Siang itu matahari tengah bersinar begitu teriknya. Para siswa yang usai berolahraga telah kembali hampir seluruhnya ke dalam kelas terkecuali dua pemuda yang menjalin kasih itu. Keduanya masih setia duduk berdampingan di bawah pohon rindang di pojok lapangan sepak bola seraya bercanda tawa.
“Boleh pinjam tangan kirinya?” Ujar yang lebih muda yang bahkan tanpa bantah kata langsung terima apa yang ia pinta dari yang lebih tua.
Kelopak mata yang lebih tua sebelumnya telah terpejam kini kembali terbuka. Kepalanya yang bersandar di bahu yang lebih muda langsung ia angkat. Bahkan kini ia telah duduk sempurna di tempatnya.
“Sunghoon …” Lirihnya gumam kan nama yang lebih muda seraya menatap tak percaya pada jemari tangan kiri nya yang mana tepat di jari manisnya telah melingkar sebuah cincin tanpa motif dengan dua permata yang jadi hiasannya di sana.
“Dua bulan lagi … lepas sekolah kita tunangan ya?” Ujar yang lebih muda seraya menatap yang lebih tua penuh cinta.
Yang lebih tua sunggingkan senyuman manisnya terlebih dahulu sebelum kemudian menganggukkan kepalanya antusias lantas timpakan tubuh mungilnya dalam dekapan yang lebih muda.
“Ayo …” Sahutnya seraya merengek lucu. Bukan rengekan kesedihan tapi kebahagiaan. Ia hanya tengah malu-malu sekarang. Tanpa di kira nya yang lebih muda yang telah bersamanya selama dua tahun itu nyatanya berniat mulia tuk mempertegas hubungan keduanya.
Siang itu keduanya menikmati detik waktu yang dipunya. Keduanya enggan pikirkan apapun yang semesta ini telah siapkan untuk keduanya di masa mendatang.
Termasuk pandangan publik untuk keduanya yang sesamanya namun menjalin cinta.
Mungkin tak apa bagi yang lebih muda tuk menjadi berbeda. Melangkah maju dengan penuh kepercayaan dirinya tuk berniat baik mengikrarkan kesungguhan bagi yang lebih tua.
Akan tetapi yang lebih muda tampaknya sedikit lupa jika di semesta ini yang lebih tua masih mempunyai kedua orang tua.
Hingga saat itu tiba dimana ia datang dengan segala kesungguhannya namun harus terima pandangan berbeda itu kembali, beserta cemoohan dan hinaan dari dua orang yang berperan penting di dalam hidup yang lebih tua.
“Pergi dan jangan pernah datang kembali!” Ucap sang kepala keluarga penuh emosi. “Heeseung akan ku kirimkan ke jepang. Jadi jangan harap kalian bisa kembali bersama”
Malam itu langit menderaikan air hujannya. Gemuruh lantang serta kilatannya pun ikut andil mengiringi langkah lesu yang lebih muda berpulang kembali ke kediamannya.
Semasa hidupnya usai ditinggalkan menjadi sebatang kara oleh kedua orang tuanya yang kembali ke pelukan Tuhannya, ia tidak pernah menangis lagi. Rasanya pantang sekali baginya, namun malam ini berbeda.
Sebab kini indah angan nya kan abadi di dalam buaiannya semata. Mimpi besarnya hanya kan menjadi sebatas impiannya belaka. Cintanya gagal di tengah jalan. Sebab restu tak ia dapatkan.
Malam itu yang lebih muda bertekad kala hatinya sedang patah berserakan. Dengan ikhlas hati ia kan pergi tinggalkan yang lebih tua, dengan lapangan dada kan ia terima jika perpisahan adalah akhir dari perjalanan keduanya yang sebenar-benarnya.
Bukan karena ia sakit hati sebab perkataan orang tua yang lebih tua. Bukan ia tak lagi cinta pada sang pujaan hati. Ia juga tak sedang berputus asa. Namun ucapan orang tua yang lebih tua ada benarnya juga baginya.
Heeseung adalah anak sulung mereka. Satu-satunya laki-laki di keluarganya. Ia lahir dan besar di dalam lingkungan keluarga yang baik dan juga terpandang.
