“ Semesta Bhumi: PRATIWINTA ”

pshaconne
10 min readOct 28, 2024

--

️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ Dengan langkah yang begitu anggun nan menawannya, sang surya perlahan-lahan mulai melangkah naik ke atas singgasananya kembali, untuk bertahta di ketinggian hirarki semesta ini.

Sinarnya yang agung bahkan mulai menembus gelapnya bumantara dan langsung melingkupi pertiwi ini dengan kehangatannya beserta kasih sayangnya yang kekal.

Dengan gagah nan berani sinar sang surya mencoba memerangi kegelapan, menebas utuh seluruh kepekatan, meluluh lantakkan hal-hal yang berhubungan dengannya, lantas menenggelamkannya tanpa sisa, sampai suasana suram dan penuh ketegangan tiada daya tuk bersinggah lebih lama, dan semesta ini pun tak urung jua tuk kembali tersenyum ayu seperti hari lalu.

Di tempat lain … di salah satu planet yang menjadi bagian tetap dari tata surya, dengan nama Bumi. Sebuah semesta yang utuh, nyata dan bukan hanya bualan belaka, sang surya tetap bersinar terang di sana kala waktunya telah tiba, akan tetapi hawa dingin mencekam tak urung tuk tetap bersemayam abadi di sana.

Sang surya tak lagi berikan rasa hangat dari pancaran sinarnya di sana, kegelapan dan kepekatannya tak benar-benar ia biarkan pergi, meskipun hari telah beranjak menjadi semakin siang dan sinarnya kian menjadi semakin terik sekalipun.

Biarlah umat manusi tetep merasakan rasa ketidak nyamanan itu.

Sang surya teramat marah pada umat manusia, sebab salah satu permatanya yang begitu dicintainya teramat sangat, yang terhadir dan di sambutannya begitu mulia, tepatnya dua puluh tahun lalu itu, kini hanya bisa terpenjara di dalam sebuah kamar yang begitu sempit kosong dan dingin, sebuah ruangan pengasingan, tak ada seorangpun yang merasa iba dan berusaha membebaskannya dari sana.

Beruntungnya sinar sang surya masih mampu menghampiri keberadaan gadis itu, yang kini tengah terbaring dan lelap dalam indahnya buaian alam mimpinya, meskipun tubuh ringkihnya berbaring tepat di atas dinginnya lantai beton yang menjadi satu-satunya tempatnya bisa mengistirahatkan penat di tubuh ringkihnya itu tanpa adanya satupun lembaran kain yang menjadi alas dan selimutnya.

Dengan penuh kasih sayang sinar sang surya membelai lembut dan hangat pipi gembil gadis itu seorang, hingga netranya yang apa bila merekah akan terlihat indah sebab berbentuk bulat juga sangat jernih itu, dengan perlahan-lahan mulai menerjap kecil, tanda kesadarannya untuk kembali ke semesta yang telah hancur ini kian terkumpul kembali semakin penuh, sampai sang empu akhirnya benar-benar terjaga dari tidurnya.

“Baguslah kau sudah bangun. Jadi aku tidak perlu berepot-repot membuang segelas air untuk mu”

Gadis itu dengan cekatan langsung bangkit dari posisinya, ia duduk berseloroh kaki dan menyandarkan punggung sempitnya di tembok, jari-jemari lentiknya mencoba membenahi kunciran rambutnya usai mengusap kasar wajahnya, setelahnya ia segera mengalihkan atensinya untuk melihat ke arah seorang wanita yang membawanya ke semesta ini.

Sosok yang seharusnya ia panggil dengan nama kehormatan — Ibu dan seharusnya berperan sebagai satu-satunya sosok malaikat di semesta ini untuknya.

Namun sosoknya tidaklah berperan sebagai malaikat untuk gadis itu, melainkan menjadi sosok lain dari jelmaan iblis, karena wanita itu selalu menyiksanya, mencaci-makinya dan merendahkannya, menyakiti tubuh ringkihnya, memusnahkan kepercayaan dirinya, merusak mentalnya dan juga membuatnya ingin segera bertemu, sang pencipta semesta.

