Pagi ini waktu telah menunjukkan pukul tujuh lebih tiga puluh satu menit. Gerbang sekolah jelas sudah ditutup sekitar lima belas menit yang lalu.
Dan seorang pemuda bertubuh jangkung dengan kulit putih pucat yang mengendarai motor Scoopy merah rawit milik Ibunya itu spontan berdecak kesal di depan gerbang biru sekolahnya yang tingginya sekitar dua setengah meter dan telah di kunci rapat.
Huh. Sialan! - Di batinnya ia mengumpat sembari memukul spion motor sang Ibu di bagian kiri yang menghadap ke wajahnya. Mendadak ia merasa sensi sendiri melihat spion motor itu tak mengarah ke sisi yang tepat. Kelakuan wanita memang ada-ada saja pikirnya. Untung saja tidak ada operasi polisi tadi. Kalau ada habislah uang sakunya hanya untuk jajan surat tilang. Mana ia belum sempat sarapan lagi. Bisa mati kelaparan dirinya jika sampai uang sakunya di pakai untuk hal itu. Bisa tak makan ia seharian — pikirnya.
Meskipun sebenarnya pengungkapannya itu terlalu hyperbolic. Sebab uang sakunya sudah pasti jumlahnya lebih dari uang yang harus ia keluarkan untuk membayar surat tilang. Lagi dirinya masih punya teman yang akan dengan mudah meminjamkannya uang. Karena pemuda itu itu type orang yang tepat waktu dalam mengembalikan sesuatu. Dapat dipercaya lah istilahnya.
Atau mungkin saja, masih ada ibu-ibu kantin dan ibu-ibu warung yang sudah berjejer berlaga seperti kekasihnya itu. Karena selalu memperlakukannya dengan ramah dan sangat baik dibandingkan siswa lain. Mari kita sebut itu sebagai privilege sebab selain sopan santunnya yang patut di banggakan pemuda itu juga memiliki paras yang tampan rupawan. Jelas saja para ibu-ibu itu akan dengan mudah menghutangi dirinya bahkan bisa memberikan secara cuma-cuma, tak akan jadi masalah selagi mereka dapat melihat senyuman hangat di wajah tampan pemuda itu sebagai imbalannya.
Dan yang paling hyperbolanya lagi pada bagian tidak makan seharian. Huh … apa-apa itu? Jelas saja ia tidak akan langsung mati karena nya. Paling-paling kena asam lambung, maag atau dehidrasi. Tidak jadi dehidrasi kalopun ia mau minum air kran. Asal siap terserang pilek di kemudian hari.
Pemuda itu menghela nafas panjang usai menurunkan standar motornya. Kedua tangannya ia lipat di dada seraya di benaknya ia mulai berpikir, andai saja motornya tidak masuk bengkel lagi untuk kali ke sepuluh di bulan ini.
Ya, motor CB100 berwarna hitam pekat kesayangannya itu tidak pernah absen selama sebulan ini untuk menginap di bengkel hingga ia harus membawa motor nyentrik sang Ibu itu ke sekolahnya.
Maklum saja motor miliknya adalah motor tua peninggalan sang kakek. Dibanding tidak mampu membeli yang baru sosoknya terlalu menyukai barang antik seperti itu memang. Tapi karenanya ia harus rela menyetir selambat siput sebab agak bingung cara mengerem di motor matic.
Dan karena hal itu juga ia jadi sering hampir datang terlambat ke sekolah dan kali ini ia sudah benar-benar terlambat tak terselamatkan. Sialnya lagi hari ini adalah hari Senin. Lagi-lagi pemuda itu menghela nafas panjang.
Andaikan besi hitam jagoannya itu tidak sakit, mungkin ia tidak perlu menunggu sang Ibu kembali dari pasar terlebih dahulu hanya untuk meminjam motornya yang warnanya sangat cerah mentereng pun di penuhi stiker karakter strawberry shortcake itu. Motor ibu-ibu PKK sekali kendaraan Ibu nya itu memang.
