Kaki jenjang yang begitu mungil itu terus memacu langkah yang begitu cepat namun tetap meniti dengan hati-hati agar tak tergelincir dan berakhir terjatuh. Ia tidak sedang berlari hanya berjalan sedikit tergesa-gesa, sebab ia begitu tak sabarnya bertemu dengan sosok yang sangat dirindukannya itu.
Bahkan dari bersemangatnya ia sampai abai pada tatapan penuh selidik dari orang-orang disekitarnya yang kini mulai mencelanya, sebab sang empu tampak terlalu muda dengan perutnya yang sudah berisi. Tubuh sang jelita begitu ringkih hingga permata yang singgah di dalam rahimnya itu tampak begitu menonjol terlihat di khalayak umum.
“Ayah …” Rengekan manja sang jelita langsung mengudara begitu saja walaupun akhirnya sang empu sedikit menyesal sebab tidak dapat mengontrol suaranya, usai ia berhasil memasuki mobil insan yang begitu di rindukannya itu. “Eh dijalanin dulu mobilnya. Keburu macet, bentar lagi udah mau jam makan siang ini” Pintanya saat sang kekasih hendak memeluknya detik itu juga. Ia bahkan langsung pura-pura sibuk memasang sabuk pengamannya guna mengalihkan perhatian. Sebenarnya ia bukan tidak mau, hanya ia terlalu gugup dan malu sekarang.
“Emm … ini mau langsung kerumah atau mau jalan-jalan dulu?” Tanya pria berusia kepala empat itu dengan penuh kelembutan seraya bersiap menjalankan kemudi.
“Hylan mau beli baju dulu deh yah. Baju Hylan udah gak muat. Tuh lihat baby-nya pasti pengap kalo Hylan pake baju ketat terus” Ujarnya seraya memilin jemarinya yang bertaut di atas pangkuannya dengan tatapan netranya yang sibuk meliar menghindari netra sang kekasih hati.
“Oke. Kalo gitu kita ke mall kakaknya ayah aja ya? Disana lengkap dan designnya juga modern pasti Hylan suka deh” Tutur Sagiardi seraya tersenyum manis menatap ke arah Hylan yang masih tergugup di sisinya.
“Tapi kira-kira mahal-mahal gak? Papa belum kirim uang jajan Hylan soalnya, mama juga. Hylan takut isi ATM Hylan gak cukup nanti” Hylan melirik Sagiardi sedikit canggung dengan telapak tangannya yang kian berkeringat. Sungguh ia tak pernah segugup ini bertemu Sagiardi sebelumnya.
“Loh kan ada ayah. Nanti ayah yang bayarin kok, sayang tenang aja ya?” Sagiardi kini mulai mengemudi namun hanya dengan satu tangannya saja sebab tangannya yang lain langsung terjulur ke arah Hylan guna mengusap-usap lembut rambut sang empu yang kian memanjang dari waktu terakhir kali ia melihatnya. Lantas beranjak turun pada perut Hylan yang kini semakin bulat dan menonjol kentara sebab kehamilannya pun telah masuki trimester kedua.
Padahal hanya satu bulan keduanya tidak bertemu. Namun rasa rindu yang tersimpan di relung hati Sagiardi terasa begitu menumpuk seolah-olah sudah ribuan tahun keduanya berpisah.
“Emang boleh?” Cicit Hylan sedikit ragu-ragu. Sebab selama mereka bersama ia memang jarang meminta sesuatu apalagi dengan harga yang mahal.
“Boleh sayangku” Sahut Sagiardi seraya kembali menyetir kemudi dengan benar sebab jalanan mulai padat karena jam makan siang sudah tiba.
Hylan spontan tersenyum kecil saat dengar Sagiardi memanggilnya dengan buaian kata sayang. “Yaudah deh terserah ayah”. Setelah itu suasana di dalam mobil pun seketika menjadi hening. Keduanya tampak ragu hendak memulai percakapan entah dari mana dahulu.
Sebenarnya ada banyak kata yang telah terangkai menjadi kalimat yang begitu panjang di benak dan pikiran Hylan. Ada rindu yang juga kian menumpuk dan terasa semakin menikam di relung hatinya sama seperti Sagiardi. Namun usai perpisahan yang cukup buruk sebulan lalu, Hylan jadi sedikit kebingungan bagaimana harus bersikap dan bertingkah pada sang empu kini.
Lima bulan, keduanya telah bersama. Tak banyak waktu bisa mereka habiskan untuk saling memahami dan mengerti watak dan sifat satu sama lain lebih jauh lagi.
Ikatan cinta kasih yang kini mulai tumbuh di hati keduanya bahkan rasa-rasanya baru sebesar tangkai bunga dahlia. Kesibukan serta masalah yang datang silih berganti buat keduanya hanya tau bagaimana caranya bergumul di atas ranjang bukan menikmati waktu berdua selayaknya pasangan normalnya.