Jika hubungan keduanya tak diterima oleh semesta yang lebih muda tak apa dapatkan cacian, makian, hinaan beserta segala sumpah serapah seluruh umat di muka bumi ini.
Namun pikirannya tak sependek itu, tuk bawa serta cintanya tanpa tolah-toleh ke arah sekitarnya menuju ke arah peliknya dunia lalu terima serta seluruh hujatan semesta dengan lapangan dada.
Jelas saja yang lebih muda sangat mencintai yang lebih tua. Karenanya ia memilih tuk melepaskan cintanya itu agar bisa terus melanjutkan hidupnya menjadi seorang manusia yang sempurna tanpa dirinya tuk ikut serta di sisinya.
“Kenapa?” Kepala yang lebih muda terangkat naik. Wajahnya yang kuyup sebab air matanya itu kini di guyur derasnya deraian air hujan.
“Kenapa?” Ujar yang lebih tua kembali mengulangi kata-katanya. Ia menangis di hadapan yang lebih muda sampai sesenggukan seraya meremas kedua telapak tangannya di samping tubuhnya.
“Kenapa Park Sunghoon!” Jeritannya begitu lantang. Tatapan netranya yang dibasahi air hujan serta air matanya terlihat begitu memilukan.
“Kita gak bisa sama-sama lagi” Tatapan tak percaya syarat akan kekecewa yang lebih tua lemparkan usai dengar ucapan yang lebih muda.
“Kita bisa lari. Kita bisa sama-sama lawan dunia. Aku juga mau berjuang buat kita!”
“Jangan relakan surga untukku ya?”
Malam itu tangisan yang lebih tua tak lagi ditenangkan oleh yang lebih muda. Tubuh ringkihnya yang kedinginan di bawah guyuran air hujan tak lagi dapatkan rengkuhan hangat dari tubuh kekar kekasihnya. Badai yang melanda hatinya tak dapatkan tenang dari intensitas keberadaan cintanya.
Malam itu keduanya berpisah, tanpa pelukan, tanpa ciuman, bahkan tanpa pamitan serta ucapan selamat tinggal.
Musim gugur telah datang kembali dan ini adalah kali ketujuh usai hari perpisahan itu terjadi.
Dalam kurun waktu itu yang lebih muda sebenarnya masih berdiri di tempatnya. Di tempat yang sama, mencintai yang lebih tua dengan segala ketulusannya serta dengan harapan yang begitu besar tuk dapat kembali bertemu lantas bersama yang dicintainya itu, walaupun hal itu hanya sanggup ia utarakan di dalam rapalan do’a-do’a nya saja. Entah pada Tuhan yang mana saja yang kan sudi tuk kabulkan permintaannya itu.
Namun kali ini, kala ia kembali di kediaman yang lebih tua nyatanya bukan untuk hal tersebut melainkan untuk hal lainnya.
“Selamat. Semoga kalian bahagia selalu dan … bisa segera mendapatkan momongan” Ujar yang lebih muda seraya menjabat tangan yang lebih tua.
Senyumannya terlihat sangat tulus. Ucapannya terdengar begitu tegas. Namun yang lebih tua dapat melihat keadaan yang lebih muda yang sebenarnya dari netranya yang kini diselimuti embun yang begitu tipis.
Tinggi yang lebih muda telah melebihi yang lebih tua. Wajahnya berubah total menjadi lebih dewasa dan semakin tampan. Dari baju setelah formal yang ia kenakan yang mana memiliki citra mewah dari branded terkenal yang tersematkan, nampaknya yang lebih muda telah berjaya di kehidupannya saat ini.
Yang lebih tua jelas ikut serta berbahagia jika memang yang lebih muda hidup dengan baik dan tumbuh menjadi pria dewasa yang tentunya akan diidam-idamkan seluruh wanita.
Ah … memikirkan hal itu malah membuat sudut hati yang lebih tua serasa ditikam belati.
“Aku pergi” Pamit yang lebih muda seraya tersenyum hangat.
“Apa kau hidup dengan baik tanpa ku? Apa kau sudah bisa tidur lebih awal? Apa kau istirahat yang cukup? Apa kau … bahagia?” Pertanyaan itu nyatanya hanya dapat mengambang di angan-ingin yang lebih tua. Sebab bibirnya tetap bungkam seolah lupa caranya berbicara.
