memilukan.

Duka dan lara di jiwa dan raganya belum juga dapatkan penawar. Namun, tugasnya sebagai seorang Zeta (Jenderal) memaksanya tuk lekas beranjak dari rasa pesakitan-nya. Walaupun dengan cara paksa sekalipun.

Samtala menghela nafas panjang dengan sorotan netranya yang perlahan menjadi sayu, ia pun mulai membatin lirih, rasanya baru kemarin, dirinya jatuh cinta, lantas segera mempersunting sang pujaan hati yang tak lama setelahnya mengandung buah hati mereka, pun usai menanti dengan sabar selama tujuh puluh dua hari lamanya, akhirnya Samtala resmi sandang status sebagai seorang Ayah, sungguh rasanya baru kemarin.

Samtala tersenyum kecil, dengan tatapan netranya yang kembali berubah makna. Namun, kali ini menjadi sendu, kala ingatannya membawanya kembali pada masa-masa lampau yang begitu indah, kala dirinya masih mampu bercanda gurau tanpa perlu mengkhawatirkan sang waktu, yang seolah-olah memang dengan baik hatinya mampu memperlambat kerjanya, kala Samtala tengah bersama keluarga kecilnya.

“Zeta, kau masih disini?” Seberkas ingatan semu yang begitu indah membuai Samtala pun lenyap seketika. Kala seorang pemuda datang menghampiri dan menegurnya, yang memang dengan sengaja pilih tuk mengasingkan diri disana, usai menghadiri rapat penting bersama para petinggi Clan.

“Sudah ku ingatkan, Riki, panggil aku Kakak. Jika tengah berada di luar tugas kita”

“Maaf Kakak Ipar, tapi … setelah kepergian Kak Runa, kupikir kita akan kembali asing, menjadi sebatas Jenderal dan Prajurit saja”

“Apa maksudmu? Kau tetaplah adikku, Riki, jangan begitu. Aku merasa terluka jika kau anggap kita ini asing, dan lagi walaupun Runa tak lagi bersama kita disini, tidak akan pernah ada yang berubah. Kau tetaplah adikku, kita tetaplah keluarga”

Ekhem! Baiklah. Jadi ... sekarang sebaiknya Kakak Ipar lekas beristirahat, para Delta (Pembawa pesan) besok akan kembali membawa kabar lainnya” Riki, sang Eta (Prajurit) muda itu enggan memperpanjang topik percakapan mereka yang bawa serta sosok mendiang sang Kakak, sebab ia tahu pasti bahwasanya Samtala kan kembali murung esoknya, seperti hari-hari sebelumnya jika topik itu terus dilanjutkan.

“Apa harus secepat ini? Padahal aku masih berduka”

“Aku tau ini pasti sangatlah berat untukmu Kak, tapi ingatlah ada banyak nyawa yang tengah bergantung pada kita saat ini. Kesedihan atas rasa duka kita sangat wajar untuk dimaklumi, namun jika masa berkabung kita terlalu lama, takutnya akan ada banyak hal buruk yang terjadi pada Clan ini” Samtala menundukkan kepalanya dalam, coba resapi perkataan Riki yang memang benar adanya.

“Aku tidak bermaksud meminta Kakak Ipar untuk melupakan persepsi Kak Runa, tapi sadarlah Kak ... di antara mereka yang harus kita lindungi juga ada Saluna, Putri kalian yang masih kecil” Samtala lagi-lagi menghela nafas panjang sebelum kembali mengangkat kepalanya tuk tatap wajah sang Adik Ipar yang kini menatapnya sendu.

“Benar, aku harus kembali. Diantara mereka yang harus kulindungi ada Saluna. Terimakasih, Riki, sudah mengingatkan ku”

“Sama-sama. Cah ... pergilah beristirahat Kak, aku pun akan kembali ke kamarku”

“Riki, tunggu” Samtala kembali menahan sang empunya nama kala dirinya teringat akan sesuatu.

“Dimana Saluna?” Dua Minggu tanpa jeda bergelut dengan pekerjaannya seraya coba obati dukanya seorang diri, Samtala sampai tak tahu Putrinya berada dimana saat ini.

