Usai puas berkeliling dan mencoba segala jenis permainan Cyan dan Genta pilih menyisihkan diri dari kerumunan.
Mereka menepi di sisi belakang komedi putar, duduk di bangku kayu panjang yang tak tersentuh riuh pengunjung pasar malam. Kedua wira itu duduk berdampingan dengan jarak yang tiada sampai bangku panjang itu miliki banyak ruang tersisa.
Minuman dingin ada di tangan masing-masing, canda tawa masih tersisa di antara mereka, sebelum tiba-tiba keheningan seketika melanda sebab keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Udah lama banget ya kita gak having fun gini” Tutur Genta membuka percakapan sembari menghela nafas panjang dan turut menyandarkan punggungnya di sandaran kursi seperti Cyan.
“Emmm. Seingat gue kita terakhir kesini pun pas lo lagi kabur dari omelan mama lo gak sih, pas lo gak mau ikut ke ausie?”
Genta menganggukkan kepalanya sebagai tanda menyetujuinya.
“Gak kerasa ya yann. Kita udah selama ini bareng-bareng” Genta menundukkan kepalanya, jari-jarinya meremas dan menggosok kaleng soda di genggamannya, ia tampak ragu dan menimang-nimang keputusannya, yang mungkin saja bisa menghancurkan seluruh semesta yang begitu di cintanya.
“Bener” Cyan terkekeh entah untuk apa.
“Sejak kecil, tiap orang tua gue berantem lo selalu jadi tempat gue berlindung, lo kasih peran abang buat gue. Tiap gue depresi dan ngerasa tertekan pelukan lo selalu buat gue tenang, lo kasih peran Ibu buat gue. Pas gue di bully lo selalu lindungi gue, lo kasih peran Ayah buat gue” Genta mendongakkan kepalanya menatap lekat langit malam yang begitu pekat dan monoton tanpa bintang-bintang yang menghiasinya bahkan rembulan yang bulat ayu sempurna malah bersembunyi di balik awan-awan kelabu.
“Dulu lo mungil banget taa. Eh pas remaja lo malah lebih kekar dari gue”
“Sekarang mah karna badan lo yang terlalu ringkih, yann. Makan, makanan gak sehat mulu mana ada gizinya mana gak pernah ke gym juga” Canda Genta yang di balas tatapan sinis dari Cyan.
“Tapi gue lebih tinggi ya dari lo!”
“Elah beberapa centi doang juga”
“Tetep aja gue lebih tinggi ya!” Genta hanya terkekeh geli menanggapi kekesalan Cyan.
“Eh taa, tadi di chat katanya lo mau ngomongin hal penting. apa?” Tubuh Genta yang semula rileks seketika menegang mendengar tutur tanya Cyan.
Genta lagi-lagi menundukkan kepalanya begitu dalam, detak jantung mulai berpacu semakin cepat tak terkendali sampai buat pernafasannya sedikit memberat. Pikirannya mulai berkecamuk, antara rasa ragu, takut, dan malu menjadi satu padu. Di dalam kepalanya benar-benar terdengar riuh, memintanya berkata hal yang sejujurnya tapi sialnya dihatinya masih tersisa keragu-raguan. Jadi sekali lagi ia tekankan dalam alam bawah sadarnya — kapan lagi, jika bukan hari ini?
Sejak dulu dia pikir seluruh rasa cintanya saja sudah cukup tanpa perlu balasan, namun semakin lama timbal balik rasa itu perlu nyatanya, sebab jatuh cinta sendirian itu menyakitkan.
“Cyan — gimana kalo gue suka sama cowo?” Genta langsung menggigit bibir bagian bawahnya sambil menoleh dan menatap takut-takut pada Cyan yang menatap lurus ke depan ke arah kerumunan.
“It’s oke …. itu pilihan lo kan?” Genta memperhatikan raut wajah Cyan yang begitu tenang. Netra Cyan menatap kagum pada pemandangan di depannya, serta bibir mungilnya menampilkan senyuman kecil di sana.
Apa Cyan benar-benar baik-baik saja saat mengetahui sahabat dekatnya sedari kecil itu memiliki orientasi yang menyimpang?
“Lo baik-baik aja, serius nih?”
Raut wajah Cyan belum berubah ekspresi, ia menganggukkan kepalanya untuk menyahuti pertanyaan Genta.
Lega — sesak yang selama ini Genta nikmati sendiri akhirnya terasa sedikit berkurang dan senyum tampannya mulai terpatri di wajahnya.
Dengan detak jantung yang masih bertalu-talu riuh di dadanya, Genta sekali lagi mencoba menyakinkan dirinya untuk mengungkapkan perasaannya pada Cyan malam ini juga.
Setelah mengatur pernafasannya dengan yakin dan penuh semangat Genta mulai berucap “Cyan — sebenarnya orang yang gue suka selama ini,”
“Taa taa taa liat!” Cyan memotong ucapan Genta sambil menunjuk ke arah depan, tepatnya ke arah komedi putar yang berada tepat di hadapan mereka.
Netra elang Genta mencoba menelisik ada apa gerangan yang sampai hati sanggup curi atensi Cyan-nya?
“Apa?” Genta kebingungan saat tak dapatkan apa yang dimaksud Cyan.