“Selamat pagi ibu” Ujar gadis itu cerah, dari tutur ucapnya tak ada sedikitpun rasa dendam dan kebencian di sana, ia tetap begitu ramah dan selalu bertutur lembut pada sosoknya, bahkan ia masih sempat-sempatnya sunggingkan senyuman terbaiknya meskipun bilah bibirnya terkoyak, tanda adanya pukulan keras di sana sebelumnya.

Tak urung senyuman meredup saat sang Ibu tidak membalas perkataannya sama sekali, usai membuka kunci jeruji besi yang menjadi satu-satunya pintu di ruangan itu, sang Ibu langsung masuk kedalam sana dengan raut wajah yang tak bersahabat lantas langsung menarik salah satu lengan gadis itu dengan kasar.

“Berdiri!” Sentaknya, sampai gadis mungil itupun mau tidak mau langsung bangkit dari posisinya dengan sedikit terhuyung.

“Ibu mau bawa Tiwi kemana?” Tanyanya penuh rasa penasaran namun tak jua membuatnya menaikkan nada suaranya hingga terdengar riang.

“Berisik! Ikut saja, sialan!”

Tubuh ringkih gadis itu segera di seret keluar dari tempat pengasingannya dengan kasar, namun ranumnya yang terkoyak tak berani berseru kesakitan, ia tetap diam berusaha tak membuat suara dan meringis selirih apapun itu, kaki mungilnya yang tak beralaskan apapun juga dengan terseok-seok terus berusaha berjalan dengan benar mengikuti langkah cepat sang Ibu.

Takut, satu hal yang bersemayam kuat di hati dan pikirannya kala telapak kaki telanjangnya itu mulai menapaki jalan setapak yang mengarah keluar dari pekarangan rumahnya yang sudah hampir lima tahun tak pernah ia lalui lagi, sebab ia selalu terpenjara di dalam kamar pengasingannya.

Ada banyak tanya di benaknya, ada banyak ketakutan yang di rajut dalam hatinya, dan ada begitu banyak pula terkaan di pikirannya yang isinya semua, adalah hal-hal buruk, apalagi saat langkah mereka terhenti di depan sebuah gubuk tua, di tengah belantara hutan.

“Ini dia”

Sang Ibu langsung menghempaskan tubuh ringkih gadis itu sampai sang empu tersungkur di tanah.

“Cantik. Sayang sekali dia gila” Ucap seorang wanita tua dengan wajah yang keriput dan rambut yang telah memutih semua, ia berdiri dengan posisi yang tidak tepat atau membungkuk, ia juga tengah memegang sebuah tongkat kayu panjang sebagai papahan satu-satunya untuk melangkah menghampirinya.

Gadis itu mencoba membenarkan posisinya agar duduk bersimpuh di tempatnya, sebenarnya ia ingin segera bangkit atau mundur dari posisinya, namun urung, sebab ia takut di pukuli lagi oleh sang Ibu apabila ia mengelak.

Wanita tua itu berjongkok di hadapan gadis itu lantas mendorong dagu sang empu dengan jari-jari keriputnya, sampai wajah jelitanya yang di penuhi lebam itu terangkat naik dan netranya yang bulat jernih langsung bertemu tatap dengan netra wanita tua itu.

“Siapa namamu?”

“Tiwi” Sahutnya lirih. Wanita tua itu menaikkan salah satu alisnya. “Tiwi? Apa dia hanya memberikan satu kata itu saja untuk me namaimu?” Dia - yang di maksud wanita tua itu adalah sosok sang Ibu.

“Jawab yang benar, tolol!” Sentak sang Ibu yang emosinya selalu meledak-ledak kapanpun itu jika menyangkut si gadis mungil.

“Ailinka Pratiwinta”

Wanita tua itupun tersenyum, namun bukan senyuman bersahabat dan hangat melainkan sebuah senyuman yang mengerikan, lantas wanita tua itu pun langsung berdiri setelahnya, meskipun agak kesulitan, dengan punggung yang membungkuk ia berjalan mendekati dua pohon yang tumbuh besar dan menjulang sama tingginya yang berada di sisi kiri rumahnya.

