Bangunan besar dan megah tempat menimba ilmu tingkat akhir itu telah sepi sepenuhnya, padahal lonceng pertanda usainya pembelajaran baru menggema lima belas menit lalu.
Sang jelita yang tengah penuh dan kacau balau pikirannya lebih memilih tuk pulang terlambat hari ini, padahal jadwal Organisasi Siswa Intra Sekolah yang diketuainya itu pun tengah kosong tak miliki agenda rapat apapun.
Masa bodo nanti, dengan pidato panjang kali lebar dari sang Ibunda, peduli setan juga, jika sapaan penuh kasih sayang dari ikat pinggang berbahan kulit asli sang Ayah kembali membelai tubuh ringkihnya, satu yang ia butuhkan saat ini, tenang, sebuah ketenangan saja, walaupun sesaat pun tak apa.
Dengan langkah yang sedikit gontai dan tertatih-tatih, seolah telah kehilangan seluruh dayanya usai bertempur melawan kekejaman semesta seorang diri, perlahan dan juga tak pasti sang jelita memaksakan sepasang tungkai rusanya yang begitu ringkih itu tuk berjuang setengah mati, padahal perjuangannya kali ini hanya untuk sekedar meniti anak tangga, ke arah salah satu rooftop tertinggi di antara bangunan sekolahnya yang lainnya.
Kala pintu kayu penuh ukiran dengan model kupu tarung itu berhasil ia buka, secercah senyuman kecil pun sempat bersinggah sejenak di ranumnya, walaupun tak lama setelahnya langsung menguap begitu saja, hilang kemana dan entah mengapa.
Kosong, bukan hanya areanya, melainkan tatapan netra bambinya juga tak miliki arah pandangan yang berarti, bahkan sorotannya pun tampak layu, binarnya pun tak secercah pun tampak bersolek.
Hening, selain dersik angin yang tengah berusaha menembang semerdu mungkin, tak ada gema satu oktaf suara apapun lagi yang mengisi rungunya.
Seraya menghela nafas panjang penuh keputusasaan, sepasang tungkai rusanya yang ringkih itu kembali ia bawa bergerilya, menjelajah lebih jauh lagi di area yang kini ditapakinya seorang diri.
Setelah melonggarkan cekikan kuat dari belenggu dasi sekolahnya dan tanggalkan jas almamater kebanggaannya yang lantas ia campakkan asal ke arah salah satu sofa lusuh yang entah sejak kapan dan bagaimana bisa ada disana, ia melangkah semakin menepi mencoba mendekati pagar pembatas setinggi dadanya, mengijinkan hembusan angin tuk membelai wajahnya dengan jenaka.
Sejenak ia kan coba tuk lupakan posisinya sebagai seorang siswa tauladan, lengkap dengan jabatannya sebagai seorang ketua OSIS yang bijaksana, juga nama baiknya sebagai siswa paling berprestasi, serta citra agungnya sebagai anak dari kalangan atas tanpa kenakalan remaja apapun.
Sore itu di kekosongan lahan luas nan tinggi, tanpa satupun insan manusia di jarak jangkauannya, sang jelita tengah bersiasat hendak mencoba hal baru yang mungkin dapat tenangkan gundah gulana hatinya serta carut-marut pikirannya,
Walaupun ganjaran yang kan diterimanya, jika ada yang melihat aksinya, sampai harus berurusan dengan pihak sekolah dan berakhir dengan disidang oleh kedua orangtuanya,
Maka cambukan karas dari sabuk kulit asli milik sang Ayah yang begitu menyakitkan lagi-lagi kan ia rasakan, ataupun kesan-kesan panjang dari sang Ibunda yang selalu memujinya sebagai anak yang gagal, katanya, kata mereka yang bahkan rasa-rasanya tak pernah hadir tuk mengisi peran sebagai sosok orang tua, selama sembilan belas tahun sang jelita hidup di semesta yang kejam ini.
Setelah bersusah payah, dengan tangannya yang terus bergetar hebat dan basah kuyup karena keringat pada telapak tangannya, akhirnya sang jelita berhasil mengeluarkan benda tak layak bagi seorang pelajar dari saku celananya.
Jemari lentiknya lantas dengan lincah langsung membuka segel plastik dari benda berbentuk persegi panjang tersebut seolah telah terbiasa melakukannya.
