Semesta sepertinya memang tidak adil,
Bagaimana bisa ada seorang pemuda yang memiliki paras yang begitu manis bahkan nyaris ayu hingga tak kalah indah parasnya dari seorang gadis?
Belum lagi pemuda itu memiliki postur tubuh yang sangat menawan sebab tubuhnya di dominasi oleh kaki yang jenjang dengan tinggi badan yang bahkan melampaui angka 180cm. Warna kulitnya begitu putih nyaris pucat. Ia tidak sedang sakit namun tone warna kulitnya memang seperti itu.
Dari sepuluh menit lalu nafas pemuda manis itu tiada henti memburu sampai dadanya bergerak naik turun. Sebab terlalu kuat menahan gejolak emosi di relung batinnya. Bibirnya yang merona alami namun tidak terlalu bervolume itu juga terus mengerucut kesal dengan alis tebalnya yang turut menukik tajam. Kelereng netranya yang berwarna hitam kelam bahkan terus menatap nyalang ke salah satu objek di depannya.
Posisi pemuda manis ini kini tengah berdiri di pinggir lapangan basket outdoor kampusnya yang diisi oleh sebagian mahasiswa dan mahasiswi yang juga melakukan hal yang sama dengannya, yakni melihat dua pemuda yang tampak begitu serasi dan sepertinya sebentar lagi keduanya akan resmi berkencan.
Jika diperhatikan dengan seksama tampaknya hanya pemuda manis itu saja yang merasa emosi disana. Sebab orang-orang disekitarnya hanya fokus pada pemandangan di tengah lapangan dengan perasaan yang turut berbahagia. Dimana ada seorang pemuda tampan yang sedang berlutut sambil menyodorkan sebuah kotak cincin untuk seseorang pemuda manis lainnya yang berdiri di hadapannya sembari merengkuh erat buket bunga pemberian si tampan sebelumnya.
Pemuda manis itu jelas merasa sangat kesal pada pemandangan di hadapannya saat ini. Sebab pemuda tampan yang tengah mengungkapkan perasaannya itu adalah orang yang begitu dicintainya dalam keterdiamannya selama ini. Dan sialnya pemuda tampan itu kini tengah mengungkapkan perasaannya pada seorang pemuda manis lainnya yang begitu dikenal baik oleh si manis. Sebagai sosok seorang kakak. Kakak kandungnya lebih tepatnya.
“Bajingan!” Geram seseorang.
Pemuda manis itu spontan menoleh ke samping kirinya. Ia bahkan menatap lebih nyalang dan ketara sangat tidak suka pada sosok pemuda yang lebih pendek darinya itu.
Pemuda itu tidak sependek itu juga sebenarnya hanya saja ia tidak lebih tinggi dari si manis dengan jarak beberapa sentimeter saja. Bahkan proporsi tubuh pemuda di samping si manis itu juga sangat menarik sebab ia memiliki bahu yang cukup lebar hingga tampak sangat nyaman untuk disandari. Belum lagi parasnya juga tak kalah tampan dari pemuda yang kini tengah berada di tengah lapangan dan menjadi pemeran utama hari ini.
“Siapa yang kau maksud?” Tanya si manis dengan sinisnya. Bahkan tatapan matanya tengah mengisyaratkan sebuah kebencian terpendam pada sang empu.
“Siapa lagi memang?” Sahutnya tak kalah sinis dari si manis. Bahkan lirikan matanya seolah tengah menantang si manis.
“Kau ini —” Si manis tidak sempat menyelesaikan ucapannya sebab suara riuh di sekitarnya mulai terdengar. Hingga mengalihkan atensinya untuk kembali menatap ke tengah lapangan.
Miris sekali.
Orang yang begitu dicintainya dengan sepenuh hati dalam keterdiamannya selama ini, kini terlihat sudah memeluk tubuh sang kakak dengan begitu erat dengan aura kebahagiaan yang menguar begitu kuat. Tapi mengapa tatapan sang empu malah mengarah ke arah si manis saat ini? Meskipun tidak jelas siapa yang kini benar-benar ditatapnya.
Anehnya lagi pemuda tampan di tengah lapangan itu menatap ke arah si manis dengan tatapan yang menantang serta meremehkan. Seolah tengah mengisyaratkan sebuah kemenangan entah pada siapa, si manis tidak tahu pasti. Belum lagi pemuda tampan itu kini tengah menarik salah satu sudut bibirnya hingga tersungging tinggi. Pemuda tampan itu tengah menyeringai licik.
“Ck. Memang dasarnya bajingan!”
Tubuh si manis sedikit berjengit sebab sosok di sampingnya kembali berkata kasar di sebelahnya seolah tengah mengatai dirinya.
“Kau mengumpat padaku?”
“Kau datang bulan setiap hari kah? Kenapa perasaan mu selalu se sensitif pantat bayi!”
“Mulutmu saja yang selalu penuh terisi sampah mangkanya aku terusik!”
“Sebaiknya kau menepi. Tubuh tiangmu menghalangi pemandangan orang-orang dibelakang mu”
“Hey bahu pembatas jalan! Kau yang seharusnya menyingkir! Bahumu terlalu banyak memakan tempat!”
“Dasar pucat”
“Pendek!”
“Anak iblis”
“Argggggg yang Jungwon!”
“Hah … apa, Park Sunghoon?” Pemuda itu memperlihatkan air mukanya yang tampak jengah menghadapi si manis.
“Aishhh kau ini benar-benar!” Si manis menggeram kesal. Sambil meremas jari-jari lentiknya sampai buku-bukunya mulai memutih. Ia bahkan juga menghentak-hentakkan kakinya beberapa kali ke bumi.
“Kau salah-salah”
“Yak aku belum selesai pendek!” Si manis semakin geram. Saat pemuda yang sebelumnya berdiri di sampingnya itu sudah lebih dulu berlalu pergi. Sebelum sempat menerima amukannya.
“YANG JUNGWON SIALAN!” Si manis berteriak dengan lantang.
“YOU TOO, BABE!” Sahut sang pemilik nama.
