Merasa, terlahir dengan segala kemewahan, kecukupan, dari materi dan kasih sayang orang tua, lalu tumbuh menjadi anak yang nakal dan kurang pandai, atau bahkan memang tak pandai sama sekali, namun selalu dapatkan maklum dan pelukan hangat dari sang Ayah - Ibu, Prasatya yakin dunianya ini tak baik-baik saja karena terlampau sempurna.
Prasatya tak bisa banyak hal selain menciptakan keonaran, dia tak pandai materi pembelajaran kecuali olahraga, dia hampir tinggal kelas berulang kali sebab terlampau sering mangkir dari kelas, bahkan dia juga sering mendapatkan hukuman di setiap sekolahnya karena urusan nikotin, dan di usianya yang baru akan sembilan belas tahun akhir tahun nanti, sebenarnya Prasatya terlampau liar untuk sandang predikat seorang remaja.
Namun Ayah Ibunya tetap tersenyum maklum dan memeluk raganya penuh kasih, tanpa syarat.
Hingga satu malam, kala anak nakal itu coba curi alkohol terbaik yang Ayahnya sembunyikan di ruang kerjanya di rumah, satu berkas yang tersimpan begitu rapi dan tersembunyi tanpa sengaja Prasatya temukan, dan saat itu langit yang menaungi Prasatya pun runtuh seketika.
“Papa … Mama …”
Prasatya anak nakal yang tahan banting dan bermental baja, dia tak pernah menangis seumur hidupnya setelah lepas predikat seorang batita, namun malam ini matanya berkaca-kaca dan siap tumpahkan air mata pesakitannya.
“Satya, sayang kamu kenapa?” Sang Ibu jelas panik, kala membuka pintu kamarnya sang putra tengah menangis tersedu-sedu begitu pilu.
“Mas, Mas Gilang!” Teriak sang Ibu, agar Ayahnya segera menghampiri mereka yang kini tengah berpelukan dengan kondisi bersimpuh di lantai.
“Astaga Satya kenapa nak? Heum?” Ayahnya bertanya dengan nada yang lembut dan penuh perhatian juga kekhawatiran. “Satya nabrak orang? Satya gak sengaja mukul orang? Satya ngerusakin mobil yang Papa belikan tahun lalu? Satya kenapa nak? Bilang aja, kita gak akan marah kok”
Tangisan Prasatya malah semakin keras, dia merasa begitu bersalah, juga tak pantas ada di sana dan dapatkan kasih sayang pun cinta kasih yang melimpah dari keduanya.
Saat seluruh pertanyaan penuh kekhawatiran itu Ayahnya terlontarkan, Prasatya akhirnya sadar, jika dirinya hanya bisa melakukan hal-hal yang buruk saja selama ini. Seperti menjajal minuman berkadar alkohol dan mencandukan rokok yang tak seharusnya seorang pelajar sentuh, belum lagi dia juga telah melanggar banyak peraturan sekolahnya, seperti bolos dan tidur di kelas hingga mengakibatkannya berulang kali hampir tinggal kelas.
Prasatya merasa buruk, dirinya terlalu tak tahu diri, dan bagaimana bisa Ayah - Ibunya itu selalu memaafkan dan memakluminya?
“Kenapa Papa sama Mama gak bilang, kalau Satya cuma anak angkat kalian?”
Hancur, hati Arumi atau sang Ibu terasa di remukkan seketika. Dia tak pernah membayangkan jika hari seperti ini akan tiba, dia tak berharap anaknya itu kan tahu faktanya, dia tak pernah ingin anaknya tahu kebenarannya, jika dia bukanlah Ibu kandungnya.
“Satya jangan tinggalin Mama! Mama sayang kamu nak, kamu anak Mama! Satya jangan kemana-mana ya? Ini rumah kamu, kamu anak Mama, kamu anak Mama sama Papa, ini rumah kamu satu-satunya, kamu gak boleh kemana-mana, Satya!”
Tubuh sang Ibu langsung Prasatya rengkuh balik dan begitu erat sebab sang Ibu kini menangis terisak dan berteriak frustasi.
“Mama …”
“Enggak! Pokoknya kamu anak Mama! Satya anak Mama, Prasatya Adikara, kamu - kamu anak Mama sama Papa, Satya! Kita orang tua kamu! Kamu anak Mama Satya! Jangan kemana-mana kamu anak Mama!!!!”
“Sayang, tenang dulu ya?”
“Mas, bilang sama Satya dia anak kita! Orang tua dia cuma kita, mas jangan biarin Satya pergi mas … satya anakku! Aku Ibunya mas …”
“Maa … tenang dulu ya?”
“Enggak! Satya anak Mama! Kamu anak Mama!”
“Iya Satya anak Mama, Satya gak akan kemana-mana, Satya sayang banget sama Mama, Ibu Satya cuma Mama … ”
“Jangan tinggalin Mama, Satya! Mama sayang sama kamu, kamu anakku! Kamu anak Mama!”
Sang Ayah ikut serta menangis lirih melihat bagaimana dua yang paling dia orang cintai itu tampak begitu hancur, karena fakta dunia yang begitu memilukan.
Pria itu bahkan kembali menyalahkan dirinya sendiri, atas kekurangannya, hingga buat mimpi istrinya untuk menjadi seorang Ibu harus sirna.
Dia bahkan kembali menyesal telah menunda keberangkatan, hingga dia dan istrinya pun datang terlambat ke rumah sakit, dimana kala itu sahabat sang istri harus melahirkan dengan kondisi prematur sebab tubuhnya tak berdaya akibat dianiaya sang suami.
