️️ ️️ Kali kedua, sepasang kaki mungil sang jelita kembali menjelajahi luasnya semesta di tengah gemerlapnya dunia malam, walaupun kali ini waktu masih baru menjelang sore.
Tepatnya pada pukul 17.00 WITA, Hikam telah duduk manis di salah satu kursi night beach club yang memberi view pantai secara langsung, tempatnya masih sama dengan tempat yang tiga hari lalu ia datangi untuk bertemu dengan Juna bahkan pada informasi tambahan yang sebelumnya Diana berikan kepadanya, nyatanya pria yang menjadi tamunya kali ini juga teman akrab Juna.
Dalihnya, sang empu begitu tertarik pada Hikam usai mengetahui kerja Hikam yang begitu memuaskan, bahkan Juna sampai rela memberikan tambahan tip secara cuma-cuma dalam nominal yang tak kira-kira sesuai seperti apa yang diterka Setta sebelumnya, sebab Hikam terlalu istimewa jelas saja Juna pasti kan ringan tangan tuk beri bayaran lebih pada sang jelita.
Sosok yang Hikam ketahui bernama Jevano Anderson itu adalah seorang pria berusia kepala empat, sama seperti Juna namun usia tepatnya sama seperti Setta.
Dari foto yang Hikam terima dari Diana pria itu jujur saja sangat tampan, wajahnya sangat menawan points pentingnya pada rahangnya yang tegas dan tatapan elangnya yang begitu tajam kala menatap.
“Hey, Baby. Sorry for making you wait …” Tubuh Hikam sedikit berjengit, debaran pada jantungnya kembali terasa begitu kuat saat tubuh ringkihnya dapatkan rengkuhan tanpa aba-aba dari arah belakang tubuhnya menghadap, bahkan kini tengkuknya telah terima kecupan kupu-kupu yang begitu sensual dari sang empu.
“Mas … Jev?” Hikam bertanya untuk memastikan, sebab ia belum bisa melihat langsung wajah sang empu yang kini tengah menenggelamkan wajahnya di ceruk lehernya, namun dari aroma parfume nya yang menguar begitu jantan pun begitu mewah dan elegan Hikam yakin sangat jika sang empu adalah tamunya, Jevano Anderson.
“Sounds so adorable — Mas”
Sang tuan terkekeh ringan mengetahui sang jelita memanggil dirinya dengan nama kehormatan yang terdengar begitu intim baginya.
Hikam menghela nafas panjang, jemari ringkihnya yang begitu lentik mengusap-usap lembut kedua lengan Jevan yang kini masih melingkar posesif di pinggangnya.
“Maunya dipanggil apa memang. Heum?” Ujar Hikam dengan nada sedikit merayu.
Benar kan? Tugasnya adalah memberikan kesenangan pada tuannya kan?
Apalagi ia belajar dari pertemuannya dengan Juna di waktu lalu, jika sang tuan juga butuh kepuasan batin bukan hanya aktivitas ranjang saja, jadi Hikam kian berusaha menjadi sang penggoda, mau tak mau, bisa tidaknya, Hikam harus berkembang agar pundi-pundi uang lebih mudah mengalir untuknya.
“Mas - aja. Aku suka kok”
Usai mengecup pipi gembil Hikam, Jevan langsung melepaskan rengkuhannya, lantas ia berlalu ke hadapan Hikam dan membungkukkan badannya agar ia dapat melihat wajah ayu jelita Hikam lebih leluasa.
“Kenapa? Kok liatnya begitu sih?”
Ranum Hikam spontan mengerucut gemas, kala Jevan menatapnya dengan tatapan yang sejujurnya terlalu … mesum untuk ia terima.
“Mas!” Hikam memekik kala kecupan kilat Jevan bubuhkan di ranumnya, namun sang empu langsung terkekeh seraya mengusap-usap kepala Hikam penuh afeksi.
“Kamu cantik. Ranum kamu juga indah dan manis sekali …”
Usai memuji Hikam seraya mengedipkan satu mata nya, Jevan kemudian mensejajarkan kepalanya di samping kepala Hikam.
“Aku langsung ereksi”
Bisik Jevan yang rasa-rasanya terlalu sopan terdengar dirungu Hikam, sebab Jevan tak menuturkannya dengan lantang.
“Kamu sudah booking kamar di sini, apa dimana?”