“Itu ada anak kecil naik komedi putar sama ayahnya” Jelas Cyan sambil terus menunjuk kedepan sampai Genta akhirnya bisa menemukan sosok yang Cyan maksudkan.
“Gemes kan?” Tanya Cyan dengan riangnya. Genta menganggukkan kepalanya dan tersenyum singkat sebelum kemudian menatap wajah Cyan kembali dengan penuh atensi. Nampak jelas sekali raut bahagianya, senyum tulusnya serta tatapan netranya yang berbinar. Indah. Cyan begitu indah bagi Genta.
“Kok lo keliatan senang banget?”
Cyan menganggukkan kepalanya lantas tersenyum begitu lebarnya, sebelum kemudian ia menghela nafas panjang sejenak sebelum memberitahu alasny, “Gue suka anak kecil —” Telinga Genta spontan berdengung keras mendengarnya.
“Gue pengen banget punya anak cewe di masa depan”. Raut wajah Genta langsung berubah menggamang tanpa ekspresi seketika.
“Semoga aja Pinkan mau deh, jadi ibu dari anak-anak gue nantinya” Cyan terkekeh geli pada ucapannya sendiri.
“Pinkan?” Saat Cyan menolehkan wajahnya kesamping untuk menatap balik Genta raut keruh sang empu langsung menyambut pandangan netra Bambinya.
“Iya. Gue udah lama pacaran sama dia. Kita backstreet selama 3 tahun ini taa —”
Nyeri, ulu hati Genta terasa sakit luar biasa rasanya.
“Dan besok gue mau lamar dia di lapangan basket outdoor kampus. Semoga di terimalah, gue sayang banget sama dia soalnya. Gue gak tau harus apa kalo sampe dia nolak gue” Ucap Cyan dengan ringannya.
“Aaa … jadi lo udah punya pacar selama ini. Okey gak papa meski lo baru cerita. Pada dasarnya emang gak semua hal harus kita bagi” Senyum kecilnya berusaha Genta tampilkan.
“Lo juga, kenapa gak jujur dari lama taa?” Cyan menatap netra elang Genta yang menukik tajam entah sebab apa Cyan tidak tahu.
“Soal apa?”
“Malem pas lo mabuk dan chat gue —” Cyan tampak ragu melanjutkan ucapannya.
“Kenapa? Gue ngapain lo?” Genta panik sendiri menerka-nerka apa yang sudah ia perbuat saat dirinya tengah tak sadarkan diri.
“Gue samperin lo malam itu, eh tapi pas sampe depan bar gue malah liat lo lagi ciuman sama cowo”
“HAH?!! APA?”
“Gue udah lama tau lo punya orientasi menyimpang, sejak kelulusan SMA deh kayaknya. Di malam prom gue liat lo ciuman sama cowo juga”
“Lo. Lo tau gue nyium siapa malam itu?”
“Bukan lo nyium orang taa, tapi kalian ciuman. lo sama Shankara. Sama kaya di malam prom lo juga ciuman sama dia kan di kamar mandi?”
“NGGAK!” Genta langsung bangkit dari posisinya, “Lo salah paham yann —”
“Udah gak papa gak perlu ngeles. Gue bakal terima kok hubungan lo sama San, asal lo dukung juga ya usaha gue ngelamar Pinkan”
“Yann —”
“Pulang yuk udah gerimis ini”
Genta masih ingin menjelaskan banyak hal pada Cyan, namun cuaca yang tidak mendukung buatnya rela mengalah untuk segera antar Cyan pulang sebelum insan yang dicintainya itu sakit sebab kehujanan.
Malam itu yang tak Cyan ketahui,
Tepat di malam prom Genta bertaruh dengan teman-temannya lantas sebab ia kalah ia harus mencium seorang laki-laki. Alih-alih pilih mencium Cyan, Genta lebih berani meminta tolong pada Shankara sebab ia tahu jika temannya itu juga seorang gay sepertinya.
Cyan sempat melihat mereka berciuman saat dirinya hendak menyusul Genta, sebab acara hendak di mulai, namun ia langsung pergi tanpa mendengar percakapan Genta dan Shankara yang mana disana Genta tengah mengakui perasaannya untuk Cyan.
Lalu di malam saat Genta mabuk, ia mencium Shankara sebab dalam halusinasinya sosok Shankara adalah Cyan-nya. Harusnya Cyan tak langsung pergi lagi seperti malam prom hari itu. Sebab usai mencium Shankara, Genta berteriak lantang bahwa ia begitu mencintai Cyan.
Di tengah perjalanan pulang Genta terlalu sibuk dengan pikirannya sampai tak merasakan pelukan Cyan di boncengannya yang mengerat.
Genta terlalu sibuk menatap jalanan kota sampai tidak berpaling untuk melirik kaca spion kirinya yang sesekali menampakkan tetesan air mata di pipi gembil Cyan.
Malam itu keduanya diliputi rasa sakit yang seimbang, sebab keduanya terlalu sibuk pada patah hati masing-masing, bahkan keduanya sampai tidak saling menyadari jika insannya satu sama lain dalam satu arah yang sama,
Mereka berdua saling jatuh cinta.