Pukul dua dini hari, rasa-rasanya adalah waktu dimana sang pulau Dewata tengah dilingkupi suhu terdinginnya.
Bahkan kini, semakin terasa dingin luar biasa bagi Hikam. Sebab seseorang yang tengah duduk di sampingnya dan fokus mengemudikan mobil mewahnya itu, kini hanya diam tak membuka suaranya. Bahkan sejak Hikam duduk di sampingnya. Sang empu hanya sibuk memperhatikan jalanan kota yang mulai di penuhi pengendara motor. Tatapannya yang tampak menyimpan amarah yang cukup besar itu terus menyorot tajam ke arah jalanan.
Hingga pada akhirnya sosoknya yang telah terbakar amarahnya sendiri itu kini tanpa sungkan melampiaskannya pada seorang pengemudi motor yang ugal-ugalan sampai hampir menyerempet mobilnya dan kini pengemudi motor itu sudah terjatuh dari atas motornya usai oleng beberapa kali. Ia bahkan jatuh tepat di depan mobil mewah yang sang empu kendarai.
“Men cai mare melajah negak montor de di jalan raya ngae sengkala!” (Kalau kamu baru belajar naik motor jangan di jalan raya buat celaka!) Ujar sang empu penuh emosi, usai keluar dari dalam mobilnya dan menutup pintunya dengan kuat hingga hasilkan dentuman keras.
“Sudah mas, sudah …” Hikam sampai ikut serta keluar dari dalam mobil hanya untuk menahan tubuh sang empu yang hampir tergerak untuk memukul sosok pemuda yang bahkan belum bangkit dari posisinya yang tengah tergeletak di tengah jalan itu.
“Bin cepok tingal cang ngawag cai dini, lindes cang ndas cai sepalan” (Sekali lagi saya lihat kamu sembarangan / ugal-ugalan disini, sekalian kepalamu saya lindas) Tambahnya, yang sayangnya tak dapat perhatian dari pemuda yang nyatanya tengah mabuk itu. Pemuda itu terlalu linglung hanya untuk mendengarkan petuahnya.
Sang empu pun jadi semakin naik pitam dibuatnya, saat mengetahui kondisi pemuda yang tampaknya dari luar pulau itu tengah mabuk berat. Sehingga ucapannya tidak di gubris sama sekali. Hikam sendiri jelas ketakutan menyaksikannya. Sebenarnya ia tidak tahu dimana letak kesalahannya dan bahkan mungkin juga amarah sang empu bukanlah ia yang menyulutnya. Akan tetapi ia tetap merasa takut dan juga bersalah, sungguh sosoknya tampak menyeramkan saat ini.
Usai berdebat sepihak dengan pemuda yang tubuhnya beraroma arak pekat tersebut sang empu langsung masuk kembali kedalam mobilnya dan usai Hikam ikut serta, ia pun kembali melajukan mobilnya tanpa perlu repot-repot membantu sosoknya bangkit sebab beberapa temannya datang dan langsung membawanya menepi serta tak lupa ucapkan kata maaf yang cukup tulus kepadanya akan kelalaian teman mereka yang hampir mencelakai orang lain itu.
“Mas ini dimana?” Tanya Hikam saat mobil mewah sang empu itu memasuki bangunan yang begitu mewah dan megah luar biasa serta sangat kental dengan nuansa khas Bali.
“Mas?” Sang empu tetap diam membisu. Hingga akhirnya Hikam pilih bungkam saja. Sesampainya di area parkiran yang dipenuhi segala jenis mobil mewah itu, Hikam langsung membuka sabuk pengamannya dengan segera. Lantas ia keluar dari dalam mobil dan berlari sekencang mungkin untuk mengikuti langkah kaki sang empu yang begitu cepat saat mengambil langkah maju.
“Akh!” Sosoknya yang masih berjalan dengan angkuh dan penuh emosi itu segera membalikkan badannya lantas berlari ke arah Hikam yang sudah resmi duduk bersimpuh di tanah sebab ia tersandung kakinya sendiri kala berusaha mengejar langkah sang empu.
“Mana yang sakit?” Ujarnya seraya merangkul tubuh ringkih Hikam.