Keraguan itu ada, pasti, ketakutan juga, namun bagi dirinya yang tak percaya pada umat manusia tuk diajaknya bercengkrama, bertukar pikiran ataupun mengadukan sedikit saja sisa bekas lukanya ataupun luka lara barunya, dengan gegabah ia hendak coba tiru jalan keliru, dari alasan para siswa badung yang sering berakhir digiringnya ke ruang konseling setiap harinya.
Perlahan namun tak juga pasti, pada akhirnya bibirnya yang begitu mungil nan ranum itu pun mulai mencumbui pangkal gabus dari lintingan daun tembakau yang di pres mesin dengan begitu rapih bahkan sampai terlinting kecil. Lantas sebuah pemantik api yang juga baru kali ini dimilikinya langsung ia nyalakan, agar kepulan asap dapat ia hirup segera dari daksa sang nikotin yang terbakar bara.
Entahlah dari sisi mananya itu, kata para siswa badung benda tersebut dapat tenangkan pikiran mereka.
Walaupun kesan pertama sang jelita rasa tak nyaman, entah karena tak terbiasa ataupun ia yang terlalu tertinggal jaman dan kurang bergaul, asap yang coba ia sesap saat ini malah berakhir membuatnya terbatuk sampai berlinang air mata.
Namun ia jelas tak kan menyerah begitu saja, ia masih begitu gigih coba sesapan keduanya, sebab ia benar-benar putus asa tuk cari cara ampuh yang mampu tenangkan pikirannya, atas kegagalannya yang kesekian kalinya tuk masuk kualifikasi olimpiade tingkat Nasional.
TAK!
Belum sempat ia kembali menyesap batang nikotinnya untuk kali kedua, sepasang netra rusanya langsung merekah sempurna, saat seseorang dengan lancang menekan pangkal gabus dari batang nikotinnya, hingga hasilkan suara.
Tak mau gegabah, tunjukkan reaksi keterkejutannya secara nyata, sang jelita coba sesap batang nikotinnya sekali lagi, namun kali ini rasanya berbeda, jadi lebih mudah dan juga ringan, bahkan sensasi dingin terasa menginvasi mulutnya.
Setelah melepaskan hembusan asap keduanya, perlahan sang jelita membalikkan tubuhnya untuk menghadap ke arah insan yang entah sejak kapan telah berdiri di belakangnya tersebut.
“Ketua OSIS, belajar ngerokok, disekolah, masih pakai seragam”
Walaupun air muka sangwira tampak menyebalkan kini, namun dilihat dari caranya selama ini bersikap, Prasatya, siswa itu bukanlah tipe orang yang pengadu, atas tindakan-tindakan buruk siswa lainnya, jadi sang jelita tak sepenuhnya gundah.
Siswa berbadan kekar namun berkulit seputih susu itu adalah salah satu dari sekian anak bandung yang sering berkencan dengannya, maksudnya terlibat konflik dengan segala macam kenakalan remaja yang tengah diukirnya sebagai sejarah di masa-masa SMA-nya.
“Satya …”
Ragu, sang jelita tak pernah bertegur sapa dengan sangwira, selain karena mengurus kasus-kasus kenakalannya semata, namun bolehkah sang jelita berharap, tuk meminta pertolongannya? Sungguh ia benar-benar putus asa saat ini.
“Kenapa, mau diajarin caranya ngerokok?”
Sangwira bertanya seraya tersenyum kecil pada sang jelita, namun senyumannya itu bukanlah sebuah penghinaan ataupun celaan, sang jelita cukup pandai membaca ekspresi wajah seseorang, dan saat ini menurut terkaannya sangwira tengah benar-benar tersenyum hangat kepadanya.
Setelah anggukan kepala pasti dengan air muka yang kontras begitu menyedihkan sang jelita berikan, sangwira lantas berlalu menuju sofa lusuh yang ada disana, ia terdengar menghela nafas dengan keras, sebelum kemudian mengeluarkan sebungkus rokok yang tampak berbeda dengan milik sang jelita.
“Pinter sih, milih rokok click” Rokok yang yang sang jelita beli diam-diam tadi, saat jam istirahat sekolah tadi.
“Ringan itu buat pemula” Sangwira terkekeh ringan seraya memantik batang nikotinnya yang terlihat dua kali lebih besar dari lintingan rokok sang jelita.
“Harusnya sebelum di nyalain tadi, tengah-tengah gabusnya di pencet, sampai bunyi, baru deh nyalain apinya. Biar lebih ringan dan ada sensasi mentolnya”
Sang jelita menganggukkan kepalanya paham, pantas saja sangwira tadi langsung menekan batang nikotinnya sampai berbunyi, tapi apakah itu berarti sangwira sudah ada disana saat ia belum menyalakannya?