Gadis mungil itu spontan memiringkan kepalanya saat melihat wanita tua itu berhenti di antara dua pohon kembar dan tampaknya tengah membaca sebuah mantra?

Dugaan gadis itu tidak mungkin salah, wanita tua itu adalah penyihir, dan tempat itu adalah kediamannya, juga dua pohon kembar itu adalah sebuah porta menuju alam ghaib.

Namun tersisa satu pertanyaan lagi di benaknya. Untuk apa Ibunya itu membawanya ke sana?

“Cepat berdiri!”

Gadis itu langsung berdiri kembali saat kedua lengannya di tarik naik oleh sang adik laki-laki dan sang Ayah juga yang entah sejak kapan sudah berada di sana, ia tidak menyadarinya sama sekali.

“Ayah? Adik?” Gadis itu mulai ketakutan apalagi saat dua pohon kembar itu mulai membentuk sebuah portal, dan tubuhnya di seret mendekat.

“Ibu …” Gadis itu menoleh ke arah sang Ibu yang kini tengah tersenyum sinis padanya.

“Selamat tinggal keturunan Benjamin yang cacat. Kau hanya benalu di keluarga kami. Kau aib. Kau tidak seharusnya terlahir di dunia ini. Pergilah yang jauh dan kekal lah kau di antah berantah sana. Kami akan menghapuskan mu dari muka Bumi ini sepenuhnya”

“Ibu …?” Netra bulat gadis itu tak lagi jernih sebab air matanya mulai menggenangi pelupuk matanya.

Sakit, hatinya terasa lebih sakit dari hal apapun juga yang sudah ia alami selama ini, saat mendengar ucapan sang Ibu mungkin untuk yang terakhir kalinya itu.

Lahir di keluarga terpandang dengan status sang Ayah yang menjabat sebagai menteri dan Ibunya yang berperan sebagai wanita pelopor Hak Asasi Manusia di negerinya itu, tak membuatnya dapatkan pandangan hormat dari masyarakat dan pula keadilan dari sang Ibu, bahkan seluruh anggota keluarganya.

Malang nasibnya, hanya karena ia tumbuh menjadi sosok yang riang ceria, mudah membaur, dan suka berinteraksi dengan orang baru hingga membuatnya di pandang aneh dan gila, sebab dalam tutur ucapnya terselip kisah-kisah yang tak masuk akal dan logika.

Gadis mungil itu kerap kali bercerita tentang sebuah semesta yang ia lihat di dalam mimpinya yang di huni oleh makhluk-makhluk yang menakjubkan.

Seperti Siren, sosok yang memiliki tubuh setengah manusia dengan bagian kakinya yang berupa ekor ikan. Kraken manusia dengan kepala gurita. Vampir si manusia abadi yang hidup dengan mengisap darah. Lalu Werewolf , si manusia yang dapat berubah wujud menjadi seekor serigala, dan masih ada banyak lagi lainnya.

Namun bukannya di gemari kisah dari mimpinya itu, ia malah di pandang berbeda, aneh bahkan gila, hingga keluarganya pun memilih untuk mengasingkannya selama sekitar lima tahun terakhir ini.

“Sang widih yang agung ... aku datang dengan segala kerendahan ku untuk mempersembahkannya untukmu dengan utuh … dia yang menjadi lambang ketidak sempurna di muka bumi ini untuk kau renggut. Sang putri cacat dari garis keturunan Benjamin Ailinka Pratiwinta, bawalah ia bersamamu, abadikan ia menjadi bagian dari semesta mu, kami yang di bumi ini dengan hati yang lapang tanpa keragu-raguan ini melepaskannya untuk menjadi milikmu seutuhnya. Maka terimalah persembahan kami ini. Rengkuh erat dan bawalah ia pergi ke semesta mu… ”

Usai wanita tua itu membaca mantranya, tubuh ringkih gadis itu pun langsung di lemparkan begitu saja ke dalam portal yang terbuka dan bersinar sangat terang tersebut.

