️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️
Malam ini langit tampak begitu kelabu, kepulan awan-awan pekat bergelantungan memenuhi kanvas langit, sang rembulan bahkan terlihat begitu ketakutan kini, hingga ia pilih tuk bersembunyi di balik awan bersama ribuan anak-anak bintang yang turut serta merasakan guncangan hebat kala menyaksikan betapa kejamnya cara semesta ini bekerja.
“Mama, El gak suka di sini. El takut sama anjing-anjing yang jaga di luar mah. Kapan kita pulang? El kangen Uti” Tutur sangwira pada satu-satunya pelitanya di semesta ini.
Laki-laki manis yang hampir berkepala empat yang tengah dilontari pertanyaan itu spontan tersenyum hangat meskipun dengan cara sedikit paksa, ia pun menatap sangwira dengan tatapan lembutnya yang begitu teduh, seraya mengusap lembut rambut hitam legamnya.
“Kita kan baru sampe kemarin El. Jangan rewel dulu ya, mama harus kerja” Ucapnya, coba beri pengertian pada sangwira yang selalu menjadi kekuatannya untuk tetap bertahan hidup di dunia yang kejam ini.
Sangwira hendak kembali layangkan protes namun pintu kamar yang mereka tempati sudah lebih dulu di ketuk, yang tak lama berselang sosok wanita dewasa dengan wajah yang terlihat lebam itu, sebab make-up yang diaplikasikan di wajahnya tampak sangat tebal namun sangat senada dengan pakaian merah terangnya yang kurang bahan, wanita itu pun langsung masuk tanpa ucap permisi terlebih dahulu.
“Kalo udah langsung keluar. Anak kamu bakal tetep aman kok di sini.” Usai laki-laki manis itu menganggukkan kepalanya dengan patuh wanita dewasa itu pun segera keluar dari ruangan itu, hingga hadirkan ribuan kesimpulan buruk di benak sangwira.
“Mama …” Dengan susah payah laki-laki cantik itu menahan air matanya agar tak berlinang saat ia kembali menatap netra sangwira.
Sangwira telah dapatkan usia delapan belas tahunnya Minggu lalu, bohong jika ia tidak paham situasi saat ini, hingga sangwira itu pun pilih langsung rengkuh erat tubuh ringkih pelitanya.
“Mama jangan …” Hanya kalimat itu yang sanggup sangwira tuturkan, ia memeluk erat tubuh sang pelita dengan ketakutan besar, lisannya tak mampu gumamkan rengekan, wajahnya terkubur utuh di perut pelitanya yang duduk di ranjang tepat disebelahnya, dan meskipun netra sangwira sudah terpejam begitu erat namun air matanya masih sanggup mengalir deras tanpa hambatan.
“El … jangan gini ya nak. Mama harus kerja”
Jangan pergi. Jangan kerja. Jangan lakukan ini. Jangan, intinya jangan.
Sayangnya kata-kata itu hanya dapat tercekat di kerongkongan sangwira sebab sang pelita kembali berinya penjabaran yang buatnya tak sanggup lontarkan banyak argumentasi.
“Sayang … kita gak bisa bergantung hidup sama Uti terus, nak”
“Tapi papa —”
“Papa kan sudah nikah sama bunda, El? Mama juga bukan lagi tanggung jawab papa. El juga tau kan, papa masih marah sama El. Jadi kita gak bisa bergantung sama siapapun sekarang nak, mama harus kerja”
“Mama …”
“Maaf ya nak mama gak bisa kasih kamu kehidupan yang layak. Maaf ya nak mama gagal jadi ibu yang baik buat El. Maaf ya nak mama gagal jadi contoh —”
“El sayang mama! Mama tuh semestanya El! Mama segalanya! Mama sosok Ibu yang paling kuat! Mama tuh ya keren, keren … banget! Mama gak biarin orang-orang nyakitin El! Mama selalu kasih yang terbaik buat El! Mama juga selalu lindungi El tiap papa ngamuk! Mama tuh … segalanya buat El! Mama tuh berharga Ma. Jangan minta maaf. El yang harusnya minta maaf disini. Maaf ya Ma, El masih gak terbiasa sama cara kerja semesta yang kejam ini”
“Sayang …”
“Mama hati-hati ya kerjanya. Jangan pulang terlalu pagi. El — El sayang sama Mama, jadi tolong Mama juga sayangi diri Mama sendiri ya?”