Si manis hendak mengejar sosok bernama Jungwon tersebut untuk segera memberinya pelajaran. Beberapa pukulan serta tendangan bila perlu. Sekalian untuk pelampiasan rasa kekesalannya saat ini pada sang kakak sebab telah resmi berkencan dengan pujaan hatinya.
“Sunghoon!” Namun pergerakan si manis langsung urung sebab sang kakak lebih dulu memanggil namanya sembari berlari menghampirinya.
“Ada apa, Jongseong?” Si manis berucap sembari menggeram kesal. Sebenarnya sangat kentara tapi sang kakak tampaknya tidak menyadarinya.
“Hoon, lihatlah. Jake memberikan cincin ini padaku. Manis sekali bukan?” Pamer sang kakak. Si manis sontak langsung merotasikan kelereng matanya tanpa sang empu sadari. Sebab ia hanya fokus pada jari manis kirinya yang kini dilingkari sebuah cincin permata yang sejujurnya sangat cantik di akui oleh si manis.
“Hah … yayaya bagus. Sudahlah aku ada kelas. Aku duluan”
Sang kakak masih tetap tersenyum seolah tak memahami jika sang adik kini tengah merasa kesal terhadapnya.
“Ya! Sunghoon nanti kau pulang sendiri ya! Aku akan pulang bersama Jake!”
Si manis tetap berjalan menjauh sambil mengangkat lengan kanannya di udara dengan telapak tangan yang mengepal erat kecuali jari jempolnya, sebagai jawaban.
“Jongseong. Sudah?”
Kakak si manis yang tak kalah manisnya dari sang adik itu menganggukkan kepalanya dengan patuh sambil tersenyum hangat pada pemuda tampan pujaan hati sang adik yang kini sudah resmi menjadi kekasihnya itu.
Kemudian keduanya turut berlalu dari sana dengan arah yang berlawanan dari si manis sambil bergandengan tangan dengan sangat romantis. Diiringi riuh suara mahasiswa dan mahasiswi lainnya yang memberikan ucapan selamat atas hubungan keduanya yang baru saja diresmikan.
Sedang pemuda manis bernama Park Sunghoon itu. Yang sebelumnya sudah lebih dulu berjalan menjauhi lapangan tersebut langsung menghentikan langkahnya saat mendengar suara sorak sorai penuh kegembiraan dari orang-orang yang turut berbahagia atas hubungan sang kakak dan pemuda tampan yang begitu dicintainya dalam keterdiamannya selama ini.
“Sial sekali” Sunghoon mengumpat sembari tersenyum miris.
Tak lama berselang saat si manis hendak kembali melangkah pergi dari sana, ia spontan meremas dada bagian atasnya dengan kuat saat nafasnya semakin memberat. Sebab detak jantungnya terasa melambat. Tubuh si manis juga mendadak lemas serta kepalanya mulai berdenyut nyeri sebab telinga nya berdengung kencang.
“PARK SUNGHOON!” Usai si manis mendengar suara seseorang yang tengah memanggil namanya dengan lantang si manis pun langsung ambruk dan kehilangan kesadarannya.
Beruntungnya tubuh si manis ambruk tepat dalam dekapan seorang pemuda yang sebelumnya berdebat dengannya itu. Sehingga badannya tidak berbenturan langsung dengan lantai paving.
“Aish. Minggir!”
Usai si manis berada di dalam gendongannya. Pemuda itu pun langsung bergegas membawa tubuh si manis ke ruang kesehatan. Tanpa memperdulikan tatapan seluruh mahasiswa dan mahasiswi yang tengah menatapnya dengan raut wajah yang mengisyaratkan rasa keterkejutan.
Sebab yang seluruh penghuni kampus itu ketahui, si manis dan pemuda itu adalah musuh bebuyutan yang begitu abadi sejak masa putih abu-abu.
Pemuda yang bernama lengkap Yang Jungwon itu jelas kerepotan membawa tubuh Sunghoon yang lebih besar darinya, seorang diri. Salahnya lagi ia menggendong tubuh Sunghoon dengan cara bridal style dan sialnya juga Jungwon mengangkat tubuh Sunghoon dengan posisi yang salah. Jungwon mengangkat badan Sunghoon di lengan kanan sedang kakinya dengan lengan kiri.
Kesialan lainnya tak henti ia dapatkan sebab letak ruang kesehatan nyatanya cukup jauh dari tempat Sunghoon kehilangan kesadarannya. Dan beruntungnya ia hanya tidak perlu naik tangga saja.
Walaupun kerepotan serta sangat menguras tenaga namun Jungwon tetap berjuang untuk membawa tubuh jangkung Sunghoon ke ruang kesehatan. Jujur ia tidak mampu. Nmun sebab rasa kekhawatirannya yang begitu besar membuat Jungwon tetap berjuang sekuat tenaga.
“PERGI!”
Sesampainya di tempat tujuan dengan suara yang begitu tinggi oktafnya Jungwon langsung berteriak memerintah, agar semua orang yang berada di dalam ruang kesehatan itu segera keluar dari sana.
“CEPAT KELUAR!” Sentaknya sekali lagi.
“Akhh! Ahh sial. Dia sangat berat” Saat tubuh si manis telah di baringkan di atas ranjang kesehatan. Jungwon jelas saja langsung mengeluh sembari meregangkan otot-otot lengandan punggungnya yang terasa linu usai menggendong tubuh Sunghoon.
“Dia baik-baik saja kan?” Tanya seorang pemuda pemilik netra bulat seindah rusa yang menghampiri keduanya.
Sebelumnya pemuda itu memang tengah bersama Jungwon tadi. Sebelum akhirnya Jungwon berlari kencang meninggalnya hanya untuk menyanggah tubuh Sunghoon yang limbung dan akhirnya tidak sadarkan diri dalam dekapannya.
Saat pemuda itu melihat guratan kekhawatiran Jungwon yang begitu besar terhadap kondisi Sunghoon, tanpa pikir panjang pemuda itu pun langsung ikut serta berlari mengejar Jungwon yang tergopoh-gopoh membawa tubuh bongsor Sunghoon ke ruang kesehatan.
“Tidak tahu. Aishh! Mana petugas kesehatan di sini!” Frustasinya.
