Shankara & Hevalino
Senyuman manis di bilah bibir Hevalino tak luntur sedikitpun, seharian ini.
Pasalnya pagi tadi ia telah terima janji temu lewat kata “pulang bersama” dari sosoknya yang sukses buat Hevalino kelimpungan menghadapi rasa gelisah setengah mati yang ternyata cukup menyenangkan juga.
Walaupun hanya dari mengingat senyumannya. Namun hal itu mampu buat Hevalino tak bisa jamah waktu tidur nyenyak nya semalam. Hingga pada pukul dua dini hari, barulah ia bisa jatuh dalam buaian indah alam mimpinya. Hanya sebentar tapi. Karena pada pukul lima pagi ia harus segera bangun dan bersiap. Tanpa perlu bantuan alarm. Sebab ia terlalu biasa bangun pada sekitar pukul lima pagi memang. Bahkan terkadang bisa lebih awal.
Usai terbangun dari tidur singkatnya Hevalino pun lekas beberes. Membersihkan kamarnya. Membuat sarapan. Dan menyiapkan perlengkapan menimba ilmu nya.
Maklum. Hidup seorang diri buatnya harus berlaku demikian. Ia harus bangun lebih awal untuk memulai harinya. Sebab ia harus mengerjakan segala sesuatu dengan cekatan agar tak terlambat pergi ke sekolah tanpa bisa mengandalkan bantuan dari siapapun juga.
Tidak jadi masalah. Hevalino terlalu biasa hidup mandiri dan mengurus dirinya sendiri. Bahkan meskipun ia tinggal bersama orang tuanya dulu.
Sosok Hevalino telah lama merasakan kesendirian dan mengemban tanggung jawab untuk mengurus dirinya seorang diri. Sebab sepasang sosok yang mendapatkan predikat orang tua untuknya itu terlalu sibuk bekerja. Kejar harta hingga lupa waktu. Pun sampai lupa jika ada sosok seorang anak yang hadir dalam pernikahan mereka yang selalu julurkan kedua tangannya ke arah keduanya setiap waktu. Harapkan dapatkan rengkuhan hangat pun kata-kata penenang kala dirinya hadapi peliknya semesta. Naas, semua itu hanya indah impian sang anak.
Hingga pada akhirnya Hevalino pun nekat. Pergi ke luar kota untuk melanjutkan pendidikannya lewat jalur beasiswa sehingga memudahkannya angkat kaki dari rumah tanpa perlu menyiapkan alasan yang bertele-tele ataupun mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya. Yang kemungkinan tak didengar kedua orang tuanya.
Pikiran pendek kedua orangtuanya itu. Jika Hevalino dapatkan beasiswa di sekolah negeri di kota orang tandanya anak mereka mampu dapatkan pendidikan yang lebih baik sampai ke tingkat universitas. Hingga nanti juga akan memudahkannya saat pergi tampaki jenjang karir.
Tanpa kedua sosok orang tua itu sadari bahwasanya Hevalino sendiri lah yang mati-matian kejar beasiswa itu. Hanya agar bisa hidup jauh dari keduanya yang hanya bisa hadirkan rasa mendamba ingin disayangi yang nyatanya kian berubah rasa menjadi lara yang begitu membekas di benaknya. Mungkin kan abadi.
Setelah jauh dari rumah Hevalino rela kerja paruh waktu di sebuah cafe dari pukul enam sore sampai pukul sepuluh malam. Pun ia bersedia mengurus seseorang yang mau tinggal satu kamar kos dengannya dengan bayaran tentunya. Hanya agar ia tidak lagi mempergunakan uang yang selalu di puja-puja oleh kedua orang tuanya itu yang sebenarnya selalu tepat waktu masuk di rekeningnya. Namun Hevalino benar-benar enggan mempergunakannya sama sekali.
