Bagian IV

pshaconne
9 min readJan 13, 2025

--

️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ Hidung bangir dan wajah ayu sang jelita kini sudah sepenuhnya merona padam. Sepasang netra rusanya yang selalu merekah indah itu pun tampak sayu nan membengkak. Bulu mata lentiknya penuh embun. Bahkan, bibir ranumnya yang mungil juga tampak bergetar. Haneesa benar-benar tampak hancur entah atas dasar apa, Samtala belum mengetahuinya dengan pasti saat ini. Namun, sialnya Samtala malah memikirkan kesan yang lainnya dari penampilan sang jelita yang masih begitu terhanyut dalam kesedihannya serta kian tenggelam dalam rengkuh hangatnya kini.

“Samtala ...” Cicitnya sedikit terbata sebab tengah sesenggukan, walaupun tangisannya telah terhenti.

Sang empunya nama lekas menggelengkan kepalanya dengan cepat, coba segera enyahkan pikiran kotornya. Apalagi suara Haneesa yang serukan namanya kini bisa-bisanya terdengar begitu sensual dirungunya. Kalau begini caranya Samtala rasa ia tak butuh ramuan apapun lagi tuk sambut Rut-nya dengan segera.

“Sammm?” Ulang Haneesa.

“Oh! Iya, sudah merasa lebih tenang, heumm? Butuh minum?” Tanya Samtala dengan penuh afeksi. Bahkan, setiap nada yang menyertai alunan kalimatnya pun terdengar begitu penuh kasih. Anggukan kepala sang jelita perlahan terasa menggusak kecil di dada bidangnya, dan hal itupun tak mampu buat sepasang sudut bibir Samtala tak terangkat tinggi. Sungguh, Haneesa tampak begitu kecil, ringkih, rapuh, dan jelasnya begitu menggemaskan direngkuhan Samtala kini.

“Duduk dulu ya? Biar ku ambilkan air. Tunggu disini, aku hanya pergi sebentar” Ujarnya seolah tengah meyakinkan seorang anak kecil sebelum ditinggal pergi.

Selepas kepergian Samtala, Haneesa masih diam mematung duduk lunglai di tepi ranjangnya. Fokus dan kesadarannya belum sepenuhnya pulih jadi untuk sekedar menyadari tindakan impulsif-nya sebelumnya pun ia belum mampu sama sekali. Akan tetapi, kala dirinya tengah coba usap sisa air matanya menggunakan lengan bajunya, tiba-tiba saja aroma Musk dan Woody yang begitu jantan menyapa indera penciumannya dengan sempurna.

“Oh ... Selene. Apa yang sudah kau lakukan Haneesa?!” Desahnya kacau, Haneesa mulai merasa konyol kini, setelah menyadari apa yang baru saja dilaluinya.

“Esaa, ini minumlah” Sial! Haneesa belum bersiap sedia tuk tebalkan mukanya, tahan gerak-gerik kesalah tingkahannya, dan menetralkan air mukanya, tapi bisa-bisanya Samtala secepat kilat sudah berada di hadapannya kembali.

“Lain kali, jangan terlalu lama menangis ya? Aku khawatir. Netra rusamu kini membengkak dan wajah jelitamu pun jadi begitu merona, Esaa” Beruntungnya Haneesa baru selesai menangis. Jadi rona dari rasa sungkan dan malunya pun dapat ia pingit dengan sempurna, usai dengar penuturan Samtala.

“Jangan di pikirkan lagi ya? Itu hanya bunga tidur, kau aman disini” Lagi-lagi tanpa permisi, telapak tangan besar dan hangatnya Samtala singgahkan di atas kepala sang jelita lantas ia usap-usap surai Haneesa yang selembut sutra itu dengan penuh afeksi.

Haneesa belum siap lontarkan kata apapun, dia hanya diam termangu seraya coba angkat wajahnya tuk menatap lamat air muka Samtala yang memang betulan tampak begitu mengkhawatirkan dirinya. Entah atas dasar apa, Haneesa tak berani menerkanya.

“Niatku tadinya ingin menemui Saluna. Tapi, belum sempat aku sampai di tenda khusus para Wolfie, tiba-tiba saja aku mendengar jeritan mu. Jadi aku langsung masuk kemari tanpa permisi. Maaf, aku sudah lancang” Jelasnya agar sang jelita tak salah paham akan kehadirannya yang begitu tiba-tiba di pagi buta ini.