“Won, tolong jangan serakah. Kau memang bodoh tapi jangan keterlaluan”
“Apa maksudmu, Hee!”
Pemuda pemilik netra bulat seindah rusa yang bernama lengkap Lee Heeseung itu pun langsung menghela nafas jengah sebelum kembali menyahut.
“Kan kau sendiri yang mengusir semua orang yang ada di sini. Itu bahkan tidak sampai lima menit yang lalu”
“Aish bodoh! Maksudku tadi orang-orang yang tidak berkepentingan!”
Jungwon jadi semakin panik. Sebab tak ada petugas kesehatan satupun di sana.
“Won, lagipula kau tadi memerintah sambil berteriak seperti hendak menelan mereka. Jelas semua orang keluar dengan ketakutan tanpa pikir panjang”
“Tapi kan — Aw! Sakit!” Jungwon mendengus kesal sebab Heeseung memukul tengkuknya dengan cukup keras.
“Salah sendiri kau terlalu bodoh!”
“Lalu bagaimana ini?!”
Belum sempat Heeseung menyahuti ucapan Jungwon, si manis sudah melenguh dan sedikit menggeliat sembari memegangi kepalanya yang mungkin masih berdenyut nyeri.
Melihat respon tubuh si manis, Jungwon langsung memerintah Heeseung untuk membeli minum serta makanan untuk Sunghoon. Jungwon mengira jika Sunghoon jatuh pingsan sebab ia lupa sarapan pagi tadi hingga asam lambungnya naik.
Heeseung merenggut kesal sembari mengancam akan melaporkan Jungwon pada Ni-Ki, kekasih Heeseung. Sebab Jungwon memerintah Heeseung dengan cara yang tidak manusiawi. Jungwon menyerat dan mendorong paksa tubuh ringkih Heeseung agar keluar dari ruang kesehatan itu. Lalu melemparkannya beberapa lembar uang sebelum kemudian menutup pintu ruang kesehatan itu dengan kasar.
Meskipun Heeseung tampak sangat kesal namun ia tetap melangkah pergi sebab situasi tidak memungkinkan untuk adu argumentasi dengan si pemuda pemilik bahu lebar bak pembatas jalan itu.
Jungwon yang baru selesai menutup pintu dengan kasar bahkan tanpa sadar menguncinya dari dalam.
“Sunghoon!” Jungwon langsung memekik terkejut saat Sunghoon bangkit dari posisinya sembari terbatuk-batuk dengan keras bahkan sang empu mencengkram dadanya dengan kuat. Belum lagi tubuh Sunghoon memberi bergelagat seperti hendak muntah.
Sebab dilanda rasa panik dan terkejut Jungwon dengan spontan meletakkan kedua telapak tangan nya di depan mulut Sunghoon. Hingga akhirnya sang empu berhasil memuntahkan sesuatu dari dalam tubuhnya yang membuat Jungwon langsung mematung dan tak bergeming sedikitpun.
“Maaf …” Cicit Sunghoon lemah sambil memejamkan matanya dengan erat. Ia merasa kesakitan serta merasa bersalah usai muntah di telapak tangan Jungwon.
Saat Sunghoon merasa jika Jungwon masih tak bergeming. Ia segera membuka matanya lantas ia melirik ragu-ragu pada telapak tangan Jungwon yang masih menengadah di hadapannya.
“Itu —”
Namun setelah melihatnya dengan jelas, rasa bersalah si manis pun tenggelam hingga tergantikan oleh perasaan lain yang begitu mendominasi dirinya sampai terasa menyesakkan.
“Jungwon …” Tubuh Sunghoon ikut menegang dan membeku saat melihat telapak tangan Jungwon penuh dengan darah serta …
“Baby breath” Lanjut Jungwon.
Tubuh si manis mulai bergetar ketakutan. Bahkan netranya yang begitu indah mulai berembun sampai beberapa detik kemudian bulir air matanya langsung mengalir tanpa hambatan membasahi pipi nya dengan deras.
“Tidak … ini tidak mungkin” Si manis tampak sangat shock dan tidak percaya. Ia bahkan sampai kembali terbatuk-batuk sebab menangis terisak begitu pilunya di hadapan Jungwon.
Jungwon yang menyadari kondisi si manis saat ini langsung berlalu ke arah wastafel untuk mencuci tangannya yang penuh darah. Lantas kelopak bunga yang tidak mungkin larut di saluran wastafel itu ia buang ke tempat sampah.
Usai mengelap tangannya dengan tissue Jungwon pun kembali ke samping Sunghoon sambil menatap iba kepadanya. Sejujurnya Jungwon sangat panik saat ini, apalagi saat melihat si manis semakin terisak sampai kembali terbatuk-batuk bahkan lebih keras dari sebelumnya.
“Sttt … Sunghoon jangan menangis nanti makin sesak”
Hati Jungwon yang telah lama mati rasa itu dengan tiba-tiba saja mulai terasa teriris-iris saat melihat si manis yang setiap harinya tampak kuat. Sering beradu argumentasi dengannya. Jarang mengalah untuknya. Bahkan tanpa segan akan memukulnya saat terlampau kesal. Dan selalu dengan berani menatapnya penuh kebencian. Kini malah tampak lemah dan tak berdaya. Bahkan tubuh jangkungnya tampak ringkih dan rapuh saat ini.
“Tenang dulu ya” Dengan keberanian yang sebenarnya begitu kecil. Jungwon menghapus jarak di antara mereka. Ia langsung memeluk tubuh si manis tanpa permisi dengan cara yang lembut seolah takut meremukkan tubuh si manis jika ia terlalu erat memeluknya.
Sunghoon yang masih terisak tanpa sadar membalas pelukan Jungwon bahkan sangat erat berbanding terbalik dengan yang Jungwon lakukan terhadapnya.
Semakin lama si manis semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang Jungwon yang tengah memeluknya dengan posisi berdiri. Sedangkan dirinya masih duduk di atas banker kesehatan. Ia terus memeluk tubuh Jungwon seolah tengah membagi rasa sakitnya sebab dada serta kepalanya kembali berdenyut nyeri.