Tidak ada jeritan, tidak ada air mata yang berlinang lagi, gadis itu dengan ikhlas hati merelakan dirinya di jadikan tumbal semesta, tanpa dendam, ia memejamkan matanya seraya tersenyum manis dan dalam hatinya ia bergumam lirih sebelum perlahan kesadarannya terenggut bersamaan dengan tubuhnya yang benar-benar menghilang dari muka Bumi ini.

“Selamat datang Semestaku. Aku harap kau akan menerimaku tanpa keluhan. Aku pamit pulang Bumi”.

️️ ️️ ️️ ️️ ️️ ️️ Suara kicauan burung yang saling bersahutan merdu, membuat netra gadis bernama Tiwi itu kian merekah, pertanda kesadarannya kini telah kembali, sambil meringis kecil ia berusaha bangkit dari posisinya yang berbaring tersebut untuk duduk berseloroh kaki.

“Kau … siapa?” Tanyanya saat ia telah duduk sempurna, dan langsung melihat sosok manusia dengan bagian pinggang sampai kakinya yang seperti seekor kuda di hadapannya, sang empu menyahuti ucapannya namun tampaknya gadis itu tidak dapat memahaminya, ada perbedaan bahasa dari keduanya.

Dengan tergesa-gesa sosok itu mencoba mencari sesuatu dari dalam tas selempang mungil yang menyilang di tubuhnya.

“Ini apa?” Gadis itu menerima sebuah makanan tampaknya, namun berbentuk bulat telur juga mungil dan bertekstur kenyal seperti jelly.

Usai sosok itu membuat gestur agar ia memakannya, maka dengan sedikit ragu gadis itupun langsung melakukannya.

Netra bulatnya yang dipenuhi rasa keraguan perlahan-lahan mulai menatap sosok yang tengah tersenyum hangat padanya itu dengan binar, saat ia dapat merasakan rasa manis dan tekstur kenyal dari jelly itu usai mengunyahnya, namun tak lama kemudian. “Hegkhh!” Gadis itu langsung memekik kesakitan usai menelannya, lehernya terasa sakit seperti sedang tercekik hingga pernafasannya mulai terganggu.

Tubuh ringkihnya langsung terpontang panting dan meronta di atas hamparan rerumput hijau, kedua tangannya memegangi lehernya seolah ingin melepaskan belenggu tak kasat mata di sana, jeritannya pun tertahan dan tercekat begitu saja dengan matanya terbuka lebar, wajahnya bahkan mulai merona sebab paru-parunya tak dapatkan pasokannya udara.

Sosok yang bersamanya itu tidak berbuat apapun, namun dari air mukanya dan tangannya yang saling bertautan dapat terlihat jelas jika sang empu kini tengah mengkhawatirkan gadis itu.

“Eah! Hah … hah … hahh-hhh apa-hhh apa itu?” Gadis itu terbaring telentang di tempatnya, dengan nafas yang tersengal-sengal usai rasa sakit yang menderanya tak lagi terasa.

“Selamat datang di semesta ini, nona ….?” Sosok itu menggantungkan ucapannya yang kini mulai dimengerti oleh gadis itu. Sebab ingin mengetahui nama sang empu.

“Tiwi — Pratiwinta”

“Nama yang indah untuk Semesta ini!” Sosok itu langsung memekik kegirangan mendengarnya, ia bahkan melompat-lompat kecil di tempatnya. “Ayo naiklah ke punggung ku. Seluruh penghuni semesta harus melihat mu dan mereka harus mengetahui nama indah semesta ini” Ujarnya masih sangat bersemangat.

“Maksudnya?”

“Naiklah dulu nona, kan ku jelaskan di perjalanan nanti” Melihat senyum tulus sosok tersebut gadis itupun menurut, dengan hati-hati ia naik ke punggungnya, dan sebelum mengatakan dirinya siap ikut serta bersamanya gadis itu lebih dulu menanyakan nama sosok itu dengan sopan.

“Maaf sebelumnya. Bolehkah ku tahu namamu?” Tangan lentiknya dititiah sosok tersebut agar bertumpu di pundaknya. “Soonee. Umurku 220 tahun dan aku seorang sagitarius jantan” Sahutnya riang.

“Okey Soonee … aku siap. Tapi jangan lupa bercerita lah” Ucapannya masih dengan hati-hati.