Rengkuhan mereka terlepas sangwira lekas ambil sekotak tisu dari nakas di sampingnya untuk menghapus jejak air mata yang mengguyur wajahnya, lantas dengan penuh sayang ia kecupi pipi sang pelita yang begitu bersih halus tanpa polesan make-up pun linangan air mata setetes pun.
“Gih berangkat biar nenek tadi gak marah-marah sama mama. Serem El tuh liat muka dia, bisa trauma ini rasanya”
Sang pelita langsung terkekeh tak terelakkan dengar canda sangwira, lantas tanpa banyak buang waktu lagi usai ia berhasil bubuhkan kecupan penuh kasih di dahi sangwira, laki-laki manis itu pun langsung bergegas pergi coba kejar waktunya tuk dapat kumpulkan pundi-pundi uang lewat jalur gelap gulitanya semesta.
Sang intan permata kan selalu berkilau indah sebagaimana mestinya apabila ada setitik saja, sinar cahaya yang sudi-kan dirinya tuk berinya secercah harapan supaya dapat tunjukkan pesona ayunya yang begitu anggun nan jelita kala dapat bias-kan cahayanya hingga merawani-warni di nirwana.
Ribuan kata sayang di sayang dirapalkan berjuta-juta kali sebab semesta dengan begitu teganya tempatkan sang permata pada sisi pelik dunia yang begitu gelap gulita, bahkan mustahil dapat diterangi seberkas cahaya pun,
Dan lagi sang permata hanya se-intan saja saat ini, tanpa se-intan lainnya tuk jadi bagian yang dapat disebut sepasang baginya, hingga pada akhirnya sang intan permata pun hanya tampak seperti sebongkah batu biasa di tengah peliknya dunia dengan nama yang disematkan sebagai berlian, akan tetapi nama itu hanya sebatas indah buai nama kehormatannya belaka.
️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️
Kaki jenjangnya yang begitu ringkih terus berayun dengan menawan, ambil langkah-langkah kecil namun pasti menuju sebuah mobil berwarna hitam pekat yang tampak begitu mewah dan tengah terparkir tepat di halaman depan Villa yang ia singgahi.
Detak jantungnya yang memang tengah berdetak cepat kini terasa semakin bertalu-talu dengan kuatnya hingga rasa sesak ia rasakan di rongga dadanya saat langkah kakinya mulai terhenti di samping pintu penumpang di dekat kemudi.
Usai menghela nafas panjang beberapa kali dan meyakinkan dirinya sebaik mungkin, jemari tangannya yang begitu lentik langsung gapai pegangan pintu mobil yang langsung terbuka dengan mudahnya seolah sengaja mempersilahkannya,
Seraya rapalkan kata ampunan pada Tuhan yang mana saja, dengan perlahan-lahan sang jelita mulai memasuki mobil tersebut dengan senyuman manisnya yang kini mulai tersungging apik di ranum indahnya.
“Selamat malam” Ujar sang jelita yang langsung membuat sosok yang ada di bangku kemudi mobil itu menoleh ke arahnya seraya menyimpan ponselnya.
“Selamat malam juga. Emmm saya Setta, nama kamu?”