“Mas setta kenapa sih?” Tanya Hikam teramat lirih dengan suara yang bergetar dan air mukanya yang kini tampak sangat menyedihkan. Sebab ia sangat ketakutan serta tengah menahan sakit di angkel kakinya yang sepertinya terkilir itu. “Mas Setta kalo marah sama orang lain jangan bawa-bawa aku juga! Aku gak tau mas ini kenapa! Tapi mas Setta tuh ngelampiasin amarahnya sama aku! Aku takut! Aku salah apa mas?!” Teriak Hikam seraya mulai menangis.
Setta, pria itu tertegun melihat ke frustasian Hikam sebab ulahnya. Lantas tanpa banyak kata lagi ia langsung memeluk tubuh ringkih Hikam dengan erat namun tak sampai menyakiti sang jelita. ”Mas Setta … Jawab!” Sentak Hikam seraya berusaha melepaskan pelukan sang empunya nama.
Lagi-lagi sang empu tak menjawabnya, ia langsung bertindak untuk bangkit berdiri dari posisinya seraya menggendong tubuh Hikam seperti seorang pengantin dan Hikam pun jadi semakin keras menangis sampai suara tangisannya terdengar begitu nyaring dan memilukan.
Dengan perangainya yang tampak angkuh serta gagah berwibawa, Setta lekas ambil langkah maju membawa serta tubuh ringkih Hikam dalam gendongannya ke dalam area rumahnya. Mengabaikan sosok sang istri yang tampak mengendong salah satu anak laki-lakinya Nuca yang tengah tertidur, dengan sosok Jeje yang menggendong anak perempuannya Nesa, seraya menarik sebuah koper besar ke arah luar.
“Maaf …” Gumam Rahayu calon mantan istri Setta itu, yang mana ucapannya bahkan tak mampu Setta dengar. Lantas tak lama setelahnya Jeje pun menuntunnya agar segera berjalan keluar ke arah parkiran dimana mobilnya berada.
“Sebentar ya” Pamit Jeje pada Rahayu, usai meletakkan Nesa di bangku penumpang mobilnya.
Jeje segera berlari dengan begitu tergesa-gesa guna mengejar sosok Setta. “Bli!” Teriak Jeje yang mampu membuat langkah Setta terhenti seketika di depan pintu kamar pribadinya. Hikam yang berusaha keras menghentikan tangisannya sedari tadi kini menatap wajah Setta yang kian semakin beku dengan tatapan netranya yang tampak kosong.
“Maafin cintaku yang egois ini …” Tutur Jeje. “Aku kehilangan sosok kakak laki-lakiku demi orang yang aku cintai”. Setta diam tak menyahut.
“Bli, suatu saat nanti aku bakal balik lagi ke hadapan mu. Aku pastikan saat itu tiba aku bakalan minta maaf dengan tulus. Dan aku harap, saat itu Bli udah punya kebahagiaan Bli sendiri dan mau maafin aku”
“Jangan pernah datang lagi di kehidupan saya, apapun alasannya. Dan lagi, berhenti memanggil saya dengan kata itu. Kita adalah orang asing mulai detik ini” Setta menghela nafas panjang sebelum kemudian melanjutkan langkahnya untuk memasuki kamarnya.
“Bli …” Jeje tak segera pergi dari sana. Setiap detik waktu yang ia punya saat itu ia habiskan untuk mengamati pergerakan Setta yang berjalan menjauh sampai akhirnya sosoknya yang tengah menggendong tubuh Hikam itu menghilang dibalik pintu kamarnya.
Jeje tersenyum, namun bukan senyuman kebahagiaan. Jeje tersenyum miris, untuk dirinya sendiri. Belum genap satu hari berlalu, saat ia berhasil mendapatkan sosok yang dicintainya setengah mati itu, beserta kedua anak-anaknya, kini ia sudah merasakan rasa penyesalan yang teramat besar.
Gusti Putu Arsetta Bimantara, sosoknya di pandangan yang lebih muda — Jeje, adalah sosok seorang kakak yang luar biasa hingga jadi satu-satunya panutan terbaik seumur hidupnya.
Setta sangat hebat dalam segala hal dan segala bidang. Kepribadiannya yang lalu juga sangatlah hangat dan begitu penyayang. Setta sangat murah senyum dan ringan tangan untuk membantu orang lain. Setta begitu ramah, berwibawa dan dapat dipercaya. Tutur katanya sangat lembut namun keputusannya sangat tegas dan bijaksana. Karenanya kesuksesan besar yang Setta raih saat ini bukanlah semerta-merta hanya warisan mendiang orang tuanya saja, melainkan hasil kerja kerasnya dan juga sifat pun wataknya yang begitu disukai oleh para kolega-kolega bisnisnya.
