Prologue ;

pshaconne
4 min readJun 2, 2024

--

Hari itu pada bulan Januari di hari keempat belas, tepatnya pukul sepuluh pagi lebih dua belas menit, suara ketukan palu di dalam sebuah ruangan sidang terdengar menggema lantang usai sang Hakim mengucapkan rentetan kalimat tentang resminya perceraian seorang pria pemilik salah satu lembaga pendidikan, bernama Raden Salman Adlana dengan seorang wanita cantik yang berprofesi sebagai model, Zoe Sankirana.

Dengan keputusan lainnya, bahwasanya hak asuh anak semata wayang mereka yang baru berumur tujuh tahun itu kini resmi jatuh di tangan sang Ayah.

Usai persidangan itu berakhir Salman lekas membawa gadis kecilnya - Renjasminecla Hilvananda Savira / Hilva untuk segera pulang ke rumah tanpa perlu bertegur sapa terlebih dahulu dengan sang mantan istri, yang jelas telah tinggalkan luka yang begitu dalam dihatinya atas tindakan perselingkuhannya selama delapan tahun di atas janji suci pernikahan mereka.

Beruntungnya saja, putri kecil yang mereka miliki selama ini yang terlampau Salman sayangi sepenuh jiwa raganya itu adalah anak kandungnya. Jika tidak, mungkin langit yang berada di atas kepala Salman sudah runtuh hari itu juga saat ia menerima hasil tes DNA-nya dan sang putri semata wayangnya.

“Ayah … Ibu gak bakal pulang kerumah lagi ya?” Tanya Hilva penuh harap saat sang Ayah membawanya masuk kedalam mobil tanpa sosok sang Ibu lagi, seperti biasanya.

“Sayang … mulai hari ini, kamu cuma punya Ayah saja, gak papa kan?”

Netra bulat nan jernih Hilva yang diturunkan oleh sang Ibu untuknya itu spontan merekah lebar dan kini mulai tampak berembun. “Tapi … kenapa, Ayah?”. Hilva ada di ruangan sidang itu sejak dimulainya argumentasi para pengacara dari dua kubu tadi, namun usianya masih terlalu belia untuk memahami makna dari sebuah perceraian yang sesungguhnya.

Seraya menahan tangisnya yang hampir tak terbendung lagi itu dan dengan suara beratnya yang kian terdengar bergetar, Salman berusaha untuk tetap berterus terang menjelaskan keadaan mereka kini dengan tata bahasa yang lebih mudah dimengerti oleh gadis kecilnya itu, Salman enggan menanam bibit kebohongan pada Hilva, yang mungkin di kemudian hari nanti ia baru menyadari jika kedua orang tuanya tidak dapat bersama kembali apapun yang telah terjadi.

Gadis kecil itu dengan penuh perhatian terus mendengarkan setiap kata per-kata yang merangkai sebuah rentetan kalimat panjang yang Salman ucapkan kepadanya, bahwasanya sejak hari itu sampai di kemudian hari — di masa depan, keduanya hanya memiliki diri satu sama lain tanpa orang ketiga yang menyela di antara keduanya, Hilva hanya akan memiliki sang Ayah - Salman seorang dan begitu juga sebaliknya Salman hanya akan memiliki Hilva seorang didalam hidupnya, mungkin sampai akhir hayat, keduanya hanya akan memiliki diri satu sama lain saja.

Sejak hari itu Hilva pun bertekad pada dirinya sendiri, bahwasanya ia akan menjadi seorang anak yang baik untuk sang Ayah tanpa kata tapi.

Hingga saat usianya mulai beranjak remaja ia pun semakin menunjukkan baktinya pada sang Ayah, yang mana hal itu malah kian membangkitkan rasa haus pujian dan perhatiannya dari sang Ayah.

Hilva begitu suka menjadi anak baik untuk Salman, Hilva juga memang begitu pandai mengambil hati sang Ayah, ia pun merasa senang luar biasa kala Salman mengucapkan kalimat-kalimat pujian baik untuknya yang berhasil membuat ribuan kupu-kupu mungil itu semakin liar berterbangan di rongga perut serta dadanya.

Salman berhasil menjadi sosok Ayah yang luar biasa bagi Hilva, Salman mampu mendidiknya dengan baik dan ia juga mampu memberikan rasa cinta dan kasih sayang tulusnya yang masih tersisa di hatinya hanya untuk Hilva seorang.

Walaupun Hilva tumbuh menjadi gadis yang baik namun karena kedekatannya dan sang Ayah, ia juga tumbuh menjadi seorang gadis yang cukup tomboy bahkan ia memangkas habis rambutnya seperti anak laki-laki, hanya agar … tidak ada seorangpun yang bisa memuji parasnya, selain sang Ayah seorang.

Ya, hanya Salman lah yang boleh memujinya cantik, selain itu maka siap-siap terima lebam di pipi pun pelipis karena pukulan Hilva yang tak main-main kerasnya bukti ia menguasai teknik karate dengan baik.

Keduanya terjebak berdua dalam lingkup yang terlalu minim dan malah mengharuskan keduanya untuk selalu bersama apapun keadaannya, hingga Salman yang merasa telah sempurna menjadi sosok Ayah bagi Hilva itu, tidak menyadari tindakannya yang terlampau dekat dengan sang anak, yang mana hal itu telah berhasil menumbuhkan rasa yang tak semestinya singgah di hati Hilva.

Katanya … cinta pertama seorang anak gadis itu adalah Ayahnya?

Dan ya benar adanya, di jalan yang berbeda rasa cinta Hilva terhadap lawan jenisnya itu tumbuh di tempat yang tak seharusnya.

Hilva menumbuhkan rasa cintanya pada sang Ayah — Salman.

Didinilah semuanya mulai berubah, sikap Salman mulanya benar-benar menentang perasaan sang gadis itu dengan keras, beberapa kali ia bahkan hampir memukulnya dan sudah sering kali ia membentaknya.

Namun manakala hatinya yang telah lama merindukan sosok seseorang dalam pelukannya atas nama cinta tuk bersanding menjadi pasangannya itu terpantik bara cinta sang putri, Salman akhirnya menyerah dan pasrah, jika di semesta ini dirinya kan menjadi pendosa yang tak kan pernah mencium harum mewangi surga nantinya.

“Ayah maaf …”

“Sayang, apapun yang terjadi Ayah akan tetap bersamamu, tidak masalah jika nanti kita memiliki anak dengan sebelas jari kaki, lalu setelah itu kita bisa pindah ke Alαbαmα, di mana hal semacam itu ditoleransi”

--

--

pshaconne
pshaconne

Written by pshaconne

love yourself or let me loving you better than anyone.

No responses yet