Laki-laki manis itu pun berusaha berlagak setenang mungkin saat menggapai uluran tangan pria dewasa itu, seraya tetap tersenyum manis dengan begitu lirih ia rapalkan namanya,
“Hikam …”
Sang jelita yang tengah meletakkan taruhan harga dirinya malam itu hanya mampu menahan seluruh ketakutannya, tanpa pernah tahu jika sosok tampan di sampingnya kan segera merubah seluruh alur cerita pelik di hidupnya, dengan hal yang sederhana, walaupun mungkin sedikit rumit kisahnya.
️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ Dikala malam, di hari lainnya, namun masih perdebatan adu argumentasi yang sama, akar masalah yang sama, serta penyelesaian yang sama pula, maksudnya penyelesaian yang sama-sama temui jalan buntu seperti hari-hari sebelumnya,
Hingga dua insan yang terikat janji suci pernikahan itu pilih melarikan diri mereka dari bangunan besar, mewah, megah bak istana yang seharusnya berfungsi sebagai tempat pulang dan istirahat usai mengarungi hiruk-pikuk semesta, juga sebagai tempat keduanya merajut kisah tentang bagaimana dua jiwa dan raga yang resmi menikah di hadapan Tuhannya itu tuk saling memberi dan menerima kasih sayang serta cinta, seraya merajut asa berharap masa depan yang cerah keduanya miliki tanpa adanya peran dari orang asing yang jadi sosok ketiga diantara bahtera yang orang-orang sebut rumah tangga itu.
Petaka, jika hubungan yang dieluh-eluhkan sebagai rumah tangga itu hanya berdiri diatas satu pilar, sebab pilar lainnya pilih sanggah hubungan lainnya, yang kabarnya lebih membutuhkan dirinya, padahal di rumahnya yang semestinya ada buah hati kembarnya yang turut serta berlindung dibawah naungannya.
Sang kepala rumah tangga kali ini nekat pergi, ikut serta tinggalkan rumahnya serta anak-anaknya yang baru terlelap dalam tidurnya tuk berkemudi di tengah lenggang jalanan Kota, berharap temui tempat sepi yang sanggup berinya tenang dan jernih pikiran, sampai amarahnya terendam tanpa perlu pelampiasan.
Celaka, pria berkepala empat itu teramat risau malam ini tampaknya, hingga dengan gegabah ia menghubungiku seseorang yang tak pernah terpikir dalam benaknya sebelumnya.
“Hallo, Bli … tumben telfon jam segini?”
Sapaan akrab dengan iringan tawa jenaka itu berasal dari seseorang di seberang sambungan telfonnya.
“Dimana?”
“Aduh jadi malu, Bli jarang bertanya seperti itu. Tapi-tapi saya di Villa, lagi ngurus calon primadona Star. Cantik loh Bli, anaknya juga polos, lugu, sopan, pasti rekan bisnis Bli suka deh sama dia”
“Anak baru?”
“Iyo, masih kinyis-kinyis. Meskipun bawa buntut tapi dia bener-bener oke, jadi gimana? Besok Bli butuh ndak yang kaya begini?”
Ada hening yang begitu panjang di antara percakapan mereka setelahnya, sebelum pria berkepala empat itu melontarkan kalimat yang membuat sang empu diseberang sana berharap itu hanyalah kejenakaan belaka.
“Saya mau dia, malam ini. Saya jemput”
“Waduh. Rekan bisnis Bli mendadak banget? Saya belum siapin apa-apa”
“Biarkan saja, biar dia datang apa adanya”
“Tapi Bli,”
“Saya yang mau, bukan rekan saya”
“Bli? Bli minum di bar atau club lain ya? Atau ini baru pulang dari Star?”
“Villa yang di Kuta kan? Lima belas menit lagi saya sampai”
Tanpa perlu dengar jawaban sang empu pria itu langsung memutuskan sambungan telepon mereka, lantas bergegas menuju tempat yang ditujunya.
Seumur hidupnya, pria itu tak pernah lakukan dosa, melanggar peraturan orang tua ataupun Tuhannya, dia tumbuh menjadi sosok yang bertanggung jawab serta menjadi pribadi yang baik, tapi entahlah mengapa malam ini ia begitu gegabah.