Hylan langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat seraya menerjapkan kelopak matanya beberapa kali. Kala ingatannya dengan Sagiardi nyatanya tak begitu banyak selain aktifitas ranjang saja. Hylan juga langsung menghela nafas panjang setelahnya. Netranya yang bulat jernih pun kini coba lebih berani tuk melirik ke arah Sagiardi. Dan dengan seketika rasa sesal di hati Hylan jadi semakin timbul. Sebab dahulu egonya sebegitu besarnya untuk membalas perlakuan sang mantan kekasih yang bahkan kini telah kembali ke pelukan tuhan itu. Hingga tanpa disadarinya, ia telah melukai perasaan tulus pria yang seusia dengan papanya itu.
Hylan jadi berandai-andai seraya menatap nanar pada Sagiardi yang tak lunturkan senyuman hangatnya untuknya. Andai saja dahulu ia lebih berani untuk membuka hatinya dan lupakan cinta pertamanya yang nyatanya adalah adik tirinya itu. Lalu mau memaafkan sosok mendiang sang mantan kekasih yang sempat berikan ia kecewa tanpa banyak basa-basi lagi. Maka kemungkinan sudah sejak lama ia dan Sagiardi memulai langkah ke arah hubungan yang lebih baik. Walaupun celaan publik karena perbedaan usia keduanya tidak dapat terhindari. Namun Hylan pikir semuanya akan lebih baik jika ia tidak egois dan kekanak-kanakan.
Apalagi jika ia mengingat bagaimana perlakuan Sagiardi yang sebenarnya tak pernah ada kurangnya ia terima. Hylan jadi semakin menghakimi dirinya sendiri kini.
Sagiardi selalu memberinya banyak hal yang selama ini tak pernah ia miliki dan bahkan belum pernah berani ia inginkan. Tidak hanya di materi yang sebenarnya ia sudah berkecukupan sejak sang Ibu berpamit ke negeri sakura. Sosok Sagiardi juga beri ia peran seorang kekasih yang selalu memberinya cinta tanpa cacat.
Sebelum semuanya jadi runyam bahkan Sagiardi dahulu tidak pernah mengeluh walaupun seringkali harus menahan kantuknya di tengah malam dan esoknya ia harus pergi rapat hanya untuk menjadi teman bercengkrama nya tuk bertukar pikiran akan kegelisahannya menghadapi dunia perkuliahan.
Sagiardi juga memberikan peran sosok seorang kakak yang baik baginya, yang kan selalu menasehatinya tanpa perlu mencelanya.
Dan yang terpenting, Sagiardi juga telah berhasil memberikannya peran sosok seorang Ayah yang begitu baik, perhatian dan juga pengertian yang kan selalu mengayominya tanpa rasa pamrih.
Usai menyelami perasaannya dengan baik-baik. Usai berpisah sekian lama dengan sang empu dan setelah merenungi sikap kekanak-kanakannya yang berburu balas akan dendam. Pada akhirnya Hylan menyadari jika di lubuk hatinya yang terdalam ia selalu bersyukur di pertemukan dengan sosok Sagiardi.
Sosok yang sebelumnya hendak ia manfaatkan perannya. Sosok yang tak terkira kan buatnya benar-benar rasakan rasanya di cintai sebegitu tulusnya.
Namun dibalik itu semua, tindakan asusila keduanya dahulu tetap tidak dapat di benarkan. Apalagi sampai kini hadirkan sosok suci didalam rahim Hylan.
Hylan tidak marah sebab ada sosok yang jadikan tubuhnya sebagai inangnya kini. Ia tidak menyesal mendapatkannya sebab ia melakukannya secara sadar saat itu. Dan lagi ia tidak membenci akan keadaannya kini yang tengah berbadan dua. Walaupun mungkin reaksinya begitu buruk di awal.
Bisakah hal itu diwajarkan saja? Sebab saat itu ia merasa sedikit shock dan tak mengira jika akan segera mejadi seorang Ibu di usai muda. Walupun kartu tanda penduduk sudah ia dapatkan namun ia tetep merasa jika dirinya masih terlalu muda.
Namun keterkejutannya kian berubah menjadi rasa ingin melindungi dan semakin mensyukuri keadaannya, saat Hylan melihat langsung bagaimana kondisi Jynar — kekasih papanya yang baru saja keguguran dan tampak begitu hancurnya itu.
Bahkan Hylan sempat ketakutan sendiri. Takut gagal dan tidak mampu membawanya melihat dunia ini.
Jadi setelahnya Hylan mulai menerima keadaannya lebih baik lagi. Karena ia takut, takut kehilangannya. Takut rasakan sakitnya yang Jynar rasakan. Ia takut kehilangan sosok yang mungkin baru terbentuk jemarinya itu. Ia takut jika detak jantung yang terasa di permukaan perutnya itu tiba-tiba menghilang. Ia takut jika nafsu makannya yang kian bertambah itu mulai berkurang. Ia takut jika rasa ingin makan hal-hal yang tak wajar itu pergi. Ia takut jika nyawa yang ia bawa itu tak lagi hidup. Sungguh Hylan tidak siap. Karenanya kini Hylan sudah benar-benar mencintai sosok suci itu dengan sepenuh hati.