Sosok Hevalino yang terlahir sebagai anak tunggal itu tak dapatkan privilege anak satu-satunya yang paling di sayang meskipun jelas ia dapatkan materi yang berkecukupan. Hevalino harus berkerja keras untuk temukan rasa bahagianya sendiri. Yang mungkin akan segera ia dapatkan usai pertemuannya dengan sosok Shankara.
Semalam selain tak dapat beristirahat dengan tenang Hevalino bahkan melupakan tugas sekolahnya yang seharusnya ia kumpulkan hari ini. Sebenarnya semalam masih sempat ia kerjakan namun hanya seperempat bagian saja sisanya ia biarkan mangkrak begitu saja. Untungnya guru mapel yang memberikan tugas tersebut berhalangan hadir. Jadi ia tak sampai terima hukuman tadi.
Namun jelas saja ia langsung dapatkan tatapan menyelidik penuh keheranan dari Gino, rekan satu bangkunya. Sebab baru kali ini Hevalino melalaikan tugas sekolahnya. Sungguh fenomena yang sangat langka sekali.
Pada saat jam istirahat berlangsung hari ini Hevalino lagi-lagi berharap bisa bertemu dengan Shankara secara sengaja tidak sengaja asal ada sekelebatan mata sosoknya sungguh tak apa baginya. Namun sayang sebab ia lagi-lagi hanya mengandalkan kerja semesta maka ia harus terima kenyata nya yang tetap beri hasil nihil.
Hevalino tetap saja gagal bertemu dengan Shankara. Sebab ternyata selama ini Shankara lebih sering makan di warung belakang sekolah dibanding kantin. Dan pertemuannya dengan Arelion kemarin yang hendak menuju kantin itu karena Arelion tidak punya teman yang di kenalnya selain Shankara yang biasa makan siang di warung.
Maka pupus sudahlah angannya melihat taring runcing sang empu yang menarik perhatiannya itu.
Tak apa Hevalino, masih ada janji temu yang pasti kan Shankara tepati nanti. Begitu ucap Hevalino pada dirinya sendiri seraya menanti suara bel penanda waktu jam sekolah telah berakhir.
“Gue duluan” Pamit Gino yang hanya dapatkan anggukan kepala dari Hevalino.
Havalino masih tetap diam di tempatnya. Walupun sebenarnya ia sudah selesai berkemas dan bisa langsung beranjak pulang. Ia masih duduk di bangkunya dengan kondisi yang tidak baik-baik saja saat ini.
Selain mengantuk karena tidak tidur dengan cukup semalam Hevalino kini juga sedang merasakan mual juga pusing. Tubuhnya berkeringat dingin. Nafasnya memburu. Bahkan kedua tangannya yang ia genggam erat itu bergetar kuat. Dan detak jantungnya terus berdetak cepat dan kencang. Untung hari ini ia sudah ijin tidak datang ke tempat kerjanya.
“Kak hee?” Hevalino spontan mengangkat kepalanya. Dan senyuman hangat Shankara pun langsung memanjakan netranya.
“Aku tunggu di gerbang dari tadi. Soalnya gak ketemu-ketemu jadi aku tanya sama bang Gino. Katanya kakak masih di kelas mangkanya aku samperin ke sini” Havalino tetap terpaku di tempatnya. Dengan kepala yang mendongak. Netra bambi nya kini bahkan kembali bergetar seperti saat tatapan keduanya saling bertemu untuk kali pertama kemarin.
Detak jantung Hevalino semakin tak karuan menyentak-nyentak di dadanya seolah hendak patahan rusuk-susuknya. Sebab kali ini sosok Shankara benar-benar ada di hadapannya. Berbicara kepadanya. Dan memaku seluruh atensinya hanya untuk Hevalino seorang.
“Kak hee? Kakak baik-baik aja kan?”
“Ya baik kok” Dengan sedikit gugup Hevalino bangkit dari kursinya. Lantas mendahului Shankara berjalan ke luar kelasnya.