“Tidak. Kau tidak perlu meminta maaf, tapi sudah seharusnya aku berterima kasih padamu, Sam. Terimakasih sudah ... itu, aku ... ” Samtala terkekeh kecil saat Haneesa kembali menundukkan kepalanya, lantas ia usak surainya dengan gemas. Samtala paham, sangat, jikalau sang jelita kini tengah merasa malu setelah bertindak impulsif dengan memeluk tubuhnya tanpa permisi.

“Bukan masalah, lagipula aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Syukurlah jika dengan memelukku tenang dapat kau rasakan” Haneesa benar-benar tergugu kini, hingga pilih membisu dan menundukkan kepalanya dalam

Keheningan perlahan mulai melanda diantara keduanya setelahnya, telapak tangan Samtala pun sudah sang empu tarik kembali dari kelancangannya. Haneesa masih membisu, ia masih merasa canggung menghadapi persepsi Samtala. Namun, sebab merasa cukup tak sopan sudah buang muka dari sang empu yang tengah menatapnya kini maka dengan sedikit ragu-ragu perlahan Haneesa angkat naik kembali pandangannya, tuk tatap wajah Samtala yang tetap terlihat tampan walaupun keadaan di dalam tenda itu cukup remang.

“Esaa ...” Samtala menghela nafas sebelum kemudian duduk berjongkok di hadapan sang jelita.

“Maaf. Aku ingin meminta maaf padamu, atas kelancangan ucapanku kemarin sore. Aku ... aku terlalu gegabah dan tak mampu berfikir dengan jernih, jadi dengan lancangnya ku tawarkan dirimu hal yang sangat tidak pantas itu. Kumohon, maafkan aku, Esaa” Tatapan tegas Samtala mengunci tatapan sayu Haneesa, dan pada sepasang rona yang berbeda warna di netra Samtala itu dapat Haneesa temukan sebuah ketulusan dan rasa sesal yang begitu mendalam, kala sang empu ucapkan permintaan maaf padanya.

“Tidak, jangan meminta maaf, Sam. Dan sebenarnya aku, itu ...”

“Esaa, tolong jangan ragu untuk suarakan apa yang ingin kau ucapkan. Aku berjanji akan mendengarkannya sampai kau selesai berucap. Aku tidak akan mencela mu sebelum kau berikan penjelasan. Jadi kumohon, jangan pernah ragu-ragu bertutur ucap padaku, ya?” Haneesa malah kembali tercenung kini, sebagai respon alaminya, kala wolf dalam dirinya, yang telah lama begitu mendamba dan membutuhkan rengkuhan hangat seorang, harus mengahadapi sosok sepenuh kasih Samtala.

Mengapa perwujudan lelaki yang berstatus Zeta dengan nama Samtala yang tengah berada di hadapannya itu terlihat begitu sempurna?

Bagaimana bisa, sosok seorang Zeta yang selalu kontras dengan wibawa dan ketegasannya yang mutlak, serta sudah semestinya miliki secercah watak arogansi itu seolah tak pernah Samtala miliki? Malahan di pandangan Haneesa, hanya ada sentuhan kasih penuh afeksi, serta kelembutan dan perasaan sayang yang begitu mengayomi, juga tentang hal-hal penuh kehangatan yang menyertai sosok Samtala. Hingga tak ayal, wolf Haneesa lagi-lagi merengek pilu mendambakan sosok lelaki seperti Samtala seperti hari lalu.

“Katakan lah, aku bersumpah demi Selene, aku tidak akan mencela mu” Haneesa kembali menundukkan kepalanya saat tangannya yang ia pangku mulai terlingkupi kehangatan yang menenangkan dari telapak tangan besar Samtala.

“Tatap aku, Esaa, dan tuturkan kemelut pikiranmu itu tanpa was-was” Sepasang netra mereka kembali mengunci tatap, yang satu tampak begitu lembut menyoroti yang lainnya, yang mana milik Haneesa kini tampak begitu mengemaskan.

Dengan degup jantung sang jelita yang kian kalang kabut berdetak, dengan tangannya yang semakin terasa hangat dalam genggaman sangwira, lirih vokalnya yang bagitu merdu itu pun akhirnya dengan yakin mulai Haneesa gema kan.

“Ada enam puluh bulan atau bahkan sudah lebih, yang dengan egoisnya ku lalui seorang diri, Samtala. Dan sudah sebanyak itu juga aku selalu menyerahkan jiwa ragaku tuk di remuk redam oleh kesakitan yang bahkan lebih baik ku tukar dengan kematian”

“Sam ... rasanya lebih baik aku mati saja dari pada harus merasakan kesakitan itu seumur hidupku” Sepasang netra rusa Haneesa kembali berselimut embuh tipis.