️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️
Sesuai ucapannya, tepat lima belas menit setelahnya mobil mewah yang dikemudikan pria itu akhirnya berhenti melaju di depan sebuah Villa yang sebenarnya sangat jarang didatanginya.
Ketukan di kaca mobilnya mengintrupsinya, seorang wanita dewasa dengan - ah mari tak perlu bahas penampilan yang tampak seperti tuna susila senior itu, seraya tersenyum ramah wanita itu mulai memastikan tujuan pria itu kembali.
“Bli … yakin? Ini beneran langsung gitu dan ini seriusan Bli yang mau pakai sendiri?”
“Suruh cepat, keburu pagi”
Wanita itu tersenyum maklum, pria yang selalu ia sapa akrab itu masih tak berubah sedikitpun, walaupun malam ini dengan tak warasnya pesan jasa tuna susila.
Usai kepergian wanita itu, sang empu masih mencoba membuka ponselnya, dengan rasa khawatir yang sewajarnya ia berharap nomor ponsel istrinya dapat dihubungi.
Sayangnya tak ada hasil apapun, mungkin sampai esok pun tak akan pernah ada jawaban apapun, kecuali wanita itu tengah sangat-sangat membutuhkan dirinya.
Ceklak!
Sekujur tubuh pria itu menegang sempurna, bahkan jemarinya berhenti menggulir layar ponselnya, detak jantungnya yang semula berdetak normal mendadak berpacu begitu kencangnya, sampai dadanya terasa sesak dan nafasnya sedikit memberat.
Terlambat untuk berbalik arah dan kembali pulang, sudah kepalang jumpa, jadi mau tak mau pria itu mencoba memperhatikan sosok yang kini duduk canggung disampingnya.
Tubuh ringkih itu tampak meringkuk seolah tengah ketakutan berada disampingnya, jemarinya yang begitu lentik bahkan terlihat bergetar dan pucat, saat liar netra pria itu memindai dan mencoba mengamati lebih jelas lagi raut wajah sang empu, dan di detik itu juga jantungnya terasa berhenti berdetak.
Dia?
Usai tampak menghela nafas panjang sosok itu langsung memalingkan wajahnya ke arahnya, yang sontak buatnya berlagak memperhatikan layar ponselnya kembali, yang sialnya bahkan telah padam sinarnya dan telah terkunci.
Seraya tersenyum manis sosok tersebut berusaha membuka percakapan pertama mereka, “Selamat malam”.
Merdu, sapaan manisnya itu terdengar sangat merdu mengudara, tuturnya terdengar penuh kehangatan serta kasih sayang yang utuh, sebuah nada dan lantunan yang dua tahun terakhir ini pria itu idam-idamkan, tuk selalu menyapanya, dari kala membuka matanya di pagi hari sampai hendak kembali terlelap tidur di malam harinya.
Dengan sudah payah ia berusaha tak tergugup dan canggung, Lantas membalas sapaannya dengan benar, “Selamat malam juga. Emmm saya Setta, nama kamu?”
“Hikam” Sahutnya masih diselingi senyuman manisnya.
Semesta ini tidak sempit, hanya saja begitulah cara kerjanya, jika dia memang ditakdirkan untukmu maka tidak di kisah manapun kau kan temui dia sebagai pemeran utama dengan orang lain.
Senyuman tipis pria itu ukir di wajahnya, seraya menikmati detak jantungnya yang begitu riuh berirama, ia mulai coba pegang kemudinya lantas bawa mobil mewahnya melaju membelah jalanan Kota, yang sebenarnya ia pun tak tahu tujuannya kemana, namun yang pasti, tenang kini dirinya rasa.