Netra bulat rusa Hikam mengerjap. Jemarinya mungilnya ia biarkan direkatkan dengan jemari Jevan yang ukuran jelas lebih besar, lantas sang jelita pun dituntut bangkit dari tempat duduknya yang kemudian langsung mengikuti langkah kaki sang tuan yang entah hendak membawanya kemana.
“Kita jalan-jalan dulu yuk. Nanti bermalam di hotel aja. Kamu mau belanja gak? Atau mau kuliner? Kamu suka apa? Kita keliling dulu aja gimana? Kata Diana kamu pendatang kan? Sama aku juga. Jadi mending kita jalan-jalan aja dulu sekalian pendekatan biar kamu lebih nyaman sama aku nya” Cercah Jevan panjang kali lebar seraya menuntun lembut sang jelita keluar dari gedung night beach club tersebut.
Dalam hatinya Hikam mulai berargumentasi dengan dirinya sendiri, harus bagaimana ia menghadapi sosok Jevan? Berbeda dengan Juna ataupun Setta, sosok Jevan nampaknya tak suka perasaan canggung yang Hikam ciptakan, sebabnya sang empu menawarkan hal-hal lain yang tidak berhubungan dengan aktivitas ranjang terlebih dahulu agar sang jelita lebih terbiasa berada di sampingnya.
“Sayang?”
Hikam yang sempat melamun langsung tersentak linglung. Usai menyadari jika tangannya tak lagi Jevan genggam, bahkan kini sang empu dengan begitu manisnya tengah membukakan pintu penumpang di samping kemudi mobilnya, seraya tersenyum hangat sang empu menganggukkan kepalanya seolah memerintah sang jelita agar segera masuk ke dalam.
“Sabuk pengamannya sudah di pasang kan?” Ujar Jevan usai ikut serta memasuki mobilnya.
“Sudah mas. Emm … kita mau kemana?”
Hikam memilin jari-jari tangannya di pangkuannya,.ia masih bingung harus menanggapi Jevan seperti apa.
“Hey … rilex baby. Gini sayang, lihat aku” Hikam menurut. Kini ia tengah menatap Jevan dengan penuh atensi. “Anggep aku teman kamu dulu ya? Ayo mulai dari pertemanan dulu. Nanti kalo kamu sudah nyaman sama aku, semuanya bakal mengalir gitu aja kok. Jadi nikmati aja ya?” Ujar Jevan masih tak lunturkan senyuman hangatnya.
Hikam menganggukkan kepalanya seraya tersenyum manis, lantas ia kembali di posisi awalnya kala Jevan mulai mengemudi.
Sedikit banyak Hikam jelas keheranan, sebab Diana mengatakan jika sosok Jevan sangat temperamen namun apa yang ia dapati justru sangat jauh dari kata-kata itu.
Walaupun hatinya gundah dan pikirannya berkelana, namun akhirnya Hikam mulai semakin menikmati waktunya bersama Jevan.
️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ Pendapat Hikam, sosok Jevan benar-benar lelaki dewasa, ia sangat pengertian dan begitu manis tutur ucapnya, walaupun tak menampik bahwa sosoknya adalah seorang Ayah dan suami orang juga statusnya.
Jevan bahkan tampak sangat menyayangi keluarganya walaupun kini ia tengah berjalan di sisi kesesatan semesta, sebab walaupun tengah sibuk menyenangkan dan memanjakan Hikam sedari sore hingga malam menjelang, akan tetapi Jevan tak pernah mengabaikan telepon dari istri dan anaknya.
Jevan bahkan tak sempatkan hatinya untuk berbohong tentang aktivitas apa saja yang ia lakukan selama bersama Hikam, hanya saja sang empu jelas tak sebut bahwa dirinya tengah bersama seorang tuna susila.
Papi, panggilan akrab dari anaknya yang berusia enam tahun dan istri Jevan, lucu dan sangat akrab kedengarannya, Hikam lagi-lagi jadi terheran, Jevan terlihat sangat baik rasa-rasanya, ia seperti seorang family man, senyumannya selalu terlihat begitu tulus saat dengar anaknya mengeluh dan istrinya ucap rindu.