“Sudah ada begitu banyak insan yang datang padaku sebelum dirimu, sampai aku tak mampu menghitungnya lagi dengan jari-jari ku. Ada sebagian insan yang begitu sopan meminta dan juga menerima lapang dada kala ku tolak, tapi ada pula yang datang dengan cara yang buruk lalu berusaha meruda paksa diriku juga”

Wolf dalam diri Samtala mengeram marah pada kalimat terakhir yang Haneesa ucapakan. Namun, kemarahannya bukan untuk sang jelita, melainkan untuk para bajingan yang mencoba menyakitinya.

“Aku terlalu egois selama ini, Sam. Aku juga sudah terlalu buruk bertingkah, aku telah berani melawan Selene. Aku dihukum atas kesalahanku, namun dengan munafiknya aku malah menyalah semesta selama ini” Samtala semakin erat menggenggam tangan mungil Haneesa, sorot matanya pun kian tegas piaskan kilatan luka dan lara untuk segala pesakitan dan hal-hal buruk yang harus Haneesa lalui seorang diri.

“Aku ... aku tidak tahu harus menjelaskan apa lagi. Tapi sejujurnya, aku ... aku mengharapkan kehadiranmu jika hari pelik itu tiba, Samtala. Aku mau menemanimu, sebab tepat hari itu, ah tidak, tepatnya malam ini Heat-ku pun akan datang”

“Shtt ... jangan menangis, Esaa” Air mata sang jelita yang berlinang lekas Samtala hapuskan dari wajah ayu jelitanya.

“Aku tidak mau melalui pesakitan itu seorang diri lagi, Samtala. Aku — aku juga tidak menolakmu kemarin. Aku hanya berdalih dan menyuruhmu lekas kembali, karena aku malu berkata yang sejujurnya, sebab kita baru saja bertemu tapi sudah mau saling sepakati suatu hal yang tabu itu” Samtala dapat memahaminya dengan baik, jadi ia meresponnya dengan tersenyum teduh pada Haneesa.

“Dan ... tadi, dalam buaian bunga tidurku, aku bertemu Kanendra, dia suamiku. Dia ... dia datang menemui ku setelah sekian lama dan dia mengatakan bahwasanya aku harus melupakannya. Lalu menjalani kehidupan ini dengan baik walaupun tanpa dirinya, pun seraya berdamai dengan masa laluku, dia juga meminta ku agar temukan takdirku”

“Takdirmu?” Samtala tampak tak suka dengan informasi itu.

“Ya. Karena aku terlahir dengan Fated-Mate, Sam. Tapi, aku ... aku kehilangan tanda itu sebab telah mengkhianatinya. Aku mengkhianati dia yang menjadi takdirku, dengan memaksa Kanendra menandai ku dulu” Patah namun tak terlihat mata, remuk dan hancur namun tidak mampu terjabarkan bentuknya, Samtala tercekat mendengarnya. Lagi-lagi dirinya harus merasakan koyakan menyakitkan di hatinya, acap kali ia tengah berurusan dengan sosok sang jelita.

“Jadi ... apa kau masih mengharapkan ku, Sam? Tuk temani masa Rut-mu?” Samtala menatap lamat dan dalam pada sepasang netra rusa Haneesa yang kembali sayu dan piaskan guratan lara dan ketakutan besar.

“Aku selalu mengharapkanmu, Esaa. Bahkan sudah jauh hari, setelah kita berpisah hanya temu denganmu kembali yang angan-inginku harapkan tuk menjadi nyata”
️️ ️️

️️ ️️

️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ Sang surya baru saja merangkak naik ke atas kanvas langit, namun para Phi sudah kembali disibukkan dengan tugas mulia mereka untuk mengasuh para balita dan batita Wolfie kecil yang telah menjadi korban peperangan, hingga buaian kasih, timangan sayang, rengkuhan hangat dan aroma Feromone penenang sang Ibu tak mampu mereka dapatkan lagi.

“Sebaiknya kau sarapan dulu, Sam, biar Saluna aku yang urus” Haneesa yang baru selesai membantu para Phi lainnya di urusan dapur itu pun lekas menghampiri Samtala yang tengah berusaha keras tuk menimang-nimang sayang Putrinya. Namun, dengan cara yang cukup lucu, sebab Samtala terlihat kaku dan air mukanya pun tampakkan guratan kekhawatiran, maklum saja karena ia memang tidak terbiasa melakukannya, bahkan saat masih ada Runa sekalipun ia tak pernah belajar cara menggendong bayi.

“Esaa, Saluna hanya diam menatapku sedari tadi. Dia tidak merespon ku yang mencoba mengajak-nya bercanda gurau bahkan” Eluhnya dengan alunan nada sedikit kecewa.