Bukan salahnya jika ia hanya bisa mengandalkan kendaraan pribadi dari rumah nya untuk bisa sampai di sekolah. Salahkan saja Ayahnya yang lima tahun lalu memilih membeli tanah dan membangun rumah yang tidak strategis itu letaknya. Jauh dari jalan raya dan pangkalan ojek. Bahkan letak rumah nya itu tidak dapat di jangkauan transportasi online. Paket-paket online Ibunya bahkan juga sering nyasar kemana-mana. Merepotkan.
Rumahnya tidak terletak di area pedalaman yang sangat jauh dan tak terjamah moderenisasi sama sekali, tidak. Signal internet di sana juga ada, bahkan masih patut di sombong kan karena cukup kencang frekuensinya. Bangunan-bangunan di sana juga mayoritas sudah masuk di kawasan perumahan elit. Orang-orang yang tinggal di sana termasuk Ayahnya bahkan seorang pekerja kantoran dan naik mobil mewah malahan. Hanya saja memang tempatnya adalah daerah baru yang belum masuk di google map mangkanya susah di akses.
Jangan tanya dimana teman satu sekolahnya untuk ditumpangi juga. Karena dia adalah satu-satunya siswa yang beruntung bisa masuk ke sekolah itu dari daerahnya. Ingat, pemuda itu beruntung bukan cerdas.
Sibuk melamun panjang tiba-tiba salah satu satpam sekolahnya sudah ada di depannya namun terhalang oleh pagar besi. Satpam itu melihatnya dengan sedikit terheran. “Loh Shan, kok bisa telat?” Tanya sang empu di balik gerbang yang jelas sangat dikenal baik oleh pemuda itu.
Sebelum menyahuti pertanyaan satpam sekolahnya. Pemuda itu lebih dulu melepaskan helmet yang dikenakannya. Kemudian turun dari motornya seraya membenarkan surainya yang di sisir menggunakan jari-jari tangannya dengan mudah sebab ia tak menggunakan pomade apalagi rambutnya memiliki tekstur yang halus. Pemuda itu berjalan ringan melangkah sebanyak lima langkah untuk dapat mencapai gerbang sekolahnya yang bercat biru dan menjulang tinggi memisahkan posisi mereka. Tak lupa sebelumnya ia juga sudah menarik kunci motornya.
Lihatlah tata krama pemuda itu, tampak jelas sekali bukan? Jika sebenarnya dia bukan seorang siswa badung dengan gelar berandalan sekolah yang sengaja datang terlambat.
“Pak Sugeng, boleh bukain gerbangnya gak? Gara-gara Ibuk nih tadi keasikan gosip di pasar jadi telat deh” Rayu pemuda berkulit pucat itu dengan raut wajahnya yang sudah sangat memelas di sertai alasan jujurnya.
Sebenarnya, satpam itu langsung iba. Selain karena pemuda itu bukanlah siswa yang bermasalah, sosoknya juga seorang pribadi yang sangat ramah, sopan, santun, murah senyum dan mudah membaur dengan warga sekolahnya yang bahkan bukan hanya murid-murid saja isinya. Ada tukang kebun. TU. Satpam. Bahkan seluruh jajaran penjual di kantin dan warung-warung di sekitar sana pasti mengenal sosoknya dengan baik. Dengan kepribadiannya yang patut di acungi jempol untuk seukuran pemuda seusianya.
Satpam itu memang iba namun jelas ia tidak berani melakukannya. “Aduh Shan maaf ya. Tapi …”
“Anakku Raden Karuna Shankara”.
Sang pemilik nama sedikit terkejut di tempatnya. Ia juga spontan menaikkan salah satu alisnya dengan air muka yang kebingungan saat mendengar namanya diucapkan dengan lengkap oleh seseorang yang berjalan dari arah belakang satpam sekolahnya itu sambil menenteng sebuah buku tulis lengkap dengan bolpoin yang memiliki warna yang senada. Violet.
“Huh … panjang banget sih namanya” Eluh sang empu yang kini mulai sibuk menulis sambil berdiri tersebut. Sepertinya ia tengah mencatat nama pemuda yang datang terlambat di hari Senin ini.
Pemuda berkulit pucat itu. Pemuda yang datang terlambat dengan nama yang memiliki empat suka kata itu termangu di tempatnya saat netranya dapat menangkap dengan jelas sosok yang tingginya hampir setara dengannya itu. Namun ia tampak sangat ringkih dan ...
