️️ ️️
Sekitar dua menit lalu, Zian telah berpamitan pergi sejenak. Mengambil cemilan tambahan untuk menjamu Hares, katanya. Karena kulkas mini di kamarnya hanya dipenuhi dengan minuman.
Sedangkan Hares, dia masih mematung di tempatnya kali pertama melangkah memasuki ruangan itu.
Hares terpaku di ambang pintu yang tak tertutup rapat, seraya gerilyakan indera penglihatannya tuk tatap luasnya hamparan kamar yang lebih muda.
Mulutnya sedikit terbuka. Netra rusanya yang bulat kian menajamkan pandangannya. Sedang kedua alisnya tengah berkerut kusut.
Itu bukan sebab ukurannya, yang masih terbilang normal untuk kamar seorang anak dari keluarga kalangan atas, yang bahkan juga dilengkapi kamar mandi dalam ruangan, kulkas mini, sofa, serta walk in closet yang megah.
Tapi, Hares terpaku pada corak di dinding kamar sang empu yang di cat dengan warna biru dan seluruh gradasinya, namun abstrak. Langit-langit kamarnya yang megah dan berwarna senada pun tiap jengkalnya tampak dipenuhi bintang-bintang mungil rekayasa, serta planet-planet di tata surya yang duplikat menyerupai aslinya pun tampak mengambang di udara.
Ruangan itu juga dipenuhi lemari-lemari kaca berwarna biru tua, yang diisi dengan buku-buku cerita dan mainan mahal tentunya.
Lantas di tengah-tengah ruangan, ada satu ranjang berukuran king size yang terbalut fabrik biru palung laut dan bercorak putih, yang hadirkan kesan bak gulungan ombak di tengah lautan lepas yang tengah mengamuk.
Di dekat nakas tempat tidurnya ada satu akuarium berbentuk bulat berdiameter 30cm, yang jika Hares tak salah tebak kini dihuni oleh seekor betta fish yang berwarna biru metalik.
Kamar Zian tampak riuh namun jenaka pula. Ruang kamarnya benar-benar begitu riuh dan penuh, seolah-olah tak ada celah untuk meletakkan barang baru sama sekali. Namun, jenakanya sang rona biru yang bertahta di setiap sudut malah dengan angkuhnya beri kesan hampa, sunyi, dan memilukan.
Hares bukan sang ahli dalam mengenali psikologi seseorang, namun kamar Zian terlalu mudah terbaca rasa-rasanya. Walau sebenarnya Hares pun tak tahu jua alasan di balik pemilihan warna biru, yang sialnya warna paling cerahnya sekalipun malah tampak sengaja ditimpa dengan warna biru yang lebih pekat dan bernuansa kelam.
“Kak Hares?” Sontak sang empunya nama menatap gamang ke arah Zian, yang kini telah berdiri tegap di hadapannya. Entah sejak kapan.
Walau Zian kini tengah menatapnya dengan tatapan polosnya sekali pun. Namun pemuda yang Bian katakan lebih mudah dua tahun dari Hares itu, serta si pemilik ADHD symptoms, sialnya fisiknya seolah berdusta. Walau dia tidak lebih tinggi dari Hares, tapi tubuhnya benar-benar bugar layaknya lelaki dewasa.
“Kakak gak kesurupan kan?” Zian bertanya seraya mengerucutkan bibirnya dan membenahi kacamata bacanya.
“Zian … apa arti warna biru, buat Zian?” Senyuman polos Zian terbit perlahan-lahan. Kala Hares terdengar memanggilnya akrab tanpa sungkan, hingga perasaan nyaman itu kian memperjelas kesan “ramah” sang empu yang sebelumnya telah Bian tekankan padanya.
Zian tak lekas menjawab, dia berlalu begitu saja dari hadapan Hares dan langsung melompat ke atas ranjangnya dengan riangnya.
Namun, kala Zian kembali berbalik menghadap Hares, sebuah seringai iblis dan tatapan liciknya sontak buat Hares ambil langkah mundur. Bahkan Hares kian mematung, kala kacamata yang semula Zian kenakan malah sang empu hempaskan kasar sampai membentur tembok dan mendapatkan keretakan di salah satu sisi kacanya.
“Kenapa emang?” Sahutnya masih menyeringai, bahkan kian tinggi. Seraya mengerilyakan tatapannya tuk mengamati lekat tubuh Hares dari ujung rambut hingga kakinya.
Tak dapat Hares pahami, Zian yang tadi membukakan pintu kamarnya ramah dan Zian yang ada di hadapannya kini tampak begitu berbeda.
Jangankan dari gelagat dan tatapannya, bahkan nada suaranya yang semula terdengar riang kekanak-kanakan pun kian memberat dan penuh penekanan.