Tiwi, gadis itu bukan merasa tidak nyaman dengan sosok Soonee hanya saja ia berusaha berlaku seramah mungkin, ia tidak sama sekali merasa sungkan dan asing pada Soonee, sebab ia memang seorang gadis ceria yang mudah membaur, tak akan ada kesulitan baginya untuk mengobrol dengan orang baru, meskipun sosok Soonee tidak termasuk dalam golongan manusia sebenarnya.

“Apa kau tau nama tempat ini?” Dengan langkah ringan Soonee mulai memacu jalannya membelah belantara hutan.

“Emmm … Semesta?” Sahut Tiwi, itu sebenarnya hanya tebakannya saja, sebab sedari keduanya dapat berkomunikasi Soonee selalu menyebutkan kata tersebut.

“Benar sekali. Kau cerdas sekali nona. Lalu bagaimana bisa kau mengingat namamu?”

“Kenapa aku harus tidak ingat?”

“Bolehkan ku menyinggung hal sensitif seperti dibuang dan tidak diinginkan?” Soonee melirik menggunakan ekor matanya ke arah Tiwi.

“Katakan saja” Tiwi tersenyum ramah seolah tak ada hal yang perlu Soonee khawatirkan tentangnya.

“Baiklah. Pertama, kami yang tinggal di semesta ini adalah sosok yang tidak di inginkan di tempat asal kami, kami di buang dan di persembahkan kepada semesta.

Kami yang di buang di sini tidak membawa serta ingatan bahkan kisah masalalu kami, entah itu adalah sebuah pengampun dosa atau awal yang baik agar kami yang terbuang tidak lagi mengingat masalalu kami yang jelas bukanlah suatu kenangan yang baik.

Intinya semua orang yang sampai di semesta ini tidak ada yang tahu pasti, luka duka dan lara seperti apa yang sebelumnya didapatkan, di sini kami semua hidup abadi, dan 220 tahun umurku itu di hitung sejak kali pertama aku sampai di sini”

“Berarti usiaku baru satu hari?”. Soonee langsung terkekeh mendengarnya. “Apa kau ingat usiamu di tempat asalmu?”

“Tentu! Aku baru berusia dua puluh tahun, di tahun ini seharusnya” Sahut Tiwi sangat bersemangat. “Tapi … apa kau yakin semua orang lupa akan masalalunya? Lalu kenapa aku tidak?” Kini tutur ucapnya meredup, jujur ia merasa iri sekarang jika yang lainnya mendapatkan hak istimewa seperti itu di semesta ini lalu mengapa dirinya tidak?

Bahkan sampai saat ini ia masih membawa serta segala rasa sakit dan ingatan buruknya, meskipun kini, tanpa di sadarinya tubuhnya tak lagi di balut bekas luka, bahkan rambutnya yang di potong acak oleh sang Ibu sebelumnya sudah kembali menjuntai panjang dan berwarna coklat gelap.

“Tentu, nona. Sebab dari informasi yang tertulis di Prasasti yang ada di sini sejak awal semesta ini di bentuk tertuliskan jika …

‘suatu saat Semesta ini akan memiliki nama yang indah. Nama yang akan di berikan adalah nama yang di ambil dari nama — the mother of the eart — yang akan datang kemari suatu saat nanti. Ia akan membawa serta ingatannya dari masalalunya dan akan memimpin negeri ini penuh cinta, tanpa pilih kasih, sebab luka laranya tak dapat merubah sosoknya menjadi orang yang penuh dendam dan angkuh, maka dia adalah sosok memimpin yang tepat untuk semesta ini dengan penuh kasihnya’

… begitu, nona”

“Jadi aku? Maksudnya? Soonee?”

“Tentu nona, karena itu aku mau membawa mu ke Puspita atau tempat pemerintah semesta ini di jalankan. Agar berita kehadiran mu dan nama untuk semesta ini segera di resmikan”

“Nama untuk semesta ini. Namaku? Tiwi?”

“Ya tentu saja ,”

“Semesta Bhumi — Pratiwinta”

--

--

pshaconne
pshaconne

Written by pshaconne

love yourself or let me loving you better than anyone.

No responses yet