“Dia aman bersama para Phi (Pengasuh Wolfi). Mereka melindungi bayi-bayi Wolfie di Lembah Alinka saat ini. Jika Kakak Ipar ingin menemuinya, carilah seorang Phi bernama Haneesa, dia satu-satunya orang yang mengasuh Saluna saat ini”

“Satu-satunya ... mengapa?” Samtala sempat membuat guratan emosi di wajahnya kala tahu Putrinya hanya diasuh oleh satu orang Phi saja. Apa kekalahan pasukan yang dipimpinnya kemarin membuat seluruh Clan membencinya, hingga berimbas pada buah hatinya? Pikirnya.

“Jangan salah paham. Tidak ada yang mendiskriminasi Saluna. Hanya saja, Saluna cuma mau dekat dengan Phi Haneesa, karena Feromone Phi Haneesa mirip dengan Feromone Kak Runa, oleh sebab itu Phi Haneesa lah satu-satunya sosok yang dapat mengasuhnya saat ini”

“Feromone Phi itu ... beraroma Bunga Melati?”

“Bukan, tapi Bunga Tanjung”

️️ ️️

️️ ️️

️️ ️️
️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️Menjadi seorang Phi (Pengasuh Wolfie) mungkin terdengar memiliki tugas yang begitu mudah. Apalagi, jika tugas yang diembannya sudah bukan lagi berada di tahun pertama. Kesannya pun hanya mengurus para Wolfie, dari yang masih bayi sampai batita atau golongan Wolfie kecil yang belum pandai berulah dan bertingkah.

Akan tetapi, jika para Wolfie yang harus mereka asuh masihlah begitu mungil dan harus mendapatkan ASI juga Pheromone sang Ibu. Namun, sayangnya Ibu mereka tak lagi ada di sisinya, maka jelas saja menjadi seorang Phi adalah tugas yang cukup berat. Sebab, bayi-bayi itu akan selalu merengek dan rewel setiap saatnya.

“Sudah ku bilang, susui saja, Haneesa! Jika dia terus rewel dan menangis seperti itu yang ada dia akan jatuh sakit nantinya” Haneesa, menghela nafas jengah mendengar saran sang empu yang entah sudah yang keberapa kalinya ia dengar.

Haneesa bukanlah seorang Phi baru. Bahkan, sosok yang menegurnya itu pun berada jauh dari levelnya dalam mengasuh. Haneesa tak perlu di gurui olehnya, hanya saja kali ini Haneesa tak mungkin gegabah tuk menyusui Wolfie kecil dalam gendongannya itu. Sebab, semenjak Wolfie kecil itu di titipkan kepada mereka dua Minggu lalu, tak ada satupun walinya yang datang membesuk, untuk Haneesa mintain persetujuannya.

Bukan hal tabu sebenarnya, jika para Phi dapat menyusui para Wolfie. Apalagi, para Phi memanglah memiliki daya dan kemampuan untuk menyusui, karena sejatinya mereka yang sandang status sebagai seorang Phi adalah mereka yang pernah gagal menjadi seorang Ibu, jadi air susu mereka tak mampu berhenti terproduksi. Kecuali jikalau mereka dapat kembali mengandung.

Namun sayangnya, Haneesa jelas tak mampu pensiun dari tugasnya itu. Bahkan, sudah hampir lima tahun lamanya berlalu. Sebab, selain ia gagal menjadi seorang Ibu karena keguguran, pun Mate-nya telah gugur di medan perang.

Mungkin bisa saja sebenarnya, jikalau Haneesa kembali bertemu dengan seorang yang sudi dan ia ijinkan tuk mempersuntingnya, lantas dirinya pun siap mengandung lagi, namun sayangnya Haneesa sangat enggan.

Haneesa merasa sangat enggan karena rasa cintanya telah habis untuk Mate-nya seorang, yang bahkan mungkin kini tengah menanti Haneesa di keabadiannya, sebelum dapat kembali bereinkarnasi dimasa depan bersamanya.

Belum lagi, walaupun tanda Mate-nya yang begitu Agung dan sempat menghiasi tengkuknya itu pun telah memudar sepenuhnya, namun rasa cinta Haneesa tetaplah miliki sang empu yang telah berpulang di singgasana Selene, sang Dewi Bulan.

