Katanya, hari Sabtu adalah hari keluarga, namun predikat tersebut terlalu munafik tuk di akui secara konkret oleh Mahesa.
Sebab yang punya keluarga saja belum tentu dapat merasakan euforia hari keluarga itu, apalagi yang tidak punya?
Dan kasus Mahesa adalah yang pertama.
Sepanjang hidupnya, dari lahir dan sampai kini sembilan belas tahun usianya, tidak pernah ada hari keluarga di kamus Mahesa, walaupun Ayah Ibunya masih hidup sehat di dunia dan tak pisah ikatan pernikahannya.
Setiap harinya selalu terasa sama, terlalu sibuk dan tak ada jeda baginya tuk ambil nafas barang sejenak saja, tuk istirahatkan jiwa raganya.
Terbangun begitu pagi sebelum waktunya para pelajar terjaga tuk mempersiapkan diri dan mulai belajar ekstra agar nanti ia tak perlu dapatkan kegagalan dikelasnya saat materi yang diterangkan sang guru tak mampu otaknya cerna. Karena sebenarnya Mahesa bukanlah anak yang cerdas, ia harus bekerja ekstra untuk capai sebuah hasil memuaskan yang orang tuanya inginkan, bahkan sampai korbankan waktu dan impiannya.
Setelahnya, setiap pagi ia kan duduk seorang diri di ruang makan yang begitu luas dengan sepiring sarapan yang mampu tandas dalam tiga kali suapan, yang katanya berprotein dan bergizi tinggi walaupun tak pernah mampu dapat tawarkan gerutu lambungnya, namun Mahesa tetap bersyukur setidaknya dia masih bisa makan hari ini.
Mahesa selalu berangkat sekolah dengan aman namun tak beri ia rasa kenyamanan, duduk di bangku penumpang di dalam mobil mewah yang dikemudikan sopir keluarganya sampai depan gerbang sekolahnya yang mahal, mewah serta begitu bergensi, lalu dengan susah payah ia bawa tungkai rusanya tuk melangkah tegas menuju kelasnya seraya tersenyum palsu senada dengan topengnya juga, tuk sembunyikan seluruh kelemahannya.
Dengan penuh kepalsuan, kepercayaan diri yang dibuat-buat, lengkap dengan senyuman manisnya yang mulai berkarat, Mahesa berjuang melalui harinya sebagai sosok yang paling di eluh-eluhkan, tampak sempurna, sangat membanggakan dan diidam-idamkan oleh seluruh gadis tuk jadi pasangannya,
Tapi, untuk kalimat terakhir itu Mahesa harus cekikikan diam-diam dibatinnya, sebab apa yang gadis-gadis cantik itu harapkan hanyalah angan-ingin semata yang tak kan pernah punya celah tuk di jadikan nyata.
Alasannya sederhana, Mahesa tak menginginkan pasangan wanita, dia selalu memimpikan seorang pria tuk bersanding bersamanya sampai akhir hayatnya.
Saat jam sekolahnya usai, Mahesa kan segera masuk keruangan kebesarannya sebagai ketua OSIS tuk memimpin rapat penuh wibawa dan tanggung jawab yang besar, sebelum kembali bawa kaki ringkihnya melangkah, menyeberangi jalanan sekolahnya tuk menuju gedung les hariannya, dari Senin sampai Sabtu, tak ada hari libur bahkan usainya sampai pukul enam sore pula.
Kadang kala, saat kakinya menapaki gerbang tempat lesnya di ujung hari sibuknya itu setelah lesnya usai, Mahesa ingin bawa kakinya melangkah cepat, berlari menjauh, melanggar peraturan orang tuanya, hanya untuk dapat merasakan kebebasan sederhana, duduk di bangku depan minimarket seraya menyantap ramen hangat dan ditemani sekaleng minuman bersoda.
Namun inginnya hanya angan, sebab mobil yang selalu mengantar jemputannya kan selalu terparkir tepat pada waktu.
Lelah, Mahesa sungguh lelah, bahkan saat sampai dirumahnya ia tak lagi hiraukan gerutu lambungnya sebab sejak pagi hanya di beri sarapan seadanya, Mahesa bahkan melewatkan jam makan siangnya juga karena terlalu sibuk di club basket, dan kini dia enggan mengambil makan malamnya.
Saat pintu kamarnya diketuk dan sosok sang Ibu menyapanya dengan senyuman, Mahesa selalu berharap kemustahilan akan adanya hari keluarga yang ia kata munafik itu pada akhirnya menjadi nyata, walaupun sudah hampir pukul tujuh malam, namun menonton TV besama sang Ayah —Ibu ditemani seduhan coklat hangat mungkin sudah cukup sempurna tuk tawarkan lelahnya.
“Bersiaplah, lima belas menit lagi kita harus pergi ke acara ulang tahun perusahaan rekan Papa” Ujar sang Ibu yang langsung sirnakan senyuman penuh harapnya.
Namun Mahesa tetap bangkit dari ranjang tidurnya, walaupun air mukanya mulai keruh kembali serta enggan.