️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️
Ditengah lenggangnya jalanan Kota malam itu, mobil mewah sang tuan yang membawa serta sang jelita belum tampak akan menepi atau temui pemberhentian, sang tuan yang mengendalikan kemudi pun tetap diam tak bersuara, usai keduanya bertukar nama, hingga keheningan yang menciptakan suasana canggung melingkupi keduanya selama perjalanan.
Sang jelita yang semula rasakan ketegangan lama-kelamaan merasa bosan, mengantuk dan kelelahan, sudah hampir dua jam keduanya mengukur panjang jalanan Kota, namun sang tuan benar-benar belum jua berniat singgah.
Ada sungkan yang pasti sang jelita rasakan, jika ia hendak bersuara lebih dahulu, namun jenuhnya mau tak mau pun mendorongnya tuk mulai berucap kata.
“Mas?”
Kegugupan serta kebimbangan menyertai ucapannya, namun sang tuan malah tersenyum teduh usai menatap wajah sang jelita sekilas lantas kembali memperhatikan jalanan di depannya.
“Sudah ngantuk, heum?” Balasnya dengan tutur kata yang begitu lembut.
“Maaf kalo lancang, tapi … sebenarnya kita mau kemana?”
“Saya juga tidak tahu”
Saat sang jelita dengar helaan nafas panjang dari sang tuan pikirannya pun merangkai skenario tantangan maksud dan tujuan tuannya yang sebenarnya menyewa jasanya itu.
“Mas gak mau itu …”
Sang jelita ragu utarakan pertanyaan dengan kalimat amoralnya, sungguh ia masih belum terbiasa, namun beruntungnya sang tuan yang tampak berwibawa itu tanggap dengan maksud perkataannya yang bahkan belum lengkap.
“Saya tidak butuh teman tidur, saya hanya butuh teman ngobrol saja”
Tampaknya ini akan menjadi cerita klasik, dimana seorang pria menyewa seorang tuna susila tuk menemaninya bertukar pikiran tanpa perlu melakukan aktivitas ranjang.
“Mas lagi ada masalah, ya? Emmm mau cerita?”
Tidak, seharusnya sang tuan tidak terbuai, sejak sepuluh tahun lalu ia selalu bungkam, dan memilih tuk memendam seluruh masalah hidupnya seorang diri, meskipun sampai hampir sinting, jadi rasa-rasanya ia tak butuh orang lain.
Tapi, kalimat tanya sang jelita itu, mengapa mampu membuatnya merasa … ingin mengadu?
“Kalau mas gak nyaman —”
“Saya ...”
Sang jelita berhenti berucap, ia berusaha coba dengarkan keluh kesah sang tuan, dengan penuh perhatian.
“Saya sangat mencintai istri saya” Suara sang tuan terdengar bergetar, entah karena ia tengah berbohong atau enggan mengakui kebenarannya, “Tapi istri saya sudah punya kekasih, sebelum menikah dengan saya”
Sang jelita tetap diam, ia tak mau menyela di tengah cerita sang sampai sang tuan benar-benar membutuhkan timbal balik darinya.
“Saya mencintai Rahayu, istri saya. Tapi seharusnya saya tidak pernah mencintainya. Pernikahan kami berawal dari perjodohan, sejak awal tidak ada cinta diantara kami. Disisi lain, Rahayu adalah kekasih dari seseorang yang sangat berarti dihidup saya, dia … dia orang yang paling saya andalkan, dia sudah saya anggap sebagai adik kandung saya sendiri”
“Saya pikir, setelah dua atau tiga tahun bersama, kita miliki alasan berpisah. Saya akan melepaskannya untuk adik saya, tapi … semesta merangkai skenarionya teramat rumit. Orang tua Rahayu jatuh sakit, kami tidak bisa berpisah di tengah musibah”
“Di tahun ke empat pernikahan kami, Rahayu hamil … kami semakin sulit berpisah. Namun saya enggan tinggal lebih lama”
Mobil mewahnya sang tuan hentikan lajunya di tepi jalan khusus rest area, pikirannya mendadak berkecamuk dan kacau, ia tak mau terjadi hal buruk jika memaksa terus berkendara.