“Sini, duduk sini gue ajarin caranya ngerokok”
Sinting! Bukannya sang jelita tidak tertarik dengan tawarannya, akan tapi arah telapak tangan sangwira yang tengah menepuk-nepuk pahanya lah yang sang jelita permasalahkan.
“Nurut aja sini. Gue bakal bungkam kok, gue ajarin juga sampai bisa”
“Tapi gak dengan imbalan lo bisa ngelecehin gue juga, ya!”
“Ada gue bilang minta kesempatan buat ngelecehin lo, emang?”
“Terus maksud lo apaan, tepuk-tepukkin paha lo begitu?”
“Pangku doang, Mahesa, lo mikirnya sampe kemana aja emang, heum?”
“Lagian gak etis banget, cowo sama cowo pangku-pangkuan juga”
Sangwira sontak tergeletak tawa dengan jumawa seraya menjentikkan batang nikotinnya dengan lihai, sampai sang jelita pun tersadar bahwasanya batang nikotin yang berada di antara sela-sela jemarinya telah hampir tandas kini, jadi langsung ia jatuhkan ke lantai kemudian ia injak sampai benar-benar padam baranya.
“Buat yang terakhir kalinya, sini, duduk sini, gue ajarin”
“Jangan macem-macem tapi!”
“Ya enggak lah, sekalipun gue suka gaya sex yang liar ya gak di publik juga tau”
“Sinting!”
Walaupun bibirnya mencela, namun sang jelita pada akhirnya duduk dipangkuan sangwira juga, dengan posisi menyamping.
“Coba nyalain lagi rokok lo” Perintah sangwira, seraya singgahkan telapak tangan besarnya di punggung sang jelita, mengusap-usapnya lembut tuk coba berikan afeksi penenang agar sang jelita lebih rileks di pangkuannya.
“Tunggu dulu, itu kenapa rokok lo gak di pencet dulu tadi?” Sang jelita menatap sangwira dengan tatapan bertanya dan berbinar penasaran, hingga sangwira semakin gemas melihat tingkah keluguan sang jelita kala tengah ingin mengetahui tentang sesuatu.
“Beda, gak semua rokok ada click-nya” Sahutnya, lantas menyesap batang nikotinnya yang tak luput dari pandangan sang jelita pastinya.
“Emm … gitu ya? Kirain cuma ada dua macam aja, filter sama kretek”
“Lo tau dari mana itu?” Saat jari telunjuknya menjentikkan badan dari nikotinnya sampai bagian yang telah terbakar jatuh, sang jelita begitu minat memperhatikannya, ia terkagum seolah pergerakan tadi adalah sebuah atraksi yang menarik.
“Kemarin gue kan searching dulu, katanya ada rokok kretek sama filter, yang kretek lintingan aja kalo filter ada gabusnya, gitu katanya. Baru tau ada jenis yang kaya gini, ini aja belinya gara-gara liat orang-orang di cafe Ayah”
“Pinternya, tau itu aja udah bagus kok” Puji sangwira lengkap dengan belaian lembut di kepala sang jelita. “Yaudah nyalain lagi gih”
Sang jelita menurut, ia kembali mengeluarkan satu batang nikotinnya, kemudian berusaha keras hanya untuk menekan gabusnya, namun nihil tak ada suara apapun yang mengudara.
“Gini caranya” Tubuh sang jelita direngkuhnya, sampai posisi punggungnya bersandar sepenuhnya di dada bidangnya.
“Biasanya ada disini, di ujung batas gabus sama tembakaunya, kalo dipencet kerasa keras kok” Tuturnya seraya menggenggam tangan mungil sang jelita yang ia arahkan dengan benar, agar jari telunjuk dan ibu jarinya menekan sesuatu disana.
“Kok susah banget sih!”
Sangwira terkekeh geli, melihat sang jelita kesusahan hanya untuk menekan click rokoknya sendiri, lantas langsung ia lingkupi kembali jemari mungil sang jelita dengan jemarinya, kemudian ia bantu menekannya sampai akhirnya bunyi yang dinantikan sang jelita menggema juga.
TAK!
“Susah ternyata” Eluhnya seraya mengerucutkan bibirnya, mengemaskan.