Havalino berjalan dengan perlahan menyusuri lorong-lorong kelas dengan Shankara yang turut berjalan di belakangnya. Tidak ada percakapan apapun di sana. Hevalino yang memang aslinya pendiam baru kali ini merasa tak nyaman dilingkupi kesunyian tanpa adanya obrolan. Ia bahkan mendadak merasa sangat canggung sekali. Sedangkan Shankara ia masih terus tersenyum hangat seraya mengikuti langkah kecil Hevalino yang menuju gerbang.
Di jarak tiga meter saat hampir mencapai gerbang sekolah Shankara berlari mendekat ke arah Hevalino dan berbisik lembut di samping telinga kirinya. Ia berkata bahwasanya motornya ada di pos satpam. Hevalino terdiam kaku usai menghentikan langkahnya tanpa mau menoleh ke arah Shankara yang telah berlari menjauh.
Lewat ekor matanya Hevalino bisa melihat betapa akrabnya sosok Shankara yang tengah berbincang-bincang dengan satpam sekolah mereka yang berjumlah tiga orang tersebut. Hevalino mungkin tidak mengenal mereka dengan baik tapi yang ia tau namanya, ada pak Sugeng yang menjadi saksi pertemuan pertama mereka dan ada pak Hadi juga pak Sarif.
“Ayo kak naik” Ujar Shankara yang sudah menunggangi kuda besi hitam jagoannya itu. Beruntungnya pagi tadi sudah bisa ia ambil dari bengkel jadi tak perlu ia menebalkan muka membonceng Hevalino dengan motor dinas Ibunya.
“Kosan aku deket kok” Ujar Hevalino tergugup jelas bahkan ia menggunakan panggilan / aku-kamu pada Shankara tanpa ia sadari.
“Naik atau aku naikin nih?” Diancam kalimat ambigu seperti itu oleh Shankara mau tidak mau Hevalino langsung duduk di jok motor Shankara. Masih dengan tergugup bahkan tanpa sadar kedua tangannya melakukan tingkah dan kemauan sendiri. Kemarin mungil Hevalino berpegangan kuat di kedua sisi pinggang Shankara.
Selama perjalanan menuju kosan Hevalino, Shankara tiada daya pun upaya untuk melunturkan senyumannya. Sebab dari spion kirinya yang telah ia atur agar bisa mengarah ke wajah Hevalino ia bisa melihat dengan jelas jika sang empu tampak tengah tergugup luar biasa di boncengannya.
Shankara merasa gila sekarang hanya karena sosok Hevalino.
Sesampainya di kosan yang di huni Hevalino, sang empu langsung mengarahkan Shankara untuk memarkirkan kendaraannya di dalam saja di parkiran yang memang disediakan untuk penghuni kos. Sebab memang tidak ada lahan parkir di depan.
Kosan yang dihuni Hevalino bangunannya sudah modern namun masih tetap terlihat sederhana. Gradasi warna pada tiang dan tembok juga daun pintu dan kusen jendelanya tidak terlalu mencolok. Furniture yang mengisi ruangan juga tidak terlalu superior. Tapi yang terpenting tempat itu sangat bersih.
Ada tiga kamar di lantai bawah. Ada dua ruangan untuk ruang tamu dan dapur bersama sisanya 1 tempat untuk memarkir kendaraan. Sedang di lantai dua ada tiga kamar serta balkon panjang.
Kondisi kosan itu sangat sepi. Sebab dari penjelasan Hevalino sebelumnya, penghuni kosan itu mayoritas sudah bekerja dan kuliah karenanya di jam-jam pulang sekolah seperti ini terasa sangat sepi.
Kamar Hevalino terletak di lantai dua. Diantara tiga kamar yang ada di sana kamar Hevalino berada di sisi pojok kiri tepat di sebelah tangga. Ruangan itu cukup luas bagi Shankara pribadi. Ukurannya sekitar enam kali empat meter persegi dengan fasilitas kamar mandi dalam juga AC. Ada satu meja belajar dan lemari kayu yang lumayan besar yang cukup untuk menyimpan baju dua orang. Namun kasur nya tidak memiliki ranjang hanya bedcover tebal berukuran queen size yang menapak lantai dengan alas karpet.