Mahesa berusaha keras mempersiapkan pakaian yang harus dikenakannya serta mentalnya juga, yang jelasnya kan lagi-lagi orang tuanya adu pencapaiannya dengan anak-anak rekan bisnisnya yang lain.
Sudah biasa.
Di tengah perjalanan, hanya bising lalu lalang kendaraan yang mengisi rungunya, Ayahnya jelas fokus mengemudikan mobil sedang Ibunya terlalu fokus pada gawainya.
Bibir ranum Mahesa menyunggingkan senyumnya kecut, apa yang ia harapkan memang?
Ayah dan Ibunya hanya sedang memainkan permainan rumah-rumahan, menjadi sepasang sosok orang tua yang pandai berakting sebagai sosok kepala keluarga bertanggung jawab dan sosok Ibu yang sempurna.
Sedangkan dibalik layar dua orang itu bahkan tak yakin Mahesa anggap saling mencintai satu sama-sama lain, apalagi menyayangi dirinya.
“Ayo ikut papa, kamu harus kenalan sama Pak Gilang. Ingat, dia orang paling berpengaruh disini, jadi jangan lupakan sopan-santun mu”
Mahesa menganggukkan kepalanya patuh, seraya pasang topeng dan senyuman palsunya kukuh, berlagak percaya diri dan yakin tak kan kecewakan sang Ayah nantinya.
“Ini dia Pak, putra semata wayang saya yang sering saya ceritakan” Ujar sang Ayah penuh bangga pada seorang Pria paruh baya yang masih terlihat tampan walaupun rambut hitam legamnya telah bergradasi dengan warna putih.
Mahesa lagi-lagi tersenyum kecut, melihat bagaimana sang Ayah yang begitu pandai cari muka, berlagak menjadi sosok kepala keluarga yang berhasil mengayomi seluruh anggota keluarganya, sekaligus berlagak sudah melaksanakan tugasnya dengan benar, serta berhasil sandang predikat orang tua yang berhasil.
Padahal pada kenyataannya ia telah gagal total, bahkan saat permainan rumah-rumahan itu baru saja dimulai.
“Nama saya Mahesa, Om” Ucapnya tanpa mau sertakan nama sang Ayah dibelakang namanya yang terlalu berat rasanya tuk dia sandang, seraya menjabat tangan sosok Pria paruh baya itu dengan sopan.
“Saya Gilang” Sahutnya, “Papa kamu bilang, kamu sekolah di Cakrawala Mahesa, benar?”
“Iya om, saya menjabat sebagai ketua OSIS dan ketua basket saat ini” Sahutnya dengan bangga, palsu.
“Bagaimana anak-anak nakal di sana? Siapa saja catatan merah kamu?”
Mahesa sedikit mengerutkan keningnya, baru kali ini teman bisnis Ayahnya mempertanyakan hal yang cukup melenceng baginya.
Bukankah seharusnya Pria itu tanyakan prestasi dan pencapaiannya untuk dibandingkan dengan anaknya?
Kali ini Mahesa jadi meragu tuk menjawabnya penuh percaya diri seperti biasanya, ia pasti tak salah terka kemungkinan dari enam anak paling bermasalah di sekolahnya itu pastilah anak Pria itu.
“Tak apa Mahesa, jawab saja. Lagipula saya yakin putra saya ada di daftar merah kamu” Pria itu terkekeh ringan, seolah tittle buruk bagi anaknya tak jadi masalah besar.
“Anak saya selalu bangun telat, karena malamnya coba-coba balapan liar katanya. Saat berangkat sekolah dia memang selalu rapi, tapi saat pulang ke rumah selalu minta dibelikan perlengkapan sekolah yang baru. Senin dia kehilangan dasinya, Selasa ikat pinggang, Rabu jas almamater, Kamis sepatu, huh ... Selalu ada saja yang hilang, untungnya saja dia tetap pulang mengenakan celananya” Jelasnya seraya tertawa terbahak-bahak seolah kenakalan anaknya benar-benar baik-baik saja untuk diterimanya.
“Kenapa Mahesa?” Sang empunya nama tersadar dari lamunannya.
“Apa Pak Gilang baik-baik saja, saat anak Bapak berkelakuan seperti itu?” Bukan Mahesa yang menjawabnya tapi sang Ayah.
Lagi-lagi Mahesa terperangah tak percaya, pria itu malah kembali tertawa terbahak-bahak.
“Anak saya …” Pria itu menghela nafas panjang sebelum lanjut bercerita, “Dia adalah hadiah terindah di hidup saya dan istri saya. Saya dan istri saya dulunya menikah diusia muda, saat kami baru semester dua. Kami telah lama menghabiskan waktu tuk hidup bersama, bahkan telah lama menanti kehadiran buah hati kami, namun sayangnya saya tak cukup sehat untuk memberikan istri saya anak” Pria itu alihkan tatapan pada sosok pemuda tampan yang malah kenakan pakaian yang kelewat santai di acara resmi yang dia adakan.