Kemarin usai Hikam mengetahui fakta jikalau Juna berpaling di sisi pelik dunia itu sebab cintanya yang tak terbalaskan, lalu kira-kira apa gerangan yang membuat Jevan memilih untuk mencurangi keluarga Cemaranya itu kira-kira?
“Udah jam sembilan. Cepet banget rasanya, mau balik atau mau minum dulu?” Hikam tersadar dari lamunannya, namun ia spontan tersenyum manis sebelum menyahutinya.
“Minum di hotel aja, mas. Kalo kamu tipsy gimana kita mau balik nanti? Aku gak bisa nyetir mobil tau”
Jevan terkekeh dengar sahutan Hikam seraya menganggukkan kepalanya paham.
“Yasudah ayo balik. Belanjaan kamu biar orang-orang aku aja nanti yang antar ke vila”
Hikam menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, lantas keduanya pun langsung berlalu untuk kembali ke hotel tempat Jevan selama ini tinggal.
Sesampainya di kamar hotel tempat Jevan biasanya bermalam, keduanya pun lekas bebersih diri dimulai dari sang tuan yang lebih dulu mandi baru kemudian dilanjutkan oleh sang jelita.
Lantas usai selesai dengan segala aktivitasnya itu Hikam pun langsung berjalan dengan langkah yang anggun teratur tanpa keterburu-buruan, tujuannya melangkah hendak pergi ke tempat dimana sang tuan tengah duduk nyaman di kursi dekat jendela dengan segelas wine yang dinikmatinya seorang diri seraya menatap ke arah luar.
Sang tuan tampak tengah mengagumi pemandangan malam kota yang terlihat begitu indah dari kamar hotelnya yang kebetulan letaknya cukup tinggi tersebut.
Hikam mendekat dan langsung memeluk tubuh sang tuan dari arah samping, namun tak lama kemudian Jevan langsung menitah sang jelita yang hanya menggunakan bathrobe sama sepertinya itu agar dapat duduk nyaman di atas pangkuannya.
Di posisi duduknya yang menyamping di pangkuan tuannya Hikam coba singgahkan satu lengannya di pundak sang tuan, lantas tangannya yang lain ia bawa tuk berkenalan mengusap dada bidang sang tuan seraya menatapnya penuh rayuan.
“Mau minum juga?” Hikam menggelengkan kepalanya menolak. “Kenapa?” Jevan kembali bertanya seraya menatap lekat raut jelita Hikam yang begitu dekat dengan wajahnya saat ini.
“Belum pernah minum soalnya” Aku-Hikam yang membuat sang tuan langsung terkekeh geli mendengarnya.
Mendengar kekehana renyah sang tuan Hikam coba lebih fokuskan tatapan netranya untuk lebih lekat memandangi wajah tampan tuannya itu.
Jevano Anderson, pria itu terlihat sangat sempurna dan mengagumkan, dia dianugerahi wajah yang tampan dan fisik yang jelas menarik sekali, ia punya pekerjaan yang mapan dan keluarga yang harmonis juga tampaknya.
Lantas hal apa sebenarnya yang membuat sang empu hingga begitu tega curangi semesta nya? Padahal ia terlihat begitu sempurna. Hikam sangat penasaran jelasnya.
Jevan yang melihat adanya beban pikiran dari tatapan sang jelita itu pun mulai bertanya dengan tutur ucapanya yang begitu lembut seperti biasanya.
“Tanyakan saja”
Seolah tahu apa yang diinginkan sang jelita, ucapan sang tuan seolah telah mewakili segalanya, rasa-rasanya tak apa jika memang sang jelita ingin menanyakan hal apapun juga darinya.
“Semesta udah kasih segalanya mas, sama kamu. Apalagi yang gak semesta kasih sebenarnya? Sampe kamu pilih jalan ke jalan yang pelik ini?”
Netra Hikam begitu intens menatap netra elang Jevan yang memandangi nya dengan pandangan yang kian menjadi lebih sulit diartikan.
“Kamu mau tau, yakin?”
Sejujurnya kini Hikam mulai takut, sebab ia seolah dapat melihat adanya sebuah luka di sana, lagi-lagi Hikam dapat merasakan hal itu dari orang asing selain Setta dan Juna, apalagi kini tatapan netra Jevan yang begitu tajam mulai diselimuti kabut tipis, pria itu sedang kesusahan juga nyatanya untuk bertahan hidup di semesta yang telah hancur ini nampaknya.