“Sunghoon!” Di ujung gerbang rumah mewah itu. Saat yang lebih muda hendak benar-benar melangkah pergi dari rumah yang lebih tua. Suara merdu yang selalu ia rindukan itu terdengar memanggilnya saat ini. Jadi mau tak mau ia harus berbalik badan untuk …
“Aku rindu …” Dengan hati yang kian semakin hancur lebur itu ia terima tubuh yang lebih tua yang masih begitu mungil itu dalam rengkuhannya.
Dengan ragu ia dekap dan ia balas pelukan sang empu. Dengan gerak netranya yang kini bertemu tatap dengan netra kelam sang ayah dari yang lebih tua yang menatapnya penuh celaan.
“Hemmm aku juga merindukanmu …” Isakan yang lebih tua itu pun mengudara setelah mendengarnya.
Tujuh tahun nyatanya bukan waktu yang cukup bagi keduanya untuk sembuh lantas saling melupakan lalu terima kenyataan yang sebenarnya, bahwa cinta keduanya tak dapat diterima semesta.
Namun apa mau di kata? Hati memang enggan bersuara namun luka-luka keduanya jelas kan tetap terlihat menganga.
“Berbahagialah ... Istrimu cantik, kalian akan punya keluarga yang sempurna” Ujar yang lebih muda hingga buat tangisan yang lebih tua semakin pecah.
“Diam!” Ujar yang lebih tua seraya merengek kesal.
“Tidak pernah ada kerelaanku, melihatmu bersama orang lain. Dapatkan bahagia yang tak bersamaku. Namun semesta ini bukan tempat kita. Jadi dengan terpaksa ku relakan saja dirimu untuk berbahagia tanpaku. Maaf …”
Tangisan yang lebih tua terhenti. Dengan wajah yang penuh derai air mata ia menatap yang lebih muda. Lantas tanpa aba-aba ia langsung satukan ranum keduanya sebelum kemudian ia mendorong tubuh yang lebih muda sampai suara sorakan seluruh tamu serta sanak-saudara yang lebih tua mengudara begitu lantangnya.
“Maaf …” Ucapan lirih yang lebih tua seraya berusaha keras tuk merangkak mendekati tubuh yang lebih muda yang telah terkapar mengenaskan di sisi jalan.
“Kenapa?” Kali ini kalimat tanya itu keluar dari bilah bibir yang lebih muda dengan lirih dan bergetar sebab tubuhnya kini terasa begitu remuk.
Tubuh yang lebih tua yang sama mengenaskannya itu sampai di tempat tujuannya. Lantas ia jatuhkan tubuhnya itu di atas tubuh yang lebih muda. Seraya berusaha keras bertahan di sisa waktu yang ia punya susah payah ia peluk tubuh yang lebih muda begitu eratnya.
“Aku mencintaimu. Dan hanya ingin bersamamu sampai mati. Maaf memilih jalan ini” Seraya terbatuk-batuk darah yang lebih tua berusaha berbicara.
Yang lebih muda coba gerakan kedua tangannya untuk merengkuh tubuh yang lebih tua yang menimpa tubuhnya kini.
“Aku juga mencintaimu. Terimakasih telah mengambil langkah yang tak pernah berani ku ambil ini …”
“Sunghoon … ayo bertemu lagi di semesta yang sudikan kita tuk saling memiliki …”
“Tentu Heeseung …”
Sore itu, tepatnya di musim gugur ketujuh usai perpisahan mereka. Keduanya saling mendekap tubuh satu sama lain. Walaupun nyaris hancur namun hati keduanya kembali utuh.
Netra keduanya yang saling menyimpan lara dan kerinduan kini terpejam begitu ringan seolah tak ada lagi beban yang keduanya tanggung. Bibir keduanya yang berbalut darah saling sunggingkan senyuman kebahagiaan. Detak jantung keduanya yang saling berdetak untuk satu sama lain perlahan melambat sampai benar-benar berhenti berdetak. Lantas deru nafas hangat keduanya pun tak lagi mengudara di detik waktu yang bersamaan.
Seluruh umat manusia yang ada di semesta ini jelas saja kan mencela mereka. Namun keduanya tak lagi peduli. Selama keduanya dapat saling memiliki dari hidup bahkan sampai mati.