“Tangan lo aja yang gak pernah kerja kasar, mangkanya kulitnya masih bayi banget”
“Istilah dari mana itu! Gue cuci baju sendiri kok, nyapu kamar sendiri, ngepel juga gue kerjain sendiri, gak kerja kasar tuh maksudnya gimana?”
“Iyain deh biar gak ngembek. Gue emang punya permen tapi gak yakin manis soalnya” Kelakar jenakanya.
“Apaan sih!”
Kesal, sang jelita pun semakin mengerucutkan bibirnya, untung saja sangwira tidak betulan sinting, kalau iya, sudah ia lumat rakus ranum mungilnya yang menggoda itu.
Setelah kembali fokus pada batang nikotin keduanya itu, sang jelita lekas menyalakan pemantiknya, kemudian ia hirup asapnya kala batang nikotinnya telah terbakar bara.
“Itu … lo ngerokok apa kumur-kumur sih?”
“Jangan ngeledek! Ajarin aja kenapa sih!”
“Iya - iya udah jangan banyak gerak udah, gue udah seminggu gak coIi, kalo kontoI gue ngambek terus minta belaian emang lo mau bantu ngocokin — Aduh! Sakit, jangan jitak jakun juga”
“Jangan bertingkah mangkanya, mulutnya itu dijaga aishhh! Mau ngajarin gak nih, nanti keburu abis lagi ini belum di apa-apain”
“Oke-Oke. Diem ya, iya gue ajarin ini”
Sangwira singgahkan salah satu lengannya tuk menyambuk posesif di pinggang ringkih sang jelita, kemudian ia tuntaskan sesapan terakhirnya pada batang nikotinnya sebelum kemudian ia gesekan sisa baranya di lantai sampai padam.
“Masukin pangkalnya di sela-sela bibir lo”
“Prasatya!”
“Apa lagi, Mahesa?”
“Kosa kata lo gak ada yang ramah lingkungan apa?”
“Salahnya dimana?”
“Bahasa lo terlalu vulgar itu! Kaya yang mau ngapain aja gitu!”
“Lah, lah? Kan emang harus lo hisap ujungnya? Emang ada kata ganti yang lebih ramah lagi?”
“Ah gak tau! Males banget gue dengernya! Kalo lo yang ngomong kedengaran mesum banget tau!”
“Udah sih nurut aja, jangan kemana-mana pikiran lo, gue belum jadi gay kok, gak tau bentar lagi”
“FUCK! GUE TERSINGGUNG YA DEMI APAPUN!”
“Baguslah kalo lo emang gay, gue nyusul tar, kalo lo udah jago ngisepnya”
“Dahlah, gue mau pulang!”
“Tanggung tau, nanti gue anterin, sekalian kasih alasan logis kenapa lo pulang terlambat sama orang tua lo”
“Dih, gak perlu!”
“Gue udah muak diem-diem aja, Saa, sekarang gue mau bertindak walaupun telat, seenggaknya gue masih bisa nyelametin lo”
Sang jelita tak paham kemana arah ucapan sangwira, namun dari nada sendunya sangwira sepertinya paham akan sesuatu hal tentang dirinya.
“Udah isep lagi dah itu, rokoknya”
“Lah! Gak gitu, Saa, caranya tuh kaya lo lagi nafas pake mulut. Lo hisap dulu terus hisap aja, kaya lagi ambil nafas sampe asepnya masuk ngelewatin tenggorokan dan masuk ke paru-paru lo, baru deh lo lepasin. Kaya lagi nafas pake mulut lah intinya”
“Uhuk-uhuk! Yang bener aja? Terus nanti paru-paru gue gimana?” Sang jelita terbatuk karena tersedak dengar penjelasan sangwira.
“Lo tuh pinter, Mahesa, serius. Ya jelas gak bakal baik-baik aja lah mangkanya di sini, nih liat nih di bungkus rokok lo aja udah gambarnya gini, ada himbauannya juga kan, merokok dapat menimbulkan, ini dibaca, anak pinter. Karena asap rokok bakal menginvasi mulut, tenggorokan dan paru-paru mangkanya jenis penyakit-penyakit kaya gini bakal timbul deh” Jelas sangwira seraya mentitah sang jelita tuk membaca peringatan yang tertera dibungkus rokoknya dan juga milik sangwira yang isinya sama saja.
“Gitu ya? Gak jadi deh kalo gitu” Ujarnya mulai kehilangan minat, ia takut mati muda karena penyakit berat yang tertera diperingatkan bungkus rokoknya.
“Lagian ngide banget lo mau ngerokok, heum?”