“Emang menurut lo, gimana?” Mesin air conditioner masih bekerja di ruangan itu tentunya. Namun udara panas kian jalangnya mulai mengecup dan membelai tengkuk Hares kini.
“Zian … Zian kenapa?” Hares kembali melangkah mundur saat Zian bergerak mendekatinya secara perlahan-lahan.
Celaka. Punggung Hares sudah melekat di daun pintu, namun sialnya pintu tersebut tengah terkunci.
“ZIAN!” Hares berteriak tergugu, tubuh jangkungnya kini berhasil Zian kungkungan angkuh sepenuhnya, hingga Hares pun tampak ringkih dan tak berdaya di bawah kuasa yang lebih muda, yang terus menatapnya dengan penuh obsesi.
“Pretty …” Ucap Zian bak sebuah mantra magis, yang entah mengapa berhasil buat Hares kian mematung dan rasakan sesak di dadanya.
Jarak di antara wajah mereka tak berguna, deru nafas keduanya yang sama-sama saling memburu sampai saling bertegur sapa. Rahang Hares pun Zian belai lembut sampai kian naik ke bilah bibir ranumnya, seraya tersenyum hangat. Namun bagi Hares itu adalah senyuman yang tak wajar dan berhasil membangkitkan alarm tanda bahaya di alam bawah sadarnya.
“Zian!” Telak, Hares benar-benar termangu. Kedua tangannya nyatanya telah lebih dulu berhasil Zian cengkraman. Bahkan dengan kurang ajarnya, kini salah satu kaki Zian tengah bersinggah di antara selangkangan Hares.
“Zian, stop main-main sama gue!” Zian malah terkekeh puas.
Tatapan ketakutan Hares. Suaranya yang lantang namun pecah dan bervibrasi. Serta bulir keringatnya yang kian pekat membasahi wajahnya yang merona padam, sungguh benar-benar tampak cantik dan sempurna di pandangan Zian.
“BIAN, TALONG — HEUMP!”
Ruang geraknya tak sedikitpun berkuasa, tangan dan kakinya di paksa tak berfungsi. Bahkan satu-satunya indera perlawanan Hares yang tersisa, berhasil Zian bungkam.
Hares terpaksa memejamkan kelopak matanya erat-erat. Tubuhnya kian bergetar hebat. Nafasnya di paksa memburu hingga dadanya pun terasa semakin sesak. Sedangkan bilah bibir ranumnya kini tengah Zian lumat — sesap, kasar.
“Enghhh …” Hares terpaksa melenguh, kala kejantanannya Zian permainkan menggunakan lututnya.
Sebenarnya tangan Hares sudah terbebas, namun sepasang lengan kekar Zian lekas bergerak merengkuh badannya erat-erat, hingga Hares tak dapat berkutik lagi, sedangkan posisi kedua telapak tangannya Zian pun kini tengah sibuk meremas-remas nafsu pantat sekal Hares.
“Aishhh! Sakit-hhh, emphhh!” Ciuman Zian yang tak dapatkan balasan pun kian dipenuhi amarah. Sampai-sampai bibir bawah Hares pun Zian gigit kuat. “Engh!” Dan Hares pun lekas membuka mulutnya, usai gigi taring Zian berhasil koyakkan bibirnya.
“Heunghh! Emmhh …” Hares di paksa terus melenguh tak kuasa dan tubuhnya yang terus-menerus di jamah pun jelas tak mampu berdalih sama sekali, jika dia mulai terangsang sepenuhnya.
Kedua sisi pantatnya tiada jeda di remas-remas nikmat. Kejantanannya terus di tekan dan di gusak sensual, sampai benar-benar ereksi. Belum lagi lidah Zian pun terus berulah mengobrak-abrik rongga mulutnya dan membelit lidahnya pula.
Hares tau semuanya salah, namun ciuman dan sentuhan Zian tak mampu buatnya berkelit dan berdalih dari nikmatnya. Sampai kedua tangannya yang semula berusaha meronta pun kini bergerak mengalung di pundak Zian dan dengan jumawanya kian menarik tengkuk sang empu agar ciuman mereka kian lekat.
Zian kian aktif meremas-remas pantat sekal Hares, pun lututnya kian sensual menggoda kejantanan sang empu. Kepala mereka mulai bergerak sinkron berlawanan arah. Bibir mereka saling melumat dan menyesap sama serakahnya, sampai timbulkan suara kecapan basah dan lenguhan tak kuasa yang kian vocal. Lidah mereka turut bergelut mesra, saliva pun terus mereka tukar tiada jeda, sampai mengalir dan berceceran membasahi dagu dan leher satu sama lain.
Semakin intens ciuman itu, Hares semakin merasa sesak nafas dan tubuhnya semakin lemas, hingga perlahan-lahan kesadarannya pun menipis dan benar-benar menghilang. Sebab Zian terus menciumnya tanpa henti.