“Saya telah meminta istri saya untuk meninggalkan saya agar dia dapat memiliki seorang anak dan keluarga yang sempurna bersama laki-laki lainnya. Ya ... Walaupun sakit, namun sudah saya ikhlaskan jika dia pamit hari itu, karena saya tahu betul jika dia sangat menantikan momen dimana dia bisa menjadi seorang Ibu” Pria itu terkekeh geli saat melihat putranya terbatuk saat tak sengaja menenggak minuman berkadar alkohol.
“Tapi istri saya mengatakan, tak apa dia relakan mimpinya menjadi seorang Ibu, bahkan hidup berdua saja bersama saya seumur hidupnya, asal kami tidak berpisah”
Mahesa terharu melihat guratan penuh makna yang pria itu tampakkan, antara rasa syukur dan kelegaan.
“Setelah lima belas tahun kami menikah, menjalani kehidupan pernikahan kami berdua dan berharap semuanya kan tetap baik-baik saja walaupun tanpa kehadiran seorang buah hati diantara kita, akhirnya semesta mempercayakan salah satu permatanya kepada kami” Ujarnya tersirat makna tersembunyi, Pria itu tak mengatakan secara gamblang jika sebenarnya putranya harus dia jemput di sebuah panti asuhan pinggiran kota.
“Karenanya, kami kan selalu mencintai dan menyayanginya tanpa syarat. Tak apa, walaupun dia tak bisa lekas berjalan di usianya yang sudah satu tahun. Tak apa, jika dia tak pandai berhitung saat sudah duduk di bangku kelas lima SD sekalipun. Tak apa, dia hampir tinggal kelas karena sering bolos saat SMP. Tak apa, dia belajar merokok dan membuat masalah di masa SMA. Asal ... Dia merasa bahagia dan tak merugikan orang lain saja”
“Tapi nanti bagaimana dia menjalani kehidupannya, Pak? Bukankah artinya anak anda bisa saja tertinggal di dunia bisnis ini?” Ayah Mahesa tampak tak setuju dengan cara Pria itu mendidik anaknya.
Namun Pria itu menatap Ayah Mahesa dengan tatapan lembut, dia tak marah, dia tak tersinggung, dia malah bersyukur saat ada yang tampak mengkhawatirkan masa depan anaknya.
“Mungkin saya dan istri saya adalah orang tua yang tidak sempurna, jadi dari seluruh kebahagiaan di dunia ini ada yang luput atau tak mampu kami berikan padanya, mangkanya dia cari sendiri …
Soal masa depan? Biarlah kami yang usahakan apa-apa untuk masa depannya itu, berinya wewenang penuh dari usaha yang telah kami rintis untuknya nanti, dan berinya biaya hidup sampai akhir hayatnya jika perlu”
Mahesa menatap pria itu tak percaya, bagaimana bisa ada orang tua yang berpikir seperti itu?
“Tak apa, jika dia tak bisa apa pun. Tak apa, jika dia tak mampu menguasai apapun. Tak apa juga, jika dia tak jadi siapapun. Segala kurang lebihnya kami terima lapang dada. Karena dia anak kami … Saya dan istri saya hanya ingin seorang anak, bukan penerus bisnis”
Embun tipis langsung melingkupi sepasang netra rusa Mahesa, ia hampir menangis mendengarnya.
Andai setip orang tua berfikir seperti itu, pada alenia terakhir dari kalimat Pria itu ‘Orang tua hanya menginginkan seorang anak, bukan penerus bisnis’ Mungkin mental Mahesa tak akan terasa sehancur ini.
“Saya permisi dulu ya. Senang berkenalan denganmu Mahesa, mari bertemu kembali, nanti” Pria itu sengaja mengusap-usap pundak Mahesa sebelum beranjak pergi, sebab tatapan tajam penuh permusuhan dari seseorang tengah berusaha menusuk jantungnya.
“Jangan dimasukkan ke pikiran ucapan Pak Gilang tadi. Apa-apaan itu, dia pikir akan hidup abadi apa? Sampai bisa selalu mengasuh anaknya? Huh ... Bagaimana bisa dia sesukses ini, padahal cara berpikirnya sangat buruk. Dia orang tua yang gagal” Ayah Mahesa mengomel tak jelas sebelum kemudian meninggalkannya dengan seribu pemikiran yang baru.
Nyatanya tak semua orang tua menganggap anaknya hanya sebuah boneka yang bisa mereka program sesempurna angan serta inginnya.
Ayahnya salah, Pria tadi tak gagal jadi orang tua, walaupun tak dapat dipastikan berhasil juga.
Hanya saja Pria itu adalah gambaran sosok Ayah yang begitu sempurna, yang selalu Mahesa dambakan sejak lama.
Sungguh beruntung anak Pria itu, dia diterima tanpa syarat dan disayangi tanpa perlu mengemis.
Dan sungguh malang Mahesa. Jangankan syarat, bahkan pengorbanannya bukan apa-apa bagi kedua orang tuanya.