“Kemarin gue denger si Bryan ngasih keterangan di ruang konseling, katanya rokok tuh bisa nenangin pikiran dia, jadi … karena pikiran gue lagi penuh, ya gue coba-coba aja”
“Ck! Udah jangan lagi deh kalo gitu. Lagian nih ya, bukannya biasanya kalo lo lagi stress tuh pergi ke toko buku ya? Buat cari buku-buku cerita anak-anak? Terus lo beli buat lo kasih, sekaligus lo bacain di panti, Saturn’s Moon?”
Sang jelita tertegun mendengarnya, darimana asalnya sangwira bisa mengetahui kebiasaannya itu?
“Gue denger ceritanya dari Bunda Ina, gue juga sering ke panti itu, gue gak nguntit lo, gak usah takut”
Alasannya cukup masuk akal, tapi bagaimana mungkin sosok anak badung seperti sangwira tertarik dengan sebuah panti asuhan?
“Gue anak panti asuhan itu, sebelum gue di adopsi keluarga gue yang sekarang”
Informasi yang berlebihan untuk sang jelita terima, bagaimana mungkin sangwira semudah itu terbuka padanya yang sebenarnya masih asing baginya?
“Gue mau jadi temen ngobrol lo, mangkanya gue buka diri gue dulu, biar lo gak takut mau cerita sesuatu ke gue. Gue percaya kok, lo orang baik, mangkanya gue enteng aja ceritain ini” Sangwira terus menjelaskan walaupun sang jelita belum lontarkan tanya.
“Kenapa?” Sangwira mengambil alih rokok sang jelita lantas ia padamkan baranya, lagi-lagi batang rokok mahal itu habis terbakar tanpa sempat dinikmati.
“Jujur ... gue gak tau mau respon gimana”
Sangwira justru lagi-lagi tersenyum hangat, entah sudah yang keberapa kalinya hari ini.
“Jangan terlalu dipikirkan, jadi gimana nih sebelum gak nyentuh nikotin lagi mau coba sekali lagi gak?”
“Emmmm …iya deh boleh”
“Tapi hadap-hadapan dulu, sini”
“Gak! Ngapain sih?”
“Sekalian gue bantu redain stres lo” Ujarnya tampak meyakinkan.
“Serius lo bisa?”
“Iya, tapi lo harus diem ya. Waktu kita tinggal lima belas menit juga, sebelum satpam keliling dan check area ini”
“Okey …” Sahutnya ragu sebenarnya, namun manakala iming rayu akan redanya stresnya yang artinya ketenangan dapat sang jelita rasakan, mengapa tidak ia coba percayai saja sangwira kali ini?
Detik-detik waktu mulai meniti langkah maju, hapus perlahan-lahan sisa kesempatan yang mereka miliki tuk segera tuntaskan misi tak resmi itu.
Pada posisi yang telah saling berhadapan sepenuhnya tanpa adanya kosakata yang keduanya vokal kan, sang jelita berusaha menyamankan dirinya agar tak tampak tegang, walaupun kecanggungan posisi keduanya jelas hadirkan perasaan kaku tersebut. Bahkan saat kedua lengannya sangwira titah agar bersinggah kukuh di kedua sisi pundaknya sang jelita urung protes sebab tatapan lekat sangwira begitu mendominasinya, membuatnya merasa kecil dan tak bernyali.
Bersamaan dengan pinggangnya yang sangwira rengkuh, ranumnya pun kembali mencumbui gabus nikotin rokoknya, lantas saat tatapan netra keduanya saling mengunci, entah mengapa sangwira lebih dulu menyalakan pemantiknya lantas membakar ujung nikotinnya.
“Inget, hisap, kaya lo kalo lagi nafas pake mulut ya?”
Setelah kedipan mata sang jelita buat, sangwira langsung menekan bagian penting dari badan rokok tersebut.
Perlahan namun pasti, tanpa lepaskan tatapan mereka, sang jelita praktekan ajaran sangwira, bahkan saat batang nikotinnya sangwira tarik, lantas dengan perlahan-lahan sang jelita pun coba hembuskan asap nikotin yang sempat singgahi rongga paru-parunya.
Senyuman puasa sangwira berikan, sang jelita begitu baik turuti titahnya, lantas ia arahkan kembali batang nikotin itu ke ranum sang jelita seraya berseru. “Hisap yang kuat” Niatnya agar sang jelita lebih banyak menghirup asapnya.