ANJING! — Pemuda itu langsung mengumpat kasar di batinnya. Saat merasa jika pemuda yang mengucapkan nama lengkapnya itu tampak begitu manis, lucu dan sialnya juga cantik secara bersamaan.
Tubuhnya tinggi mungkin setara dengannya. Namun terlihat sangat ringkih. Wajahnya kecil dan netranya bulat jernih, mirip netra rusa. Hidungnya menjulang tinggi jelas sangat landai dan bangir. Bilah bibirnya memiliki kurva yang sangat indah pun ranum. Bahkan warnanya juga sangat menawan. Pemuda berkulit pucat itu sampai menelan salivanya susah payah saat netranya terus terfokus pada ranum sang empu yang bergerak-gerak kecil. Mungkin tengah mengeja saat tangannya sibuk menuliskan namanya dengan lengkap.
Pikirnya. Apa dia sebenarnya seorang gadis tomboy? Ah tidak mungkin. Pemuda berkulit pucat itu spontan menggelengkan kepalanya dengan cepat saat netranya menatap jakun yang menonjol dari leher jenjang sang empu yang masih diperhatikannya lamat itu.
“Raden! WOY!!!”. Pemuda itu langsung tersentak di tempatnya sambil memegangi dadanya. Ia terkejut dari lamunannya usai di teriaki oleh errrr … pemuda cantik itu.
“Kenapa?” Sahutnya linglung. Sambil masih mengusap-usap dadanya. Dan berusaha menormalkan air mukanya.
“Kamu telat. Boleh masuk, tapi langsung ke ruang BP ya” Ujarnya lembut. Meskipun sebelumnya ia sudah menghela nafas panjang terlebih dahulu sebab sang lawan bicara melamun entah karena apa sedari tadi.
Pemuda berkulit pucat itu. Mari kita sebut Shankara saja. Shankara masih diam di tempatnya tak bergeming sedikitpun padahal pak Sugeng telah membukakan pintu gerbang sekolah itu untuknya. Hingga tak lama kesadarannya pun mau tak mau harus ditarik secara paksa. Saat sosok yang diyakininya seorang anggota OSIS itu perlahan mulai meninggalkan tempat itu dengan cara yang indah. Langka kecil kakinya yang terlihat lambat laun dan lembut namun anggun dan teratur itu seolah meninggalkan jejak bunga-bunga yang bermekaran di setiap jalan yang sudah di pijaki nya.
“Shan, mau masuk gak nih?” Tanya pak Sugeng. Sambil memperhatikan sang empu yang kini malah senyum-senyum tidak jelas seraya masih memegangi dadanya yang kian berdesir menatap kepergian pemuda itu.
“Ekhem. Iya pak” Shankara berlaga merapihkan dasinya terlebih dahulu sebelum mencoba mendapatkan apa yang ia inginkan saat ini.
“Emm …. Pak?”. Pak Sugeng melihat ke arahnya sepenuhnya tanda tengah menaruh atensinya pada Shankara. Pemuda itu pun spontan tersenyum ramah terlebih dahulu sampai timbul cekung mungil di pipinya.
“Nama dia siapa ya?”
“Huh ...” Shankara langsung menelusupkan wajahnya di atas tas sekolahnya yang sudah lebih dulu ia letakkan di atas mejanya.
Lelah, punggungnya lumayan kebas juga sebab terlalu lama membungkuk. Ia baru selesai merampungkan hukumannya. Walaupun itu adalah kali pertamanya datang terlambat namun sekolah tetap menindak nya tegas dengan memberikannya sanksi hukuman.
Tadi ia di tugaskan untuk membantu petugas kebersihan, membersihkan selokan di depan kantor guru selama upacara bendera berlangsung. Badannya terlalu tinggi jadi saat ia membungkuk terlalu lama jelas sangat pegal.
Sialnya lagi hanya dirinya seorang yang datang terlambat hari ini. Tentu karena siswa yang benar-benar Badung lebih memilih untuk bolos pastinya karena hari ini adalah hari Senin.
“Kenapa bisa?” Tanya Arelion teman sebangkunya sekaligus teman baiknya. Seraya memberikan sekaleng minuman dingin untuknya. Aman saja minum di dalam kelas saat ini. Sebab pembelajaran baru akan di mulai lima menit setelah upacara bendera.