“Jungwon … ini tidak mungkin kan?”. Sang empunya nama mengusap lembut punggung si manis untuk menenangkan gundah hati sang empu. Sambil sedikit termangu memikirkan kondisi sang empu.
“Ya. Tentu saja …” Sahut Jungwon dengan keraguan besar.
Keduanya terdiam. Masih dalam posisi saling memeluk tubuh satu sama lain meskipun tangisan si manis mulai terhenti. Kini pikiran mereka sama-sama pergi berpetualang menjelajah ke antah berantah.
Keduanya tidak sedang melakukan diagnosis mandiri di benak masing-masing. Namun gejala yang si manis alami saat ini adalah sebuah gejala nyata dari sebuah penyakit yang tumbuh sebab rasa cintanya untuk seseorang.
Hanahaki Disease.
Sebuah kondisi dimana paru-paru seseorang ditumbuhi oleh bunga dan duri. Hingga menyebabkan sang empunya tubuh mengalami gejala sesak nafas bahkan terbatuk-batuk sampai memuntahkan darah serta kelopak bunga yang tumbuh subur di dalam paru-parunya.
Penyakit itu hadir sebab rasa cinta sang empunya tubuh pada seseorang sudah berada di hirarki tertingginya. Bahkan melewati batas obsesi.
Sedang sang empu nyatanya tak pernah dapat balasan yang setimpal dari ketulusan rasanya dan justru malah mendapat sebuah rasa pesakitan dari seseorang yang teramat dicintainya.
Si manis tampaknya terlalu baik merawat rasa cintanya untuk seseorang yang bahkan tidak peduli jika ia hidup di dunia ini.
Dan walaupun rasa cintanya sudah sampai melewati batas obsesi namun salahnya si manis hanya memilih untuk terus diam saja selama ini. Tanpa membuat langkah apapun. Sampai pada akhirnya bunga-bunga cintanya itu tumbuh subur sampai mekar indah namun berubah menjadi sebuah keindahan yang nyatanya menjadi syarat akan sebuah rasa pesakitan yang terus tumbuh dengan baik hingga menyeruak dan memenuhi rongga di dadanya.
Bahkan saat sang empu yang teramat dicintainya dalam keterdiamannya selama ini mulai pergi dengan cintanya, yang bukan dirinya. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Namun si manis tetap teguh pada pendiriannya untuk terus mencintainya dalam diamnya.
Hingga pada akhirnya rasa sakit sebab rasa cintanya itu kini tak hanya ia rasakan di batinnya saja. Melainkan pesakitan nya itu juga dapat ia rasakan secara nyata menyakiti fisiknya.
Entahlah, kali ini si manis akan mampu menahannya atau tidak. Kita lihat seberapa egoisnya si manis kali ini untuk terus mempertahankan bunga-bunga pesakitan nya tersebut.
️️️️Setelah si manis memakan setengah dari bubur yang Heeseung belikan untuknya atas perintah Jungwon tadi. Kini ia suduh duduk dengan nyaman di dalam mobilnya, lebih tepatnya di bangku samping kemudi. Dengan Jungwon yang tengah mengemudikannya.
Awalnya Sunghoon, pemuda manis itu menolak mentah-mentah perintah Jungwon untuk pulang bersamanya. Sebab ia membawa mobil sendiri. Dan lagi ia masih ada satu kelas lagi yang harus ia hadiri meskipun tidak terlalu penting sebenarnya.
Namun tadi dengan begitu mutlaknya, lagi-lagi Jungwon memerintahkan Heeseung tapi kali ini dengan cara yang lebih sopan dari sebelumnya. Untuk membawa mobil Jungwon pulang kerumahnya sebab pagi tadi ia memang menjemput Heeseung. Sedangkan Ni-Ki, kekasih Heeseung memang tidak datang ke kampus jadilah Heeseung mau-mau saja untuk membawa mobil Jungwon seorang diri.
Dan untuk mobil Sunghoon kini tengah melaju dengan kecepatan sedang dengan sang empu yang duduk manis di dalamnya dan Jungwon yang memegang kendali kemudi.
Sunghoon tidak pernah menyangka sebelum nya. Jika ia akan berada di dalam satu mobil yang sama dengan Jungwon, bahkan hanya berdua saja. Sebab sosok Jungwon sedari dulu selalu dijabarkan sebagai sosok yang begitu menyebalkan di jalan cerita hidup si manis.
Lebih dari sepuluh menit berlalu, hening masih mendominasi di antara keduanya. Sunghoon yang mulai merasa bosan sebab Jungwon hanya diam dan fokus mengemudi merasa sedikit kesal. Apalagi sang empu seolah acuh akan intensitas keberadaan si manis yang jelas-jelas kini berada di sampingnya.
Akhirnya setelah berulang kali menghela nafas panjang Sunghoon pun berinisiatif untuk memulai pembicaraan lebih dulu.
“Jungwon kau tau kenapa —”
“Tidak” Sahut sang empunya nama dengan cepat. Ia bahkan menyela sebelum si manis sempat menyelesaikan kalimatnya.
“Aku belum selesai!”
“Aku tau leluconmu terlalu kuno. Aku tidak tertarik”
“Dari mana kau tau? Kita bahkan jarang bersama!” Si manis melirik Jungwon yang tengah fokus menyetir dengan tatapan yang menghunus tajam.
“Bukankah tiada hari tanpa kita bertemu, Hoon?” Sahut Jungwon seraya terkekeh geli.
Si manis tampaknya mendadak hilang ingat. Karena faktanya mereka selalu bertemu setiap hari entah hanya untuk melempar tatapan permusuhan ataupun untuk beradu argumentasi.
“Benar. Bahkan saat aku libur kuliah pun kau masih saja berlalu di hadapanku”
“Hemm” Jungwon melirik si manis yang kini mengalihkan tatapannya ke luar jendela.
Setelah kembali hening beberapa saat si manis mulai terusik saat menyadari jika jalan yang Jungwon pilih bukan arah menuju rumahnya.
“Kita ke apartemenku. Aku sudah memanggil dokter keluargaku untuk memeriksa keadaanmu” Jungwon menjabarkan maksudnya saat ia melihat gelagat di manis yang sedikit gelisah namun ragu bertanya.