Meskipun masih penuh rasa kecanggungan Hevalino tetep berusaha untuk menjelaskan secara detail tentang kosan itu pada Shankara termasuk cara pembayarannya serta peraturan yang ada di sana.
Dari canggungnya Hevalino bahkan menjelaskannya sambil terus menundukkan. Tak sekalipun ia berani mengangkat wajahnya untuk menatap Shankara meskipun ibarat kata cuma sekilas dan curi-curi pandang.
Shankara sendiri memang tidak mau duduk di atas kasur dengan Hevalino meskipun sudah di paksa. Jadi ia kini duduk bersila di atas lantai sembari terus memperhatikan setiap pergerakan Hevalino dan dengan penuh perhatian ia juga terus mendengarkan hal apapun yang dituturkan oleh yang lebih tua itu.
Hevalino yang memberikan penjelasan dengan pergerakan kecil yang canggung terlihat semakin menggemaskan di mata Shankara tak ayal hingga membuat nya terus menggigit bilah bibir bagian nya menahan rasa gemas.
“Jadi gimana?” Tanya Shankara pada Hevalino. Saat sang empu usai menjelaskan segalanya dengan detail.
“Apanya?” Hevalino jelas kebingungan. Ia yang menjelaskan tapi kenapa Shankara yang meminta jawaban.
Dengan nafas yang mulai memberat Shankara perlahan mendekat ke arah Hevalino yang duduk nyaman di atas kasurnya dengan kaki yang menapak lantai.
Shankara berhenti di antara kedua kaki Hevalino. Tangannya ia letakkan dengan mudah di antara tubuh yang lebih tua. Dengan posisi kepalanya yang mendongak tinggi untuk menatap wajah sang empu yang semakin gamang namun juga menggemaskan itu.
“Bibir kakak cantik banget. Aku gak tahan liatnya. Pengen aku kecup. Aku lumat. Terus aku sesap kuat sampe bengkak. Eshhh aku gak tahan kak serius deh” Netra bambi Hevalino semakin terbuka lebar hingga membulat sempurna.
“Jadi gimana kak, boleh gak?” Shankara kembali bertanya dengan netranya yang kini dipenuhi rasa ingin sesuatu. Diiringi deru nafasnya yang kian memburu.
“Kak hee …” Tangan kiri Shankara dengan berani terangkat naik guna menyentuh pinggang kanan Hevalino dan mulai mengusap-usapnya dengan seduktif. Sedangkan tangan kanannya mencoba membelai pipi gembil Hevalino. “Ya kak boleh ya …” Ujarnya dengan suara beratnya yang semakin serak. Jari jempolnya bahkan kini mulai bergerak untuk mengusap-usap bilah bibir bagian bawah Hevalino yang tampak begitu cantik “Boleh ya, aku cium kakak?”
Tubuh Hevalino benar-benar kaku sekarang. Detak jantungnya kian bertalu-talu dengan kencang bahkan ia yakin Shankara dapat mendengarnya dengan jelas. Nafasnya ikut serta semakin memburu dan berderu kian tak beraturan saat netra sayu Shankara memenjarakan kewarasannya. Hingga kata hendak berlari rasanya sia-sia saja.
Pada hasrat yang kian mengalahkan logika. Jika keduanya sama-sama lelaki dan hal yang Shankara pinta itu sebenarnya bukanlah hal yang bisa di benarkan dari segala sisi manapun. Namun Hevalino yang sejak bertemu dengan Shankara itu sudah jelas-jelas jatuh hati tapi ia terlalu denial untuk mengakuinya hanya karena gender keduanya yang sama. Pada akhirnya Hevalino menyerah pada logikanya.
“I will kiss you so well” Bisik Shankara usai Hevalino menganggukkan kepalanya dengan ringan. Tanda jika dirinya telah memberikan persetujuan.