Shankara bangkit dari posisinya. Ia duduk dengan benar sambil menghela nafas panjang sebelum kemudian membuka segel minuman yang di berikan Arelion untuknya. “Thanks. Tadi Ibuk keasikan gosip. Sampek lupa motornya mau gue pakek” Dengan segera Shankara langsung menenggak minuman dingin itu sampai hampir tandas. Ia sedikit menyerngit saat kepalanya langsung pusing. Efek minuman dingin yang ia minum disaat suhu tubuhnya masih panas.
Arelion menggelengkan kepalanya sambil terkekeh kecil. “Udah gue bilang kos aja udah mendingan” Tak lupa punggung Shankara di tepuk-tepuk nya pelan.
“Gak deh. Gue gak mau hidup susah” Tolak Shankara yang mengkhawatirkan kondisinya jika harus tinggal seorang diri.
Sebab menurutnya menjadi anak kos itu tidaklah menyenangkan sama sekali. Jika ia kos untuk makan ia harus beli diluar sebab Shankara tak pandai memasak. Untuk urusan cuci baju, menyeterika dan bersih-bersih kamar sendiri ia juga tidak sanggup. Sebab di rumah dia punya mbak seorang wanita yang bekerja di rumahnya sebagai buruh cuci dan bersih-bersih.
“Tapi kalo lo kos gak perlu ngerokok diem-diem lagi kan? Sampe harus masang selusin mesin pengharum ruangan di kamar. Aduh!” Arelion mengeluh saat tengkuknya Shankara pukul lumayan bertenaga.
“Bukan selusin juga ya! Cuma dua itu” Sahutnya kesal. Namun Arelion malah terkekeh girang melihat kekesalan Shankara.
Shankara memang bukan seorang berandalan sekolah. Bukan anak yang suka cari keributan ataupun melanggar peraturan. Tapi tetap saja dia hanya anak muda berusia tujuh belas tahun dengan segala rasa keingintahuannya termasuk di ranah merokok.
Awalnya Shankara hanya coba-coba gara-gara hasutan orang yang tengah mengejeknya saat ini. Karena Arelion lah yang mengajarinya hingga akhirnya dirinya pun kecanduan setelahnya. Bahkan ia harus diam-diam saat ingin melakukannya karena ia tidak tahu pasti apakah dirinya diijinkan merokok oleh orang tuanya atau tidak. Sebab Ayahnya sendiri bahkan bukan seorang perokok.
“Eh tapi nih ya. Gue denger dari bang Gino. Nah kata dia temennya yang dapet beasiswa tuh kos dan dia tuh nyari roommate yang mau di repotin gitu”. Shankara melirik Arelion dengan raut wajah tidak pahamnya.
“Jadi gini. Ada anak - eh, kakak kelas kita dia. Nah dia anak beasiswa dan dia kos karena rumahnya jauh. Terus dia nyari roommate yang mau ngerepotin dia tapi ya jelas harus bayar lah”
Shankara terdiam mencerna penjelasan Arelion. Sebelum kemudian menyahut. “Repotin tipe yang gimana dulu itu?”
“Ya kaya kata lo tadi. Masak, bersih-bersih cuci baju nyetrika gitu lah intinya”
“Gak ah. Gak mau buang-buang duit gue, Ree. Lagian ya ...” Belum sempat Shankara menyelesaikan ucapannya tiba-tiba saja beberapa anggota OSIS sudah memasuki kelasnya.
Shankara mematung di tempatnya saat dadanya kembali terasa berdesir kala netranya kembali menangkap intensitas keberadaan pemuda yang tadi pagi di temuin nya itu. Pemuda cantik itu.
Sejenak dunia nya terasa berhenti. Hanya semilir angin yang dapat ia rasakan dari sisi kiri tubuhnya berdiam karena tempat duduknya sangat pas sekali dengan jendela kaca yang terbuka.