Sosok Setta adalah seseorang yang berpengaruh besar di hidup Jeje selama ini. Sejak pertemuan mereka di bangku perkuliahan dulu. Bahkan keluarga Jeje pun ikut serta terbantu karena keberadaan Setta. Bahkan dari terlampau baiknya sosok Setta, hingga diakhir hayat Ayah Jeje dahulu pun dengan ikhlas memberikan jantungnya untuk Setta yang memang mengalami masalah pada jantungnya saat itu dan sulit mendapatkan donor.
Setta tidak pernah berbuat dosa dan melakukan hal tercela. Setta tidak merebut Rahayu dari Jeje pula. Sebab saat keduanya di nikahkan dahulu Rahayu pun menerimanya dengan lapang dada. Apalagi saat ia mengetahui jika Setta adalah orang yang berkasta yang mana jika bukan karena janji orang tuanya dahulu Setta tak mungkin dinikahkan dengan orang seperti Rahayu.
Dahulu Setta pernah di culik saat usianya baru sembilan tahun. Dan orangtuanya pun membuat janji akan menuruti permintaan siapapun yang bisa membawa Setta pulang kembali.
Ayah Rahayu yang saat itu adalah seorang polisi yang berhasil memulangkan Setta dapat peluang besar dan orang tua Setta yang terlalu senang saat itu tanpa berfikir panjang menerima permohonan perjodohan untuk Setta dan Rahayu di kemudian hari. Walaupun tanpa perkenalan dan pertemuan bahkan persetujuan kedua anak mereka.
Takdir yang memang senang bercanda akhirnya mempertemukan sosok Setta dan Rahayu dalam versi dewasa dan sialnya saat itu Rahayu adalah kekasih dari seseorang yang Setta anggap sebagai satu-satunya saudara kandungnya itu, Jeki — Jeje Krisman Hadi. Hingga tuduhan penghianatan tak terelakkan tuk Setta terima dari sang empu tanpa perlu dengar penjelasan dan pembelaan apapun dari Setta terlebih dahulu.
Bahkan besar ego Jeje buat dirinya kini menyesal dan kebingungan sendiri. Sebab sang Ibu yang masih hidup namun tengah terbaring sakit di ranjang pesakitan itu kini tengah menanti kedatangan Setta, sosok yang sudah sang empu anggap sebagai anak kandungnya sendiri. Hingga jelas saja sang Ibu disana harus rela menelan mentah-mentah keinginannya serta rasa rindunya seorang diri. Entah sampai kapan, mungkin saja sampai diakhir hayatnya nanti. Sebab keegoisan anaknya sendiri.
Saat sampai didalam kamarnya, Setta langsung meletakkan tubuh Hikam dengan penuh kelembutan di atas ranjang tidurnya.
“Mas …” Tubuh Hikam membeku saat Setta memeluk tubuhnya erat-erat dengan posisi menimpanya, sampai ia sedikit sesak nafas karenanya.
“Mas … baik kan?” Pertanyaan retoris Hikam, saat Setta melepaskan pelukannya namun kini tengah mengukung tubuh Hikam dibawah tubuhnya.
“Saya belum pernah berbuat dosa Hikam, tapi semesta berlaku sedemikiannya terhadap saya”. Kedua telapak tangan mungil Hikam terangkat tuk membingkai wajah tampan Setta dengan penuh afeksi.
Hikam menatap intens raut wajah frustasi Setta dengan perasaan yang tidak nyaman. Ia tiba-tiba saja merasakan kesedihan yang luar biasa atas apa yang Setta alami, walaupun ia tidak tahu jelas bagaimana kronologinya. Namun hatinya kini terasa remuk redam dan perasaannya ikut terasa sakit luar biasa.
“Hikam?”. Sang jelita, pemilik nama itu bergumam lirih sebagai sahutan.
Dan perkataan Setta setelahnya mampu membuat Hikam tak sanggup mengais udara kembali rasa-rasanya. “Kamu mau kan, jadi dosa pertama, serta yang terindah didalam hidup saya?” Ujar Setta penuh keyakinan seraya menatap lekat netra bulat jernih Hikam yang spontan merekah lebar itu.
“Mas …” Hikam terbata-bata dengan kelereng netranya yang bergerak gelisah.
Setta menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Hikam lantas berbisik lirih. “Saya mau kamu, Hikam”.