️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ Tubuh semampai yang miliki lekukan molek, dengan ukuran pinggang yang begitu mungil, serta dada dan pantat yang terbentuk begitu sekal pun sintal milik sang jelita, terus memantul-mantul indah di udara, tanpa sempatkan diri tuk ambil jeda barang sejenak saja.
“Shhh saa, emhhh! Pelan-pelan sayang”
“Enghhh mas Vatir-hhh ahhh enak banget ouhhh!”
Penampilan sang jelita yang biasanya selalu nampak cantik, anggun kemayu serta menawan sempurna, kini benar-benar telah luput jauh dari citranya yang semestinya.
“Hansaa ahhh mas mau crottt emhhh! Lubang memekmu jangan diketatkan, saa! Ahhh sayang!”
“Shhh ahhh shhh mas emhhh bareng ya ahhh shhh ahh! Mas ouhhh!”
Ranum kembarnya yang tercipta begitu tipis dengan kurva seindah lekukan busur cupid kini telah membengkak dan terkoyak, namun walaupun sudah tampak terlihat hampir hancur sekalipun, kidung merdu yang ia vokalkan dari bilah bibirnya kala tengah mengambil langkah tergesa tuk mengejar surga duniawidi itu terus melagu tanpa lelah.
“Mashhh emhhh kontolmu emhhh makin bengkak emhh penuh banget engh!!”
“Terus, saa, cepetin lagi ahh fuck!”
Sedang sepasang netranya yang berbentuk bulat sempurna kini terlihat berbinar semakin indah, apalagi kala sorot tatapan lugunya yang hampir menyaingi elok netra rusa, atau bahkan sesempurna bentuk bulan kala tengah purnama kali ini enggan merekah, kelopaknya layu sampai hampir tertutup sempurna,
Sungguh, dengan cara yang begitu jenaka, sang jelita kini tengah mencoba menggoda sangwira dengan tatapan matanya yang kian sayu mengintainya dari posisinya yang tengah berada diatasnya, mengendarai keperkasaannya dengan lincahnya.
“Ohh fuckkk! Hansaa ahh mas-hh mau keluar ahhh!”
“Mass ahh mas-hhh emhh!”
Di antara semua detail penampilan kacaunya, kini lengkaplah sudah arti hancur itu yang sebenarnya, bagi sang jelita, sebab tubuh ringkihnya yang terus terombang-ambing dalam gelombang panas yang tengah menderanya itu, kini tampak mengkilap bermandikan peluh keringatnya yang melimpah,
Namun percayalah, jika aroma tak sedap tak mampu membelai indra siapapun yang mungkin sudikan diri tuk menghidunya, sebab bau pandan yang mereka hasilkan begitu pekat, hingga begitu mendominasi berkuasa.
“Emhhh mas Vatir-hhh AHHH!”
“Saa, ahh! What the - Ahh FUCK!!!!”
Lepas, seluruh bebannya lenyap seketika dalam satu hentakkan keras yang mampu menimbulkan ledakan dahsyat. Lantas tubuh ringkihnya pun langsung tumbang seolah berdaya, menimpa tubuh perkasa sangwira, yang langsung menyambutnya dengan dekapan hangatnya.
Walaupun deru nafasnya terdengar begitu berat nan memburu luar biasa kini, namun senyuman culas masih sempat-sempatnya saja singgahi bibir ranum sang jelita.
“Kenapa ditahan tadi? Mas gak pake kondom lo ini. Gimana kalo sampe jadi, heum? Memang kamu mau jadi istri kedua mas?”
Mendengar kata nomor dua/kedua tubuh ringkihnya langsung bergidik ngeri.
Terlahir dengan segalanya dan keinginannya yang selalu terpenuhi, tak pernah ada kata nomor dua untuk seorang Dayinta Hansasena Van Xander.
“Ngacok kamu mau jadiin aku nomor dua! Kan mending aku lajang seumur hidup kalo gitu”
Munafiknya, padahal selama ini dirinya sadar sepenuhnya, jika ia memang selalu jadi yang nomor dua jika berurusan dengan sosok sangwira.
Katakanlah dia gila, sebab benar-benar menggilai suami orang tersebut, namun jangan pernah salahkan sang jelita juga, sebab pernikahan yang sangwira jalani kini pun adalah hasil sangpuan yang telah berani merebut miliknya.
Walaupun kini dalam hidup sangwira, sang jelita mau tak mau harus berada di urutan nomor dua, akan tetapi sejak awal sang jelita tidak pernah merebut apapun dari siapapun, apalagi dari istri sah sangwira, sejak dahulu sampai kini, Dayinta Hansasena Van Xander hanya terus berusaha mempertahankan apa-apa saja yang memang menjadi miliknya, contohnya saja sangwira.
“Saa, pindah sebentar ya? Aku mau angkat telfon dulu. Itu pasti dari Mamanya anak-anak”
Benci, kenapa panggilan akrab itu yang sangwira pilih tuk sebutkan sosok sangpuan yang kini lebih berhak atas dirinya? Sedangkan sang jelita lebih sering sangwira panggil dengan nama saja, terdengar tak elok pun istimewa sedikitpun.
“Loh, saa? Mau kemana?”