“Kalo mas gak mau cerita gak papa sih,” Ucapan Hikam terhenti kala sang tuan langsung merengkuh tubuh ringkihnya.
“Saya … sakit Hikam” Tubuh Hikam yang seketika menegang langsung Jevan usap-usap lembut punggung sempit nya itu. “Saya gak bisa punya anak” Nyeri sekali, udut hati Hikam terasa begitu nyeri kali in,alu gadis kecil berusia enam tahun itu siapa?
“Aku nikah sama wanita yang aku sayangi, aku cintai, aku kasihi, istriku itu segalanya Hikam”
Hikam membalas pelukan Jevan kala suara sang tuan terdengar kian bergetar.
“Aku nikahi dia baru enam tahun lalu. Awalnya karena dia ngaku hamil anak ku tapi dua tahun lalu pas aku sering liat dia keluar bawa Nora ketemu sama laki-laki yang gak aku kenal sama sekali. Di sana aku baru tau banyak hal”
Bahu Hikam terasa basah, sang tuan tampaknya tengah meluapkan emosinya yang selama ini di bandung nya seorang diri lewat air matanya yang langsung berlinang tanpa tedeng aling-aling.
“Aku gak berani tanya langsung sama dia. Aku sayang banget sama dia, apalagi sama Nora. Jadi akhirnya aku beranikan diri buat tes DNA Nora diam-diam”
Tubuh Jevan kian semakin bergetar, lirih tangisannya bahkan kian semakin jelas terdengar. “Dia bukan anakku ternyata. Istriku bohong selama ini Hikam, wanita yang aku cintai ternyata curangi aku …”
Sang jelita semakin eratkan pelukannya pada tubuh tuannya yang bergetar semakin kuat.
“Aku pikir gak apa-apa, toh pernikahan kita jalannya masih panjang dan rasa-rasanya aku masih bisa maafin istriku karena aku … aku mencintai dia. Tulus Hikam. Aku juga pikir kita masih bisa punya anak kita sendiri, tanpa perlu ungkit fakta siapa Ayah Nora. Janji, aku bakal terima dia lahir batin sebagai anakku, Hikam. Tapi … tapi setelah enam bulan aku usaha diam-diam. Semuanya sia-sia ternyata”
Hikam tau apa yang hendak Jevan katakan namun ia masih tak siap mendengar kelanjutannya sepertinya.
“Pas aku check-up kesehatan ke rumah sakit, nyatanya aku mandul, Hikam. Aku … aku gak sempurna”
Pecah sudah tangisan Jevan, hingga luar biasa menggelegar lantang bahkan terdengar begitu pilunya.
“Aku takut. Aku takut Hikam. Aku bener-bener gak bisa terima kenyataan ini. Aku takut kalo suatu saat nanti istriku pergi, bawa Nora yang udah aku anggap anak kandung ku itu juga. Aku takut dia ninggalin aku sendirian karena kekurangan aku”
Tangisan sang tuan semakin menyesakkan untuk di dengar.
“Aku takut … mangkanya aku lari. Agar suatu saat nanti rasanya gak bakal terlalu menyakitkan kalo andai-andai istriku pergi dan bawa Nora juga. Aku salah menapaki jalan kaya gini, aku tau. Tapi aku gak punya daya Hikam. Aku sayang banget sama istri dan anakku. Aku harus apa buat terus mempertahankan mereka di sisiku? Atau gimana cara buat mengurangi rasa sakitnya?”
Hikam sekarang paham.
Sebenar-benarnya semesta tak pernah ciptakan se-sosok manusia utuh dengan segala kesempurnaannya.
Selalu ada kurang lebihnya — ada rasa derita lara yang sama — ada masa tuk tertawa bahagia di waktu yang berbeda — pun kedukaan serta kematian rasa, yang sama, hanya saja porsi dan waktunya yang berbeda-beda.
Semesta ternyata adil membagi luka dan kebahagiaan setiap umat manusia, dan ada berbagai macam cara semesta menjabarkan nya.
Hikam tidak sedang kesusahan seorang diri tuk menjalani takdirnya yang pelik ini, seluruh umat manusia tengah berjuang juga dan tak hanya dirinya yang jatuh bangun seorang diri.
Semesta begitu adil membagi lukanya pada setiap umat manusia dengan sama rata.