“Eng-hhh” Hevalino kelepasan melenguh saat pinggangnya Shankara remas. Sedang sang pelaku malah tersenyum kecil pada jarak wajah mereka yang semakin menipisnya.
“Shhh Shan!” Hevalino melayangkan protes saat tangan Shankara menarik seragamnya sampai keluar dari lipatan celananya. Kemudian telapak tangan besar Shankara itu pun langsung masuk untuk mengusap dan meremas pinggang ringkih Hevalino secara langsung yang hadirkan rasa geli namun begitu Hevalino sukai.
“Eshhh aku gak tahan kak ...” Tangan kanan Shankara yang sebelumnya membelai pipi Hevalino kini berpindah ke tengkuk sang empu. Lalu dengan cara yang lembut ia menariknya agar sang empu lebih menunduk sebab posisinya kini berada lebih rendah dari Hevalino.
“Emp-hhh!” Nafas hangat keduanya saling bertemu dan membelai wajah masing-masing. Detak jantung keduanya bahkan kian bertalu-talu tak karuan temponya menyentak keras dan berantakan. Saat ranum keduanya kini sudah saling menempel dengan lekat.
Keduanya memejamkan netra mereka dengan erat. Tak ada pergerakan di awal kecupan itu. Hingga beberapa menit kemudian Shankara pun mulai melumat bilah bibir bagian bawah Hevalino dengan cara yang begitu lembut. Di kulumannya dengan hati-hati. Di sesapnya sepenuh hati. Lantas juga ia gigit-gigit kecil tiada maksud melukai. Kemudian bibirnya malai berpindah haluan ke bibir bagian atas Hevalino yang juga di perlakukan nya dengan cara yang sama lembutnya dari bagian bawah.
Hevalino tidak pernah berciuman dan tidak tahu juga caranya. Jadi ia hanya bisa diam saja. Kedua tangannya bertautan saling menggenggam erat di pangkuannya. Netranya terus terpejam erat seraya menikmati pergerakan bibir Shankara yang terus mengulum, melumat dan menyesap bilah bibirnya bagian atas dan bawah nya secara bergantian hingga berulang kali.
Shankara membuka matanya tanpa menghentikan kuluman bibirnya. Ia ingin melihat wajah lelaki yang buatnya hilang kewarasan itu. “Eung-hhh” Hevalino kembali melenguh saat tangan Shankara yang meremas pinggangnya kini mulai merambat ke arah belakang tubuhnya dan langsung meremas-remas pantat nya yang begitu mungil namun sialnya terasa sangat kenyal dan sangat pas di cengkraman telapak tangan besar Shankara.
“Eung-hhh” Hevalino terlalu terlena pada ciuman Shankara sampai ia hanya bisa diam berpasrah dan pilih menikmatinya saja.
Menit-menit waktu berlalu tubuh Hevalino kini mulai Shankara baringkan di atas kasurnya dengan tubuh Shankara yang kini ikut serta merebah namun hanya di sisi kanannya tidak mengukung atau menimpa nya. Siku tangan kanannya Shankara pergunakan untuk menjadi tumpuan. Sedang tangan kirinya mulai naik membelai pipi gembil Hevalino yang telah bersemu merah. Hevalino mendesah lirih. Terhanyut dan terombang-ambing permainan Shankara. Tangannya bahkan kini sudah lebih berani untuk mencengkram pakaian Shankara sebagai tempatnya menguatkan diri.
Bibir keduanya masih menempel. Meskipun hanya Shankara yang melakukan pergerakan. “Buka mulutnya kak ...” Perintah Shankara usai memberikan Hevalino kesempatan untuk mengais udara.
Usai merasa cukup mengisi ulang paru-parunya Hevalino pun menurut. Ia membuka mulutnya kecil namun sudah cukup untuk Shankara menelusupkan lidahnya.
Sorry di cut dulu ya hehe. Kalo rame lanjut sex narative ya (bkn pvt langsung link medium)
tapi nanti kalo AU ini udah tembus 100 like kkk see u …