Tatapan tajam, dingin dan penuh kebencian sang jelita kabarkan padanya, sebagai isyarat telak, jikalau semua syair yang kan sangwira lantunan tak akan pernah mampu menghalangi kepergiannya.
“Jangan pergi dulu, saa. Lagian kan biasanya kita main sampai fajar, heum?”
Abaikan rengkuhan hangat di pinggang ringkihnya, sang jelita lekas memberontak dan berlalu pergi, tinggalkan arena pertempuran panas mereka tergesa.
️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ Gundah gulana, yang ciptakan gelisah yang berkepanjangan atas prahara cintanya yang semakin carut-marut belum juga surut, malah semakin semena-mena menjelma menjadi penguasa dalam dirinya, tuk hancurkan seluruh perasaannya sampai lebur tak bersisa.
Walaupun malam masih begitu panjang sekalipun, namun kini tungkai rusanya yang begitu lincah melangkah terus memaksakan dirinya tuk menapaki jalanan Kota sepanjang yang ia sanggup.
Masa bodoh dengan panggilan telepon dari sang Ayah ataupun dari sosok bajingan yang terlanjur ia jadikan semestanya,
Sang jelita hanya ingin berlari menjauh dengan sangat tergesa, lantas berkelana menjelajahi malam yang berkepanjangan, tuk cari puas entah atas perasaannya ataupun gejolak inginnya, ingin jajal segala hal tentang kenakalan remaja atau kehidupan sederhana yang tak pernah sempat ia rasakan.
Terlahir dengan segala kemewahan, kekayaan, kekuasan serta apapun yang selalu ia inginkan ‘kan terpenuhi segera, hanya satu yang tak Dayinta dapatkan, yakni kebebasan hidupnya.
Sejak lahir sang jelita telah milik segalanya, memang, ia ingin barang apapun itu, hewan yang manapun, dan hendak pergi kenegaraan mana pun, sang jelita kan dapatkan dengan mudah.
Kasih sayang? Tentu. Cinta? Selalu. Namun, kebebasan? Tidak pernah sekalipun sang jelita rasakan.
Sejak Sang Dayinta kecil, apapun yang tak mampu ia lakukan harus tetap ia sanggupi, apapun yang tak ia kuasai harus selalu ia tekuni, apapun yang membuatnya terluka harus tetap ia jalani.
Membunuh jati dirinya berulang kali, rasa-rasanya sudah menjadi makanan pokoknya setiap hari.
Sang jelita hanya ingin menikmati hidupnya sebagai orang normal, tanpa aturan konyol yang memaksa.
Seperti bagaimana ia harus berpenampilan, bagaimana ia harus bertingkah laku, tutur kata, serta bagaimana ia harus tersenyum, bahkan saat makan pun ia harus melakukan gerakan-gerakan yang melelahkan, seperti halnya hanya untuk menikmati sepiring makanan penutup yang seharusnya tandas dalam sekali suap pun ia harus menghabiskan hampir sepuluh menit waktunya di meja makan.
Kala sang jelita ingin berteman, selalu ada batasan, harus orang yang setara dengannya.
Kala ia ingin makan diluar rumah, harus selalu di restoran mewah dan terpercaya.
Kala ia ingin mengenakan pakaian nyaman, harus selalu berlebel dan punya kesan mewah.
Bahkan saat ia jatuh cinta, sosok Gavatirta Atmaja pun masih tak bisa sang jelita sanding, meskipun sang kekasih itu miliki orang tua yang berasal dari salah satu dari sekian orang tersohor sekalipun,
Pilihan orang tuanya malah jatuh pada keluarga Benjamin, yang kekuasaannya lebih luar biasa lagi powernya di atas keluarganya.
“Kakimu terluka, nona” Sang jelita sontak melirik sangwira dengan sinis, yang tanpa permisi langsung duduk di sampingnya.
“Aku laki-laki” Ketus jawabannya malah timbulkan kekehan riang dari sangwira.
“Maaf, anda terlalu jelita, saya sampai pangling”
Dari perawakannya, tutur katanya, perangainya, dan pakaiannya, kemungkinan besar sangwira adalah sosok yang sama dengannya, yang terlahir di keluarga yang pedomannya lebih sinting dari keluarga kerajaan.
“Lupakan, untuk apa kau menghampiriku?”
“Tidak, aku bukan hendak menghampirimu. Aku hanya tengah menunggu jemputanku, mobilku mogok disana” Jelasnya seraya menunjuk ke arah mobilnya berada.
“Pulanglah, ini sudah larut, lelaki jelita sepertimu tak baik berkeliaran seorang diri di jam satu pagi, seperti ini”
“Ya, tentu aku akan segera pulang” Bohong, ia bahkan hendak melanjutkan perjalanan kakinya ke arah sebuah bar diseberang jalan sana, usai berhasil mengelabui mata-mata Ayahnya.
“Mau ku antar?” Ujar sangwira saat mobil jemputannya tiba.
“Aku sudah dijemput juga, tidak perlu khawatir. Dan kalau boleh tau, siapa namamu?”
Sangwira sedikit mengerutkan keningnya, namun tetap menjawab pertanyaannya seraya mulai tersenyum hangat dengan begitu lebar sampai gigi taringnya yang runcing terlihat jelas.
“Salvino …” — Poetra Benjamin, lanjutnya dalam hati.