Andai dirinya bergegas, mungkin sahabat istrinya itu masih hidup, dan Prasatya tak harus lahir prematur juga dititipkan di panti asuhan, bahkan untuk memilikinya dulu, dia dan istrinya tak harus membuat surat adopsi, seharusnya.
Dulu, setelah lima belas tahun keduanya menikah tanpa harapan miliki seorang anak lagi, malam itu Sandara, sahabat istrinya menghubungi mereka dengan kondisi yang kacau.
“Arumi … kamu sama Gilang, mau gak jadi orang tua buat anakku?” Suara Sandara terdengar bergetar dan penuh kegetiran dibalik sambungan telepon.
“Apa maksud kamu, Sandara?” Arumi jelas terkejut mendengarnya.
“Ada Gilang gak disana? Kalo iya di loudspeaker aja”
“Sudah …” Ujar Arumi tergugu.
“Arumi … aku tahu, kamu sangat ingin menjadi seorang Ibu kan? Kita sama-sama punya mimpi yang sama sejak dulu, tapi … tuhan belum mau kabulkan do’a kita. Kamu harus menanti begitu lama, sedangkan aku — aku harus gagal berulang kali … kita dan mimpi kita terlalu fiksi tampaknya ya, Rum?”
Arumi sedikit tak nyaman mendengarnya, sahabatnya itu sudah lama menikah dan beberapa kali ia dengar mengandung, jadi apa maksud dari ucapannya?
“Arumi, Gilang … Aku tahu alasan kalian pindah ke New York karena kalian gak tahan kan sama celaan publik? Maaf kalau perkataan ku menyinggung kalian, tapi-tapi kalau aku kasih anak aku buat kalian mau kan?”
“Gimana? Maksud kamu … apa?” Arumi hampir menangis mendengarnya, bukan merasa direndahkan, ia sedikit senang pun takut hanya diberi sebuah harapan.
“Aku mau minta tolong, aku sudah tiga kali kehilangan anakku, kali ini aku gak mau kehilangan dia lagi … aku takut, suamiku makin gila, dia makin sering pukulin aku, aku tau … aku bodoh memang karena gak bisa lepasin dia. Tapi aku gak mau anakku mati, lagi”
“Arumi, Gilang, tolong … tolong selamatkan anakku, aku janji aku-aku gak akan pernah datang lagi di kehidupan kalian asal anakku tetap hidup, aku mohon Arumi, Gilang … kalian mau kan jadi orang tua untuk anakku?”
Malam itu seharusnya keduanya langsung bergegas kembali ke tanah kelahiran mereka, jemput Sandara dan selamatkan calon anak mereka, setelah melalui argumentasi pelik yang akhirnya ketiganya sepakati.
Namun karena pekerjaan Gilang yang tak bisa di ajak kompromi, keduanya pun datang terlambat, dan … Sandara telah berpulang, sedang bayi merah tanpa nama itu harus keduanya jemput di sebuah panti asuhan.
“Kamu gak akan tinggalin Mama sama papa kan? Kamu anak Mama, Satya. Kamu anakku”
“Maa …” Prasatya tak tahu harus berkata apa, lidahnya keluh dan batinnya tersayat.
Dia sekarang tahu, jika jiwa berandalannya itu kemungkinan besar adalah turunan Ayah kandungnya yang betulan sinting, karena tak suka anak kecil hingga memukuli istrinya setiap hamil, sampai-sampai ketiga saudaranya pun harus berpulang dengan tragis.
Disisi lain ia bersyukur dan bersedih, bersyukur diberi kesempatan hidup dan bersedih karena kesempatan yang ia dapatkan harus ditukar nyawa Ibu kandungnya.
“Prasatya … maafin Papa, semua salah papa. Maafin papa gak bisa selamatkan Ibu kandung kamu, maaf ya nak … Tolong jangan tinggalin kita. Kita sayang sama kamu, kamu anak kita Satya, kamu hadiah terbaik di hidup kita”
“Tapi Satya,”
“Enggak! Gak ada kata tapi! Kamu anak Mama! Mama mohon jangan tinggalin Mama, Satya jangan tinggalin Mama …”
“Astaga Mama!!!” Prasatya dan sang Ayah kepalang panik, Arumi pingsan dengan kondisi yang begitu kacau, jadi dengan tergesa keduanya pilih pergi ke rumah sakit, sebab yakin kala sadar nanti Arumi takkan mudah ditenangkan.
Setelah hari itu berlalu, Prasatya jadi lebih tahu diri dan mulai mengurangi kenakalannya, dia juga mulai sering datang ke panti asuhan yang pernah merawatnya, dan tak lupa ia selalu berkunjung ke makam Ibunya di akhir pekan.
Prasatya tak lagi ungkit masalalunya di depan sang Ibu, karena dia tahu jika mental sang Ibu tak lagi sama, terlalu rapuh. Ibunya itu juga semakin posesif padanya, takut-takut Prasatya akan tinggalkan dirinya sewaktu-waktu.
Bahkan saat Prasatya dengan jujur mengakui ketertarikannya pada seorang lelaki, kedua orang tuanya tak ambil emosi, dan mereka malah tersenyum pun terima lapang dada.
Mereka menyayangi Prasatya tanpa syarat, mereka menginginkan Prasatya tanpa kata tapi, mereka benar-benar menginginkan seorang anak, dan Prasatya adalah segalanya bagi mereka.