“Jungwon … aku tidak mau”. Sang empunya nama kembali terkekeh geli saat mendengar si manis yang merengek tanpa sadar kepadanya.
“Aku memang berjanji untuk menyimpan rahasiamu, Hoon. Tapi bukan berarti kau tidak memerlukan pemeriksaan lebih lanjut”
Sebelumnya saat keduanya berjalan ke parkiran, Jungwon memang sudah berjanji tidak akan memberitahu siapapun akan kondisi Sunghoon. Itupun karena sang empu juga sangat memaksanya tadi.
“Tapi … Ah sudahlah! Intinya antar aku pulang saja!”
“Tidak. Jika kau pulang tanpa tahu perkembangan bunga-bunga kesayanganmu itu. Aku tidak menjamin jika kau tidak akan pingsan dan muntah-muntah lagi. Lalu anggota keluargamu akan mengetahui rahasia mu itu. Termasuk Jongseong, kakakmu”
“Jungwon …” Si manis tampak sangat menggemaskan saat merengek meskipun wajahnya semakin tampak pucat saat ini.
“Hemm” Jungwon yang meliriknya sekilas-kilas tiada jeda untuk melunturkan senyuman tampannya.
“Aku akan pergi sendiri ke rumah sakit. Tapi tidak sekarang juga. Aku belum siap, ku mohon …”
“Jika kau pergi periksa sendiri ke rumah sakit, aku tidak bisa menjamin jika Ayahmu tidak akan mengetahui hasil pemeriksaan mu. Jangan lupa Sunghoon, kau ini anak orang berpengaruh di negeri ini”
Sambil memarkirkan mobil Sunghoon yang di kemudikan nya Jungwon kembali bersuara, “Tapi aku berani bertaruh apapun, jika dokter kepercayaan keluargaku akan menjaga aman rahasiamu. Bersamaku”
“Ck. Terserah!”
Sebenernya si manis tidak benar-benar kesal. Ia hanya bingung untuk mengekspresikan perasaannya yang dirundung rasa ketakutan serta rasa lain yang begitu menggelikan yang mengarah ke hal-hal yang positif saat melihat senyuman Jungwon yang begitu hangat serta menenangkan. Bahkan jika boleh jujur Sunghoon begitu candu melihatnya. Dalam hati kecilnya ia mendamba jika Jungwon bisa memperlihatkannya lebih sering untuknya.
Selain itu Sunghoon juga tidak mau jika Jungwon harus melihat sisi lemahnya terlalu banyak. Sebab bagaimanapun juga Jungwon masih musuh bebuyutannya. Jelas ia tidak lupa ingatan sama sekali tentang itu meskipun Jungwon sudah banyak membantunya hari ini. Bahkan di hari-hari lainnya juga sebenarnya.
“Ayo turun. Dan berhentilah cemberut atau ku cium sampai kau sesak nafas lagi” Ancam Jungwon saat telah berhasil memarkirkan mobil Sunghoon.
“Ck. Suka-suka diriku lah!” Si manis tetap menampilkan raut wajah cemberutnya. Ia bahkan keluar dari dalam mobilnya dengan cara yang kasar. Sedangkan Jungwon malah tertawa riang melihat si manis mulai merajuk dengan air muka yang begitu menggemaskan.
“CEPAT!”
Usai si manis berteriak dengan lantang Jungwon pun segera menyusul langkah si manis yang telah lebih dulu melewati lobi dan kini sudah masuk ke dalam lift.
Setelah pintu lift benar-benar tertutup Sunghoon langsung berdecak kesal sebab hanya ada mereka berdua didalam sana.
“Kau tahu aku tinggal di lantai sepuluh?” Jungwon kembali bersuara saat lift mulai beroperasi. Sedangkan tombol yang Sunghoon tekan sebelumnya adalah angka yang tepat untuk sampai di tempat tinggal Jungwon.
“Sunghoon, jawab”. Sunghoon tetap diam. Ia benar-benar enggan menjawabnya
“Wah hebat. Kau bisa tau dengan pasti tempat tinggal ku”
Kali ini Sunghoon berdecak kesal dengar ucapan Jungwon yang terdengar sangat menyebalkan di rungu nya.
Lagipula bagaimana mungkin Sunghoon bisa tidak tahu? Jika ia pernah Jungwon jadikan babu saat kalah taruhan dengannya. Hingga ia harus mengantarkan sarapan dan membangunkan Jungwon setiap pagi selama sebulan penuh dan itu baru terjadi tepatnya dua bulan lalu.
“Jake kan?” Jungwon terus bersuara tapi kali ini tingkat menyebalkannya bagi Sunghoon sudah ada di level paling atas. Sebab Jungwon menyebutkan nama pujaan hatinya.
“Diam!”
“Aku tidak tahu apa yang kau lihat dari pemuda kado valentine itu. Sampai kondisimu seperti ini”
“Hah? Kado valentine?”
“Dia lahir bulan November Minggu ke dua kan?”. Sunghoon menganggukkan kepalanya membenarkan, “Sembilan bulan sebelumnya itu adalah hari Valentin” lanjut Jungwon.
Sunghoon melirik Jungwon dengan sinis. “Yak! Bagaimana kau bisa tahu jika ia lahir bulan November Minggu ke dua?”
“Karena sejak dari SMA, di setiap hari itu kau selalu memintaku untuk tidak berada di sekitarmu. Bahkan jika perlu aku tidak kau perbolehkan keluar rumah, kan?”
“Jungwon …”
“Hah … setidaknya jika kau menyukai seseorang pastikan orang itu tubuhnya lebih besar atau lebih kuat darimu, sepertiku contohnya”
“Jungwon …”
“Tubuhmu tampak datar di setiap sisi tapi nyatanya sangat berat. Kau berisi di tempat tertentu sepertinya. Aku tidak tahu dimana. Kau sembunyikan di tempat-tempat yang istimewa kan?”
Jungwon terus mengoceh untuk menggoda Sunghoon tanpa menyadari jika si manis kini sudah memejamkan matanya sebab tengah menahan rasa sakitnya.
“Lagi pula ya — Sunghoon!”
Jungwon dengan refleks langsung merengkuh tubuh Sunghoon yang hampir limbung kedepan.