“Pergilah, ini bukan kali pertama ku mengasuh. Dan lagi masih ada banyak Wolfie yang perlu kau tangani. Jangan campuri urusanku, Saluna adalah tanggung jawabku sepenuhnya. Lagi pula Pheromone-mu beraroma terlalu pekat. Saluna merengek juga karena hal itu!” Setelah menjawab sang empu dengan ketus, Haneesa lekas berlalu dari sana, bawa sepasang tungkai rusanya yang jenjang tuk ambil langkah menjauh menuju ke arah luar tenda penampungan tuk dapat hirup udara segar, agar emosinya menguap dan Wolfie kecil yang tengah terisak tangis dalam rengkuhannya itu pun dapat ia tenangkan.

“Malang sekali takdirmu, cantik ... bayi sekecil dirimu harus menjadi seorang piatu karena ulah kekejaman semesta ini ...”

Pipi gembil si kecil yang tengah merona Haneesa belai penuh kasih menggunakan jaemari lentiknya bergantian sisi, dan di saat yang bersamaan netra rusanya yang jernih itu pun tak mampu berdalih sama sekali, untuk tak memandang dengan lekat rupa ayu si kecil disertai embuh tipis. Sekilas, Haneesa kembali mengenang masa kecilnya yang harus berakhir menjadi sebatang kara sebab ulah kekejaman semesta, namun setelahnya batinnya pun menjerit marah dan kesal, ia sungguh tidak terima pada takdir Wolfie kecil di gendongannya itu, sebab Saluna, Wolfie kecil itu masih terlalu rentan tuk kehilangan haknya mendapatkan kasih sayang dan belaian kasih dari seorang Ibu.

Shttt ... tenanglah nak, aku berjanji akan selalu berada disisi mu. Menangis lah tak apa, tapi jangan terlalu lama, aku takut kau jatuh sakit jika terisak tangis terlalu lama ... kau tak sendirian di semesta ini, aku akan menjagamu, Saluna” Dengan penuh kesabaran dan ketelatenan Haneesa terus menimang-nimang tubuh bayi mungil itu penuh kelembutan, seraya ucapkan kalimat-kalimat penenang yang sebenarnya belum mampu si kecil pahami.

“Permisi, Phi. Mohon maaf jikalau saya mengganggu. Tapi di depan gerbang ada Zeta yang tengah mencari anda” Ujar seorang Eta yang bertugas menjaga wilayah Lembah Alinka tersebut dengan sopan, bahkan tutur ucapnya pun terdengar begitu lirih, sebab ia tahu pasti jikalau sang Phi sedang menimang-nimang seorang bayi yang tengah rewel.

Huh ... syukurlah” Desahnya lega. Haneesa, yang baru saja dapat tenangkan si Wolfie kecil itu akhirnya dapat menghela nafas lega, setidaknya ia tidak perlu khawatir jika Wolfie itu akan merengek dan menangis lagi, saat ia tinggal sebentar tuk temui tamunya. Sebab, si kecil kini sudah terlelap tidur dalam rengkuhannya seraya menghisap jari jempolnya dengan khidmat.

“Tolong katakan padanya untuk menanti ku di tepi danau, di dekat pohon cendana. Aku harus memindahkan Wolfie ini ke ranjangnya dulu”

“Baik, Phi. Kalau begitu saya permisi” Setelah sang Eta berlalu pergi Haneesa pun juga segera mengamankan Wolfie kecil itu, sebelum bergegas temui sang empu yang menantinya.

Shttt ... aku hanya pergi sebentar, beristirahatlah yang tenang, nanti ku timang lagi, ya?” Pamitnya bersungguh-sungguh yang mana hanya mampu didengar oleh sang udara. Usai ia berhasil meletakkan Wolfie kecil itu diatas ranjang hangatnya.

Setelah merasa cukup yakin tuk tinggalkan si kecil pergi, dan tak lupa menitipkannya pada salah satu Phi yang cukup akrab dengannya, Haneesa dengan tergesa-gesa lekas mengambil langkah besar menuju arah danau. Namun, saat tinggal beberapa langkah lagi tuk jumpai sang tamu, tiba-tiba saja langkah kaki Haneesa berhenti menjejak.