“Mungkin dia rindu menatap wajah Rama-nya, lagi pula Saluna memang cukup pendiam, Sam. Belum lagi kan, sudah dua Minggu lebih dia tidak mencium aroma Feromone mu”

“Apa Saluna belum punya gigi sama sekali?”

“Belum, Sam. Usianya saja baru lima bulan”

“Lalu bagaimana caranya dia makan? Saluna juga butuh asupan makanan kan?” Haneesa sontak membuang mukanya agar tak bertemu tatap dengan Samtala, sebelum kemudian menjawab pertanyaannya.

“Bisanya dia hanya menerima asupan dari susu sapi murni. Tapi, dan ya kau tau kan sekarang itu ... jadi sebaiknya kau pergi sarapan saja, biar aku yang mengurusnya”

“Bolehkan aku menemaninya sarapan?” Konyol! Namun Samtala tidaklah sengaja mengucapkan pemikirannya itu.

“Maaf, aku lupa. Ekhem! Kalau begitu ... bisa kah kau mengambilnya dari gendonganku? Aku takut jika aku yang memindahkannya nanti dia terluka” Haneesa berusaha keras menganggap angin lalu ucapan asal Samtala sebelumnya, lantas dengan cekatan nan lincah, Haneesa pun lekas mengambil alih Saluna dari gendongan sang empu.

Sedangkan ... di sepersekian detik berharga itu, Samtala masih sempat-sempatnya curi tatapan kagum pada wajah jelita Haneesa yang berjarak begitu dekat dengannya.

“Pergilah ke tenda sebelah selatan, disana ada Epsilon Jayyandana yang sudah menunggumu untuk sarapan bersama”

“Jayyandana ... dia ada disini?”

“Iya. Dia berkata padaku ada urusan penting denganmu, sekalian menumpang sarapan disini. Sepertinya dia juga mau kau ikut dengannya kembali ke Istana”

“Kalian bicara sebanyak itu? Apa ... kalian saling mengenal?”

“Tentu, dia teman seperjuangan suamiku dulu”

“Apa bagimana bisa?” Sahutnya seolah tak percaya. Jikalau mendiang suami Haneesa adalah teman seperjuangan Jayyandana maka kemungkinan besar dia adalah sosok yang sebenarnya Samtala kenali dengan baik. Apalagi dari empat orang yang kini telah resmi sandang status sebagai seorang Epsilon seperti Jayyandana, pernah ada satu orang yang telah gugur dahulu, saat masa-masa perjuangan mereka yang kala itu pun masih sandang status sebagai seorang Eta sebelum kemudian menjadi Zeta sepertinya lalu naik pangkat lagi menjadi Epsilon.

Dan sosok itu juga termasuk dalam golongan orang-orang yang berselisih paham dengan keluarga Samtala selama ini.

“Maaf sebelumnya, Esaa. Bolehkah aku tahu apa nama Marga suami mu?”

“Tentu, Sam. Marga suamiku Elio, Elio Kanendra” Samtala langsung tertegun mendengarnya. Tebakannya nyatanya benar.

Elio itu adalah nama Marga yang memiliki arti kekuatan matahari, dan sialnya seluruh pemilik marga itu adalah orang-orang yang tamak, egois, dan hanya memikirkan diri mereka sendiri, hingga beberapa petinggi Clan yang memiliki Marga itupun selalu membuat ulah yang menimbulkan perpecahan Clan.

Selama ini hanya ada satu golongan pemilik Marga Elio di Clan mereka, dan kini pun mereka sudah tidak ada lagi. Sebab, tepatnya lima tahun lalu telah terjadi pembantaian masal pada seluruh Marga Elio, atas suatu perkara yang rumit dan tak termaafkan.

Apakah Haneesa mengetahui hal itu? Apakah Haneesa menyadarinya, atas apa yang telah terjadi dalam hidupnya? Ataukah selama ini Haneesa tidak tahu apapun?

“Sam? Bisakah kau keluar dari sini, emmm, aku harus menyusui Saluna”

“Maaf, aku sedikit melamun tadi” Samtala sempatkan diri tuk tersenyum teduh sebelum kemudian berpamit pergi, tak lupa ia juga bubuhkan kecupan sayang di pipi gembil Putrinya dan berikan usapan lembut di surai Haneesa.

“Setelah sarapan mungkin aku akan langsung kembali ke Istana, hanya sebentar. Kemudian nanti, sebelum sang swastamita terlihat, aku akan menjemputmu” Janjinya, untuk kesepakatan yang telah keduanya buat.

--

--

pshaconne
pshaconne

Written by pshaconne

love yourself or let me loving you better than anyone.

No responses yet