“Sunghoon. Apa yang kau rasakan?”
Jungwon yang sudah merengkuh tubuh Sunghoon lantas menuntunnya untuk duduk berselonjor kaki. Dengan punggung si manis yang kini bersandar nyaman di bahunya. Sedangkan lift masih terus bergerak dan baru sampai di lantai enam.
“Se-sak … hah!” Adu Sunghoon sedikit terbata-bata sebab dadanya kembali terasa nyeri dan pernafasannya semakin memburuk.
Jungwon menatap lift yang tampak begitu lambat bergerak naik secara bergantian dengan wajah Sunghoon yang semakin memucat pasi.
“Jungwon, sesak” Eluh Sunghoon sembari meremas dadanya.
Entah apa yang ada di dalam pikiran Jungwon sampai ia bertindak tanpa berfikir panjang.
Jungwon menjepit rahang Sunghoon dengan satu telapak tangannya. Lalu menariknya agar tertoleh ke arahnya. Lantas dengan segera ia mulai mempertemukan bibir mereka tanpa aba-aba.
Nafas Sunghoon bukannya langsung kembali normal tapi malah semakin tercekat sebab untuk pertama kalinya bibirnya bersentuhan dengan bibir milik orang lain.
Namun hal itu tidak berlangsung lama. Saat Sunghoon memperhatikan apa yang kini tengah Jungwon lakukan terhadapnya, ia pun dengan segera mencoba untuk menekan rasa keterkejutan lantas mulai memejamkan matanya erat-erat sebab ia enggan menatap netra Jungwon yang tampak tengah mengkhawatirka nya. Ia berusaha dengan keras untuk mengatur pernafasannya agar berjalan dengan benar melalui bantuan Jungwon.
Jungwon tidak sedang mencium Sunghoon dalam artian yang sebenarnya. Ia memang mempertemukan labium mereka dengan lekat namun dengan tujuan untuk memberikan Sunghoon nafas buatan saja.
Sunghoon mengesampingkan rasa kesalnya sebab ciuman pertamanya di curi sang musuh bebuyutan. Sebab ia benar-benar kewalahan mengatur nafasnya jika tidak Jungwon bantu.
Saat lift menunjukkan angka sembilan pernafasan Sunghoon akhirnya mulai membaik dan perlahan-lahan kembali normal. Namun Jungwon masih enggan untuk melepaskan tautan bibir mereka. Bahkan kini dengan beraninya Jungwon mulai melumat bibir pucat Sunghoon sampai sedikit merona kembali.
Jungwon melumat bibir Sunghoon dari bagian bawah lebih dulu sebelum kemudian berganti ke bagian atas. Jungwon melakukannya secara bergantian dan berulang.
Sunghoon yang mulai terbawa suasana hanya sanggup memejamkan matanya terus-menerus. Tanpa sadar ia terus menikmati setiap sesapan dan lumat bahkan jilatan lidah Jungwon di di bibir bagian atas dan bawahnya. Karena walaupun Sunghoon ingin membalas lumat bibir Jungwon sekalipun namun ia tetap diam saja. Sebab tidak tahu caranya berciuman.
Ting!
Suara lift yang terhenti serta pintunya yang telah terbuka lebar tidak menghentikan aksi Jungwon untuk terus melumat dan menghisap bibir Sunghoon yang mulai membengkak.
“Eumhh!”
Dengan satu gerakan yang cukup kuat Jungwon langsung mengangkat tubuh Sunghoon dalam gendongannya seperti saat di kampus tadi. Kali ini dengan posisi yang benar. Meskipun masih tetap kerepotan. Dan kali ini tindakannya sedikit terbantu sebab Sunghoon langsung mengalungkan kedua lengannya di pundak Jungwon dengan kukuh.
Tanpa melepaskan lumatan bibirnya di bibir si manis. Jungwon terus berjalan melewati beberapa pintu apartemen milik penghuni lainnya. Yang beruntungnya sangat sepi. Mungkin orang-orang masih beraktivitas di luar saat ini.
Pagutan bibir keduanya semakin lekat bahkan tanpa jeda sampai menghadirkan suara kecupan-kecupan basah yang menggairahkan. Sebab Sunghoon mulai berani menggerakkan bibirnya perlahan-lahan untuk membalas lumatan bibir Jungwon. Usai ia mempelajari apa yang Jungwon lakukan sedari tadi ia langsung dengan tanggap menirunya. Hingga ciuman keduanya pun benar-benar semakin intim dan tak terkendali.
Digit angka segera Jungwon tekan untuk membuka kunci pintu apartemennya tanpa perlu menurunkan tubuh Sunghoon dari gendongannya terlebih dahulu. Sampai pintu apartemen milik Jungwon mulai terbuka. Jungwon masih saja tiada bosan melumat bibir Sunghoon dengan serakah begitupun sang empu yang dengan baik membalasnya.
Setelah masuk kedalam Jungwon langsung mendorong pintu apartemennya menggunakan kakinya agar kembali tertutup. Kemudian ia berjalan lurus ke arah sofa panjang agar bisa membaringkan tubuh Sunghoon di sana dengan posisi dirinya yang kini sudah mengukung tubuh si manis sembari terus melumat bibir sang empu yang terasa sangat mencandukan untuknya.
“Hah … hahhhh …” Sunghoon mulai membuka matanya dengan nafas yang terengah-engah saat Jungwon melepaskan tautan bibir mereka.
Tatapan netra keduanya saling terkunci satu sama lain saling menyelami serta mengangumi dengan jarak wajah keduanya yang hanya terpisah beberapa senti saja. Sampai hembusan nafas hangat keduanya saling bertemu seolah turut serta memadu kasih.
Sunghoon perlahan-lahan kembali memejamkan matanya saat Jungwon hendak menciumnya kembali.
“Jungwon kau sudah pulang?!”
Sang empunya nama langsung bangkit dari posisinya. Ia mencoba berdiri dengan benar sembari membenarkan pakaian saat seseorang tiba-tiba saja memasuki apartemennya. Sedangkan Sunghoon malah pura-pura pingsan sebab merasa sangat malu.