“Dia ... siapa?” Gumamnya lirih, seraya memejamkan sepasang kelopak matanya ringan dan coba hidu lebih intens Pheromone seseorang yang beraroma Musk dan Woody, yang entah mengapa seolah begitu indera penciuman Haneesa kenalin dengan baik.

Setelah tersadar dari kelakuan anehnya Haneesa lekas menggelengkan kepalanya cepat, tuk coba enyahkan segala pemikiran tak lazim yang tiba-tiba mendistraksi pikirannya itu. Lantas, ia kembali mengambil langkah maju.

“Permisi. Apakah anda yang ingin menemui saya?” Alunan vokal merdu Haneesa sontak buat sangwira yang tengah menantinya itu sedikit berjengit dan terperangah. Sang empu bahkan, hanya mampu terdiam membisu dan tercenung gamang dengan sepasang netranya yang miliki dua rona berbeda itu tengah merekah sempurna. Kala paras ayu jelita yang tak asing baginya dapat kembali menganugerahi indera penglihatannya setelah sekian lama.

“Esaa ... kau kah ini?” Kali ini Haneesa lah yang terperangah, sebab sangwira tiba-tiba saja memanggilnya dengan nama kecilnya yang bahkan sudah lama tak pernah ia dengar terucapkan oleh siapapun lagi, setelah kepulangan Mate-nya ke singgasana Selene.

“Iya benar. Dan mohon maaf sebelumnya ... tapi anda siapa ya?” Sangwira tersenyum kecut, saat dapati sepasang netra rusa yang begitu di kenalinya itu tengah menatapnya asing kini.

Sebenarnya usai percakapannya dengan Adik Iparnya, Riki, di malam lalu, Samtala memang sudah lancang menerka-nerka, jikalau Haneesa yang miliki Pheromone Bunga Tanjung itu kemungkinan besar adalah sosok Esaa kecil yang pernah menyelamatkan hidupnya dulu, dan nyatanya tebakannya itu pun benar adanya. Kala terbuktikan langsung dengan sepasang netra rusa sang empu yang begitu dikenalinya yang bahkan tampak berbinar indah dan tengah menatap lugu kearahnya.

“Samtala, aku Sam. Apa kau sudah melupakanku? Aku anak lelaki yang pernah kau selamatkan saat perang Atlas lima belas tahun lalu, Esaa” Sangwira tampak begitu menggebu-gebu menjabarkan kenangan itu. Namun, sayangnya hal itu tak sedikitpun timbulkan perubahan air muka Haneesa sama sekali, seolah ingatan itu tak pernah ia miliki.

“Maaf, Tuan Sam? Tapi saya ... sebenarnya saya sudah kehilangan ingatan sejak lama. Jadi, jikalau mungkin kita pernah bertemu, saya tidak akan mampu mengingatnya lagi”

“Bagaimana bisa? Maksudku ... apa yang telah terjadi padamu? Oh ya, dan tolong jangan terlalu formal berbicara dengan ku. Sebelumnya kita sudah saling mengenal, Esaa” Usai menganggukkan kepalanya, Haneesa lekas ambil posisi tuk duduk disamping Samtala dengan jarak yang tak terlalu dekat dan tak juga terlalu jauh, hanya berjarak sewajarnya untuk dua orang yang rasa-rasanya masihlah cukup asing.

Dengan pandangan lurus ke arah riak air danau yang perlahan ditatapnya sendu dan perasaannya yang mendadak berubah sedikit getir, Haneesa berusaha memulai kisahnya untuk menjawab segala pertanyaan Samtala.

“Kata seorang Eta yang menyelamatkan ku dulu, aku ditemukan di dekat perbatasan Pratiwinta dan Raficha dalam kondisi yang sudah sangat mengenaskan, usai berhasil selamat dari penyerangan Rogue setelah perang Atlas terjadi. Dan dari seluruh kawananku, hanya diriku lah yang selamat, namun sudah dalam kondisi kehilangan ingatan. Setelah bertahun-tahun berlalu menjalani pengobatan dan melalui masa pemulihan yang cukup rumit dan panjang, sayangnya ingatanku tidak pernah kembali, selain tentang namaku”

“Astaga ... bagaimana bisa? Lalu, dimana kau tinggal setelahnya?”