“Saat Rahayu hamil … saya berusaha keras mencintainya, bahkan saya rela kehilangan adik saya itu, asal Rahayu bisa tetap bersama saya”
“Tapi … saat Rahayu melahirkan, langit saya runtuh, harapan saya hancur, cinta saya sia-sia, anak yang selama ini saya nanti, yang kan jadi jembatan untuk saya dan Rahayu memperbaiki hubungan kami itu …”
“Mereka, bukan anak kandung saya”
Tanpa disangka-sangka, air mata yang selama ini pantang pria itu teteskan kini dengan mudahnya mengalir deras basahi pipinya sampai kuyup.
“Saya hancur, saya tidak punya apa-apa lagi rasanya, jadi dengan egois saya tetap menahannya, saya tidak pernah berniat menceraikan Rahayu lagi, bahkan saya mencuri perhatian anak-anaknya agar mereka lebih membutuhkan saya dari pada Ibunya, saya akan melakukan apapun itu, asal mereka tetap bersama saya”
“Namun, setelah orang tua saya meninggal, Rahayu yang begitu lembut dan penyayang langsung membuka topengnya, dia menunjukkan wajahnya aslinya, dia … semakin terang-terangan membenci saya, dan semakin terang-terangan berselingkuh”
“Tidak … dia tidak berselingkuh, lelaki itu memang kekasihnya, saya orang ketiga di hubungan mereka, tapi - tapi saya”
Dengan seluruh keberaniannya yang ada sang jelita coba ulurkan tangannya tuk mengusap-usap pundak sang tuan guna tenangkan tangisannya yang begitu lirih, pilu, penuh luka, dengan segala macam bentuk traumanya.
“Mas … kamu gak salah, kamu awalnya sudah berniat baik, mau melepaskan apa yang bukan milikmu sejak awal kan? Dan disisi lain juga, sudah sepantasnya seorang suami mencintai istrinya tanpa syarat”
“Saya bersalah Hikam, saya orang jahat”
“Enggak mas, gak ada penjahat di hubungan kalian. Semesta saja yang kejam, menempatkan kalian dalam alenia kisah yang rumit”
“Lalu saya harus bagaimana? Saya tidak mau menceraikan Rahayu, tapi - tapi saya kesakitan seorang diri disini Hikam, saya sakit”
“Mas, kamu coba sekali lagi ya? Tolong jangan menyerah” Sang jelita hampir menangis saat mengucapkan kalimat yang sebelumnya selalu ia ucapkan pada dirinya sendiri itu.
“Kita tidak pernah tau, apa yang akan terjadi hari esok, jika kita menyerah begitu saja hari ini. Tuhan yang mana saja itu, dia tidak pernah berdusta mas, jika dia memang untukmu maka sampai kapanpun tidak akan pernah menjadi milik orang lainnya, namun jika dia bukan untukmu maka tidak lama lagi, lukamu akan segera sembuh dengan kuasa-Nya”
“Hikam?”
Wajah tampan yang kini dipenuhi air mata itu sontak menatap netra bulat purnama sang jelita penuh harapan.
“Kenapa mas?”
“Boleh … boleh saya peluk kamu?”
Sang jelita mengelas nafas lega sebelum kemudian tersenyum hangat dan membuka sabuk pengamannya, lantas dengan mudahnya ia merentangkan kedua tangannya agar sang tuan lekas masuk dalam rengkuhan hangatnya.
Malam ini, sosok Setta yang selalu tampak sekokoh batu karang ditengah lautan lepas yang ombaknya selalu pasang, tanpa sungkan melebur laranya, adukan pesakitannya, kabarkan keadaan yang tak baik-baik saja, dalam pelukan hangat sang jelita, yang tanpa sang empu sedari, dahulu ia juga pernah menangis pilu dipeluk sang tuan, sampai lupa pulang kerumah.