“Ekhem. Bagaimana kau bisa masuk?”
“Pintunya tidak kau tutup”
Jungwon merutuki keteledorannya. Namun ia bernafas lega sebab dari gelagat sang empu sepertinya kelakuannya tadi tidak sempat dipergoki.
“Oh. Apa dia pingsan?”
Jungwon langsung membalikkan badannya. Ia sedikit terkejut melihat Sunghoon yang kini sudah memejamkan matanya tampak sengaja. Bahkan nafasnya masih sedikit tersengal-sengal.
“Ya .. emm biar aku bawa ke kamar dulu. Jika kak Ji mau minum atau camilan ambil sendiri ya di dapur. Seperti biasanya saja. Oke”
Setelahnya Jungwon langsung menggendong tubuh Sunghoon kembali. Lantas ia membawanya ke dalam kamarnya sambil tersenyum geli melihat tingkah laku si manis yang sangat menggemaskan baginya.
“Jangan tertawa!” Sunghoon menggeram kesal dengan suara yang begitu lirih. Agar hanya Jungwon yang bisa mendengarnya.
“Hemmm”
Saat Jungwon sudah meletakkan tubuh Sunghoon di atas ranjangnya ia pun langsung mencuri satu kecupan di ranum Sunghoon yang telah kembali merona dan volumenya bertambah dari sebelumnya. Bibir Sunghoon membengkak.
“Yang Jungwon!” Sunghoon kembali menggeram dengan suara yang masih begitu lirih sambil tetap menutup matanya erat-erat. Hingga undangan kekehan gemas dari sang empunya nama. Yang langsung memberikan kecupan kupu-kupu di seluruh wajah Sunghoon.
Setelah pemeriksaan yang di lakukan oleh kakak ipar Jungwon pada Sunghoon. Dengan hasil, kondisi Sunghoon masih ada kemungkinan untuk sembuh bahkan tanpa perlu melewati tindakan operasi.
Sebab saat Sunghoon kembali muntah tadi ia memuntahkan cairan darah, kelopak bunga segar serta duri-duri kecil. Itu tandanya, ada seseorang yang tengah melindungi bunga-bunga cantik milik Sunghoon di dalam sana. Sehingga duri-duri tajam dalam paru-paru nya di patahkan begitu saja.
Ada cinta seseorang yang lebih besar dari perasaan Sunghoon untuk Jake nyatanya. Sunghoon ada dalam pesakitan orang lain.
Usai kakak ipar Jungwon berpamitan pulang. Kini keduanya tengah duduk bersebelahan di ranjang tempat tidur Jungwon sembari bersandar di kepala ranjang. Tanpa adanya kecanggungan. Keduanya terlihat akur dan tak ada aura permusuhan sedikitpun. Namun keduanya hanya terdiam dengan pemikiran masing-masing.
“Jungwon?”
“Hemmm?”
“Itu … apa?”
Jungwon mengikuti kemana arah telunjuk kanan si manis menunjuk. Ia tidak segera menjawabnya. Jungwon terdiam cukup lama sebelum kemudian menatap si manis sembari tersenyum begitu hangatnya.
“Cintaku”
Sunghoon terkejut mendengarnya.
Sebab hal yang sebelumnya ia tunjuk adalah sebuah toples kaca yang kira-kira berdiameter lima belas sentimeter tersebut. Dengan isi kelopak-kelopak bunga mawar berwarna jingga.
Kelopak mawar jingga itu tampak terlihat asli dan sangat segar walaupun tidak memiliki tangkai. Lantas bagaimana bisa bunga itu masih bisa tetap terlihat indah terawat dan segar apalagi tak terlihat ada media lain yang membantunya bertahan hidup?
“Kau … juga melalui hal sulit seperti ini?”
Jungwon menganggukkan kepalanya sebagai jawaban meskipun Sunghoon tidak melihat ke arahnya. Si manis menatap nanar pada kelopak-kelopak bunga milik Jungwon.
“Apa yang akan, atau sudah kau lakukan?” Kini Sunghoon memalingkan wajahnya ke arah Jungwon untuk mencoba mempelajari ekspresi wajah Jungwon saat menjawab pertanyaannya.
“Aku tetap merawatnya. Sampai saat ini”
“Kau masih memilikinya?”
“Masih. Walaupun kondisiku mungkin lebih parah darimu. Sebab aku merawatnya selama hampir setengah dari usia ku”
“Kenapa kau begitu egois?”
Sunghoon tanpa sadar menunjukkan emosinya yang tiba-tiba saja meluap sebab mengetahui Jungwon sudah merawatnya sejak lama tanpa mengambil tindakan serius.
“Dia terlalu istimewa, Hoon”.
“Apa tatapan Jake tadi siang itu … untukmu? Kau berebut kakakku dengannya kah?”
Sunghoon tiba-tiba saja kembali teringat akan tatapan sinis Jake sebelumnya yang tertuju ke arahnya. Namun kini Sunghoon seolah paham jika orang yang Jake tatap bukan dirinya, melainkan seseorang yang saat itu berada di sampingnya. Yang Jungwon.
Belum lagi tadi siang Jungwon juga tiba-tiba mengumpat di sebelahnya. Apa umpatan itu untuk Jake?
“Kenapa kau bisa berfikir seperti itu? Aku saja tidak mengenal kakakmu meskipun dulu kita bertetangga”
“Lalu siapa?”
“Kau yakin ingin tahu?”
Sunghoon menganggukkan kepalanya dengan cepat. Ia bahkan sampai mengubah posisinya agar bisa berhadapan langsung dengan Jungwon. Selain karena dilanda rasa penasaran yang teramat besar ia juga ingin memukul orang yang telah mengabaikan perasaan musuhnya itu jika ia mengenalnya.
Entah mengapa Sunghoon merasa begitu tidak terima dengan apa yang Jungwon terima.
Jungwon tampak menghela nafasnya berulang kali. Ia tengah mencoba meyakinkan dirinya untuk lebih terbuka pada Sunghoon. Tak apa selagi itu bukan orang lain kan? Itu Sunghoon sosok yang tumbuh bersamanya sejak kecil. Sebelum kemudian merubah alur hubungan mereka menjadi musuh sebab Jungwon selalu mengusik ketenangan Sunghoon.