“Aku diasuh oleh keluarga Eta yang menyelamatkanku saat itu. Sebelum kemudian mereka menjadi keluarga ku sepenuhnya”

“Apa? Menjadi keluarga mu sepenuhnya ... mengapa bisa begitu?”

“Karena pada akhirnya aku menikah dengan Putra mereka” Samtala berani bersumpah jikalau rasa cintanya belum sirna untuk sang mendiang Istri, Runa. Namun, kala dengar kabar Haneesa telah dipersunting seseorang, entah mengapa sudut hatinya terasa terkoyak.

“Tapi ... kenapa kau ada disini? Menjadi seorang Phi? Apa yang terjadi setelah itu memang?”

“Lima tahun lalu, saat perang saudara yang digadang-gadang akan menjadi perang Atlas kedua itu terjadi ... keluarga baruku menjadi salah satu korbannya, dan lagi-lagi hanya aku yang selamat. Keluarga baruku, Rama dan Byunaku beserta Mate-ku harus berpulang ke singgasana Selene” Malam pemberontak. Samtala masih ingat jelas tragedi yang Haneesa maksudkan itu.

“Lalu bagaimana bisa kau menjadi seorang Phi? Apa kau ...” Samtala mulai merasa takut tuk suarakan apa yang ia pikirkan saat ini.

“Saat tragedi itu terjadi ... aku sedang mengandung, dan akhirnya aku harus keguguran. Maka dari itu, aku menjadi seorang Phi setelahnya, dan mungkin juga aku akan menjadi seorang Phi seumur hidupku”

“Jadi, kau sudah menjadi Phi selama lima tahun, dan kau akan tetap menjadi seperti ini? Mengapa?”

“Karena rasa cintaku telah habis untuk Mate-ku. Jadi aku tidak akan mungkin meninggalkan tugasku seumur hidupku, Sam …” Samtala kembali terdiam. Ia tak tahu harus menyahut apa lagi. Bahkan, tiba-tiba ia merasa gamang, seolah keinginannya hanya akan menjadi sebuah angan. Namun, ia tak paham apa maknanya.

“Jadi ... Sam? Apa yang ingin kau bicarakan denganku? Apakah kau hanya ingin memastikan jika aku adalah orang yang kau temui di masa lalu, atau ada hal lainnya?” Ah ... benar, mengapa Samtala bisa mendadak lupa pada tujuan utamanya pergi ke Lembah Alinka?

“Itu, ku dengar ... Putriku, hanya mau diasuh olehmu. Jadi aku ingin menemuimu untuk menanyakan kabarnya, dia baik-baik saja kan?” Haneesa tak mungkin salah menebak, pastinya sosok yang Samtala maksud adalah Saluna, Wolfie kecil yang lebih rewel dari yang lainnya itu sebab usianya baru beberapa bulan, dan hanya bayi itulah yang begitu bergantung padanya saat ini, lebih tepatnya pada Pheromone-nya.

“Jadi ... kau Rama dari Saluna? Ya tentu, dia baik-baik saja walaupun rasa kehilangan itu pasti sudah dapat batinnya terjemahkan dengan tepat” Samtala, tersenyum lirih saat dengar Haneesa menyebutnya sebagai seorang Rama, sebab sudah jarang sekali sosok Ayah dipanggil dengan panggilan kehormatan seperti itu saat ini.

“Apa Saluna merepotkanmu selama ini?”

“Tidak. Maksudnya tidak sepenuhnya merepotkan, dia juga hanya rewel saat jam-jam tertentu”

“Syukurlah, jika begitu”

“Emmm ... Sam?” Haneesa tampak ragu berucap kata, namun ia harus melakukannya agar tugasnya jadi lebih mudah setelah ini, “Itu ... aku sudah tau kondisi Saluna, dan, jadi, aku harus, ya, begitu”

“Esaa, katakan saja, tidak perlu sungkan” Samtala tersenyum teduh seraya menatap lamat sepasang netra rusa Haneesa yang mengerling resah. Sebenarnya, Samtala sudah tahu dengan pasti, jikalau Haneesa hendak meminta izinnya akan suatu hal, karena Samtala paham apa tugas seorang Phi dan apa kebutuhan Saluna saat ini.