Netra bulat jernih sang empu itu kini seolah terperangkap dalam tatapan tajam lekat netranya. Sampai terlihat bergetar kecil dan diselimuti embun tipis. Entah sungkan atau gentar. Sang empu tampak seperti seekor bayi rusa yang hendak di buru. Bibir mungilnya yang memiliki kurva yang indah sedikit cemberut. Sampai air muka sang empu terlihat begitu menggemaskan. Seperti tengah memohon pengampunan agar tak di sakiti oleh sang pemburu.
“Shan. Buruan!” Arelion menyenggol lengan Shankara yang sedari tadi hanya sibuk melamun, sedari anggota OSIS itu memberikan pengumuman jika ada salah satu wali murid siswa di sana yang telah berpulang ke pangkuan tuhan. Sebabnya lah para anggota OSIS itu datang dan menarik sumbangan di sana. Seikhlasnya.
Usai memberikan sumbangan. Shankara pun kembali pada aktivitas nya untuk menatap sosok pemuda cantik itu dalam diam. Namun sudut bibirnya tak terelakkan lagi untuk terang-terangan memberikan reaksi. Hingga terangkat naik tinggi-tinggi sampai membentuk sebuah senyuman manis yang membuat kadar ketampanannya bertambah apalagi saat taring runcing yang dimilikinya itu terbit. Kala netra keduanya lagi-lagi saling bertemu tatap lekat dan terkunci tanpa di sadari oleh siapapun.
Indah. Sosoknya sangat luar biasa indahnya. Shankara mendadak lepas akal sehatnya saat di hadapkan pada sosoknya. Shankara kembali termangu. Dalam buaian indah angannya seorang diri. Ia jatuh terpelosok kedalam pesona sang pemilik netra rusa. Ia terkagum tiada jeda. Sungguh ia seperti orang gila sekarang.
Shankara bahkan tanpa sadar langsung terkekeh riang saat melihat pemuda cantik yang berdiri di depan kelasnya itu mendadak salah tingkah entah mengapa. Pipi gembil nya bahkan tengah bersemu ayu. Sampai saat hendak keluar dari kelasnya itu pun ia hampir menabrak salah satu daun pintu yang memang sengaja tidak di buka.
“Tadi lo liat cowo tinggi yang pagang bolpoin ungu, gak?” Celetuk Arelion. Yang menarik atensi Shankara dari buaian indah lamunan panjangnya.
“Iya liat, kenapa?” Sahut Shankara antusias sampai ia menganggukkan kepalanya dengan cepat.
“Dia kakak kelas yang gue maksud tadi” Ujar Arelion sambil menyiapkan buku pelajarannya karena setelah anggota OSIS itu keluar dari kelasnya sang guru mapel jam pertama langsung memasuki kelasnya. “Dia yang cari roommate. Gue tau dari bang Gino sih itu”
“Yang bener aja lo!” Shankara berteriak tanpa sadar sampai memukul meja dengan keras.
“Raden?” Panggil sang guru. Yang membuat Shankara langsung bangkit dari kursinya lalu membungkuk hormat dan meminta maaf. “Maaf pak. Maaf. Saya kaget tadi. Maaf” Ucapnya dengan beruntun.
“Sudah sudah. Bersihkan papan tulisannya” Perintah sang guru yang beruntungnya tidak memperpanjang masalah.
“Ree. Gue mau nanya” Ujar Shankara sebelum maju ke depan kelas untuk menghapus papan tulis yang entah mengapa tak di bersihkan oleh anak-anak yang bertugas piket hari itu.
“Apaan?” Acuh tak acuh sahut Arelion.
“Nama dia siapa sih?” Ujar Shankara frustasi. Sebab pak Sugeng tadi bilang tidak mengenalnya. Dan saat ia mencuri pandang pada sang empu ia juga tidak dapat melihat dengan jelas nama yang tercetak di nametag nya.
“Nama dia?” Shankara menganggukkan kepalanya dengan cepat. “Iya nama lengkap dia. BURUAN, REE!” Teriak Shankara tak sabaran.
“Iya buruan, Anakku Raden Karuna Shankara. Saya mau ngajar ini loh. Ayo cepet!” Bukan Arelion. Melainkan sang guru yang menyahutinya. Hingga mau tidak mau Shankara langsung berlari terbirit-birit kedepan kelas untuk melakukan tugasnya. Yang membuat Arelion terkekeh puas di tempatnya sampai pipinya terasa kebas.