Lamunan Hylan langsung buyar saat telapak tangan besar yang terasa dingin itu mulai membelai wajahnya dengan lembut. “Sayang kenapa, heum?” Tanyanya dengan penuh kekhawatiran.
Hylan terlalu sibuk melamun sampai ia tidak menyadari jika keduanya sudah ada di parkiran mall yang keduanya tuju.
“Gak papa kok, yah” Tuturnya seraya tersenyum manis. Namun tatapan khawatir Sagiardi masih tak luntur juga sebab tanpa Hylan sadari dirinya tengah menangis kini. “Eh!” Hylan memekik terkejut saat tubuhnya langsung di pindahkan ke pangkuan Sagiardi dengan mudahnya. Ia bahkan baru sadar jika sabuk pengaman tak lagi membelenggu tubuhnya.
“Sayang yakin? Kenapa nangis kalo emang gak kenapa-kenapa?”. Wajah mereka bertemu tatap begitu lekat sebab Hylan tengah di pangku dengan posisi berhadapan. Walaupun begitu tubuh bagian depan keduanya tidak bersentuhan, ada jarak yang sengaja Sagiardi buat agar perut Hylan tidak terhimpit.
“Maaf …” Dapatkan afeksi yang begitu tulus Hylan jadi tidak sanggup, ia langsung menangis dengan posisinya yang langsung memeluk tubuh Sagiardi dengan eratnya.
Kehamilannya itu membuatnya berkali-kali lipat merasa sensitif. Ia bahkan bisa langsung menangis kala merasa hatinya tengah gundah.
“Ayah yang seharusnya minta maaf” Telapak tangan besar Sagiardi terus mengusap-usap punggung sempit Hylan dengan sayang. Bibirnya sedari tadi juga terus mengecupi pipi gembil Hylan yang kian dibasahi air mata.
“Enggak, yah” Hylan bangkit dari posisinya. Ia menumpukan kedua tangannya di dada Sagiardi dan wajahnya yang tampak begitu menyedihkan itu kini langsung bertatapan kembali dengan wajah khawatir Sagiardi. “Ini- ini salah Hylan. Ayah gak salah. Hylan yang salah yah. Hylan,”
Ucapan Hylan terpotong sebab Sagiardi langsung menyatukan ranum meraka. Tanpa pergerakan ia tetap menyatukan bibirnya dengan bibir Hylan yang masih bergetar sebab sang empu tengah menahan tangisannya.
“Sayang, Hylan. Jangan di bahas lagi ya” Ujar Sagiardi saat ranum keduanya berpisah namun jarak keduanya masih begitu lekat. “Ayo jalanin lagi tanpa lihat masalalu. Ayo mulai lagi dari awal. Hylan mau kan, sayang?” Ucapnya seraya tersenyum hangat pada Hylan.
Hylan tidak menjawabnya dengan kata-kata namun dengan tindakan. Telapak tangan mungilnya itu langsung menangkup wajah Sagiardi dan ranum keduanya pun kembali bertemu lekat bahkan kali ini keduanya saling melumat dan menyesap ranum satu sama lain.
Sagiardi terus membalas lumatan bibir Hylan. Namun ia tidak berusaha mendominasinya. Ia hanya mengikuti tempo yang Hylan ciptakan saja. Kedua tangannya yang bebas masih terus mengusap-usap punggung dan tengkuk Hylan dengan penuh afeksi. Seolah memuji kelincahan Hylan membawa lidahnya berdansa menari-nari serta bertukar saliva, sebelum kemudian keduanya kembali saling melumat dan menyesap bibir satu sama lain lagi.
Keduanya terus berciuman intim dan mesra. Melupakan posisi keduanya yang bahkan masih di lingkungan publik hingga beberapa menit kemudian Hylan segera menarik dirinya memutuskan ciuman mereka dengan terpaksa sebab pasokan udara semakin menipis dirasanya.
“Mau lagi?” Canda Sagiardi yang membuat Hylan langsung menelusupkan wajahnya di ceruk lehernya. “Di lanjut nanti ya, di rumah. Sekarang kita belanja dulu”. Hylan tidak menyahut ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali.
Lantas setelah itu keduanya pun langsung membenahi pakaian masing-masing yang sedikit berantakan. Bahkan Hylan kembali ke bangku di samping kemudi. Parkiran mall itu cukup padat ia takut di pandang aneh saat seseorang memergoki keduanya keluar lewat satu pintu yang sama.
“Ayah …” Cicit Hylan sedikit ketakutan. Sebab usai keduanya menapaki lantai dasar mall tersebut beberapa wartawan langsung mengepung keduanya.
“Jangan takut” Sagiardi langsung menggenggam tangan Hylan.
“Tapi itu — ” Hylan ragu berucap namun perkataan Sagiardi selanjutnya membuatnya kembali tenang. “Ayah sudah mengumumkan pada media jika kita sudah menikah secara adat, belum di resmikan negara”.
“Emmhh ayah … Boleh gak Hylan buat tanda hati? Nanti kan pasti fotonya ada di internet. Hylan mau simpan”. Giar terkekeh dengar permintaan menggemaskan Hylan. “Ia sayang, boleh”.