Lagipula kapan lagi? Jungwon tak punya banyak waktu lagi rasanya.
“Orang itu kini tengah menderita karena seseorang yang membenci ku”
“Hah! Kenapa, kenapa?”
“Dulu aku tidak tahu jika Sunoo menyukaiku. Dia kehilangan nyawanya karena menyukaiku”
“Jadi kau membalas perasaan orang bernama Sunoo itu setelah ia tiada?”
“Hah … bukan, Hoon” Jungwon menjeda ucapannya. Ia menyakinkan dirinya untuk terus mencoba terbuka pada Sunghoon.
“Setelah Sunoo tiada. Kakak sepupu Sunoo yang sangat menyayanginya tiba-tiba saja muncul di sekitar orang yang aku sukai. Sosok itu memberikan perhatian dan atensinya untuk orang yang aku sukai selama ini. Ia berperilaku seolah memberikan lampu hijau pada orang yang aku sukai. Namun pada akhirnya ia berpura-pura tidak mengenal orang yang aku sukai itu. Lantas ia melukainya dengan cara … berkencan dengan saudara orang yang aku sukai. Sampai jelitaku kini terbelenggu lara sebab kesalahanku”
“Wah gila. Lalu — ” Sunghoon mengentikan ucapannya. Sedangkan Jungwon hanya terkekeh kecil saat menyadari jika Sunghoon yang tampaknya memahami penjelasannya.
Sunghoon membatin, mengapa cerita Jungwon mirip seperti apa yang ia alami saat ini? Dan lagi jika di ingat-ingat kembali Sunghoon sepertinya tau siapa orang yang bernama Sunoo itu.
Hanya saja … mana mungkin orang Jungwon sukai itu,
“Benar. Apa yang kau pikirkan benar adanya. Kim Sunoo, dia sepupu Jake Shim. Dan orang yang ku sukai — ah tidak. Maksudku, orang yang aku cintai sangat itu, dirimu. Park Sunghoon”
Tubuh Sunghoon mendadak kaku usai mendengar pengakuan Jungwon. Detak jantungnya spontan bertalu-talu dengan keras namun lucunya meskipun ia sedikit sesak nafas kenapa rasanya tidak menyakitkan sama sekali? Bahkan perutnya terasa geli bak di hinggapi ribuan kupu-kupu?
Apalagi saat netra kelam Sunghoon terkunci dengan tatapan tajam Jungwon yang tampak begitu memujanya. Mengapa rasa bahagia di dalam dirinya seolah membuncah begitu hebatnya sampai kesadarannya seolah meluap begitu saja. Hingga ia ingin lekas tenggelam dalam hangat rengkuhan sang empu?
Udara dingin yang dihasilkan oleh mesin Air Conditioner yang masih aktif di dalam kamar Jungwon tersebut tampaknya tidak bekerja. Sebab kini pipi Sunghoon mendadak merona bahkan sangat ketara dengan jelas. Sepertinya ia tengah kepanasan.
‘Cinta seseorang melindungi pesakitan mu’
Ucapan kakak ipar Jungwon sebelumnya, kembali menggema di dalam kepalanya.
Tentang perasaan seseorang yang begitu kuat dan tengah mencoba melindungi dirinya dari rasa sakitnya.
Cinta seseorang yang lebih besar dari yang ia miliki untuk Jake mencoba untuk mematahkan duri-duri dalam paru-paru nya untuk mencegah luka yang lebih parah dari yang seharusnya ia dapatkan.
Cinta yang melindungi Sunghoon nyatanya adalah cinta milik Jungwon untuknya.
“Sunghoon … maaf caraku untuk bisa selalu berada di sisimu selama ini tidak benar. Sampai kita saling berdebat setiap saat. Dan maaf menjadi sebab mu terbelenggu lara. Tapi, Sunghoon … aku benar-benar menyukaimu. Aku ingin egois merawat bunga-bunga ini seumur hidupku karena … aku benar-benar mencintaimu”
Air mata Sunghoon berlinang dengan mudahnya saat ia melihat sosok Jungwon yang tampak berbeda dari hari-hari biasanya. Tatapannya begitu tulus serta sangat memuja dirinya.
Rasa kesal yang selama ini Sunghoon pendam untuk sosoknya bahkan langsung menguap begitu saja. Hanya karena ia melihat bagaimana air muka Jungwon yang kini menggambar segala kesungguhannya.
Belum lagi saat Sunghoon mengetahui fakta bahwa, meskipun ia terbelenggu lara sebab dendam seseorang untuk Jungwon namun dengan susah payah pula Jungwon melindungi dirinya dengan rasa cintanya yang sebenarnya sudah sangat menyiksanya sebab selama ini Sunghoon tidak pernah melirik ke arahnya bahkan dengan terang-terangan menyakiti nya lewat ucapannya dan cerita cintanya yang peran utamanya bukanlah Jungwon.
“Jungwon … maukah kau membantuku untuk merawat bunga-bunga milikku di waktu yang bersamaan dengan milikmu? Dan lagi seharusnya aku yang meminta maaf sebab aku ingin egois Jungwon …” Sang empunya nama tersenyum hangat sembari terus mendengarkan apa yang hendak Sunghoon sampaikan padanya. Jungwon bahkan dengan berani menghapus air mata si manis yang terus mengalir dengan ibu jarinya.
“Jungwon maukah kau membantuku merawat bunga-bunga ku? Maukah kau membantuku sembuh sembari akupun akan berusaha untuk membalas perasaan mu?” Lanjut Sunghoon.
“Kau yakin? Kau mau sembuh bersama ku?”
“Yaa … ayo sembuh bersama-sama. Kau mau?”
Jungwon tidak menjawab ucapan Sunghoon dengan kata-kata. Ia menjawabnya dengan tindakannya. Jungwon kembali mempertemukan labium keduanya seperti sebelumnya.
Awalan memang hanya menempel saja namun detik waktu dengan perlahan mulai menunjukkan kuasanya. Hingga ciuman keduanya berubah menjadi pungutan yang lebih mesra dan intim sampai menggebu-gebu dan terbakar nafsu —