“Aku ingin meminta ijin mu untuk memberikan ASI-ku untuknya. Kau tau kan tugas seorang Phi? Dan lagi ... Saluna tidak mau dengan Phi yang lain, dia hanya mau diasuh olehku. Jadi aku meminta ijin mu untuk melakukannya”

“Silahkan saja. Tapi apa sebelumnya kau pernah membagi ASI-mu pada bayi-bayi Wolfie yang lain?”

“Tentu saja tidak, karena sebelumnya aku hanya mengurus batita. Baru kali ini aku harus mengurus bayi” Samtala tampak menghela nafas lega, entah untuk alasan apa, yang jelas ia merasa beruntung jikalau Putrinya kemungkinan besar akan menjadi satu-satunya yang Haneesa asuh sepenuhnya.

“Kenapa memangnya?”

“Ah ... Tidak, aku hanya berpikir jika sebelumnya ada, maka Saluna akan memiliki saudara kan?” Saudara satu Ibu susu yang Samtala maksudkan.

“Selama aku bertugas, belum pernah ada yang seperti itu. Karena tak banyak seorang Phi yang bertugas lebih dari dua tahun lamanya dan harus mengurus bayi yang perlu disusui lebih dari satu. Kalaupun ada, itu pun karena bayi itu memiliki saudara kembar” Samtala menganggukkan kepalanya tanda memahaminya.

“Apa ada lagi yang perlu kita bicarakan?”

“Tentu. Maksudku belum, ah ya, aku harus kembali ke Istana. Kalau begitu aku permisi” Ujarnya agak terbata-bata dan tergugu.

“Samtala tunggu!” Haneesa tiba-tiba saja mencegah sang empunya nama yang baru bangkit dari posisinya dan hendak berlalu pergi

“Jangan lupa minum ramuan penekan atau peluruh. Pheromone-mu terasa begitu pekat saat ini. Jika perang sudah dekat jangan sampai Rut mu tiba di waktu yang tidak tepat, kau seorang Zeta kan? Jadi sebaiknya kau mempercepatnya atau menekannya sekalian”

“Bagaimana kau bisa mencium aroma Pheromone ku? Bukankah kau ... ”

“Mate-ku sudah tiada lebih dari dua purnama Samtala. Tanda Mate-ku pun sudah memudar sepenuhnya, jadi indera penciumanku pun sudah kembali normal seperti sedia kala, saat diriku masih lajang. Jadi aku dapat mencium Pheromone-mu begitu pekat walaupun kemungkinan hanya sedikit yang menguar sebenarnya” Samtala jadi merasa campur aduk mendengar penuturan Haneesa. Di satu sisi Samtala merasa takut, karena esok tepat purnama kedua Istrinya tiada, yang artinya dirinya pun akan mendapatkan anugrah yang sama seperti Haneesa, kehilangan tanda Mate-nya dan dapat mencium Pheromone insan lainnya. Namun, disisi lainnya ia juga merasa sedikit senang, kala Haneesa tampak memberikan sedikit perhatian kecil untuknya.

“Terimakasih. Huh ... sepertinya aku harus meluruhkan Rut-ku, karena perang sudah tinggal sepuluh hari lagi dan kemungkinan juga bisa semakin dimajukan”

“Ya benar ,emmm, silahkan jika kau ingin kembali ke Istana kalau begitu. Lagi pula hari sudah semakin tergesa menjemput sang swastamita, dan aku perlu kembali disisi Saluna sebelum ia terjaga dan menangis lagi”

“Haneesa ...” sang empunya nama yang baru saja berdiri di sampingnya itu menatapnya dengan tatapan polos yang tampak menggemaskan.

“Ada apa, Sam?” Samtala, tak tahu mengapa hal itu ingin sekali ia ucapkan. Apalagi, sisi Wolf dalam dirinya kini terus menggeram liar seolah tak mau sia-siakan kesempatan yang ada.

“Sudikah ... kau membantu Rut-ku?”

--

--

pshaconne
pshaconne

Written by pshaconne

love yourself or let me loving you better than anyone.

No responses yet