Sedetik setelah batang nikotin itu kembali tinggalkan ranum sang jelita, bersamaan dengan mulut sang jelita yang terbuka hendak hembuskan asap rokoknya, di detik itu pula sangwira mengambil langkahnya.
“Emhh!”
Ranum keduanya bertemu, lekat, intim, dan begitu mesrah?
Seolah paham akan titah sangwira lewat gerakan kelereng hitam netranya, sang jelita terus menghembuskan asap rokoknya, yang setengahnya terbawa angin dan sisanya telah berpindah ke dalam mulut sangwira sebelum kemudian sangwira lepaskan seluruhnya.
Beberapa kali momen itu terulang, sampai akhirnya batang nikotin itu akhirnya sangwira campakkan begitu saja di lantai, rengkuhan lengannya di pinggang sang jelita lantas ia eratkan, tangannya yang lain coba tarik tengkuk sang jelita agar posisinya semakin condong ke arahnya.
Tanpa izin lewat tutur kata, sangwira bertindak lebih berani, tanpa penolakan dari bahasa tubuh sang jelita pun keduanya jadi terlarut tuk menautkan ranum mereka lebih lama.
Seraya coba memejamkan matanya ringan, sang jelita semakin eratkan pelukan kedua lengannya di pundak sangwira, apalagi saat telapak tangan besar dan hangat sang empu mulai menelusup masuk kedalam kemeja putihnya, membelai langsung pinggang ringkihnya dengan lembut, serta belaian di tengkuknya pun terasa semakin mudah membuat tubuhnya merasa rileks.
Dalam kecamuk kacau balau pikirannya, yang begitu putus asa hanya tuk dapatkan tenangnya, sang jelita melenguh lirih, ranum atas dan bawahnya sangwira pagut dengan cara yang begitu menyenangkan. Lantas saat ranumnya mulai sedikit terbuka, lidah basah keduanya pun akhirnya bertemu sapa, saling membelai lembut sebelum kemudian saling membelit dengan jenaka.
Manis, pahit, dan sejuta rasa yang tak mampu dijabarkan oleh kata-kata keduanya bagi bersama, lewat intim lekat nan mesranya ranum keduanya yang sibuk bercumbu, saling melumat sesap tanpa perlu berebut dominasi, serta lemah gemulainya lidah keduanya yang saling membelit mesra, lantas berdansa penuh romansa tuk saling tukar saliva satu sama lain, sampai timbulkan suara-suara laknat namun mencandukan, yang begitu selaras dengan rasa nikmat yang lebih mendominasi dari pada keruhnya pikiran sang jelita.
Detak jantung keduanya yang bertalu-talu riuh jenaka saling bersahutan gema, seolah tengah bekerja sama tuk menyoraki kemenangan keduanya entah atas dasar apa, yang pasti keduanya kini begitu menikmati momen intim yang tercipta dengan khidmatnya.
Peduli setan, akan norma dan aturan yang ada, tentang dua anak adam yang tak seharusnya bersama, apalagi sampai menorehkan dosa, keduanya saling tanggalkan sejenak kewarasan mereka, lupakan beban duniawi yang begitu membelenggu agar pikiran buruk yang membelukar itu sukar singgah sementara waktu.
Semakin lama berlalu, suara kecapekan basah dari pagutan bibir keduanya pun semakin nyaring mengudara, hingga dersik angin tak lagi kesepian mengisi rungu.
Belaian penuh afeksi tak kasat mata, serta pagutan mesrah dari ranum dua adam yang sebetulnya asing itu pun semakin jauh mengambil melangkah, sampai udara di sekitar mereka mulai layangkan protes, sebab keduanya terlalu serakah berpagut sampai tak sempatkan diri tuk menghirupnya.
Namun tak lama setelahnya sang udara tak lagi menggerutu, kala dua insan itu saling memiringkan kepala mereka berlawanan arah secara bergantian, seraya terus berpagut bibir, udara pun coba keduanya ajak bergaul dalam rongga paru-paru keduanya agar tak rasakan sesak.
Saat rasa besi perlahan mulai keduanya sesap mau tak mau ciuman intim itu harus keduanya urai, dengan deru nafas memberat dan memburu, serta kelopak mata keduanya yang perlahan-lahan kembali merekah dan rona hitam di netra keduanya pun kembali bertemu tatap, lantas bergerak liar berkenalan mengamati bagaimana kacaunya ranum masing-masing yang sama-sama bengkak dan koyak.
“Mahesa ...” Sang jelita merasa sedikit aneh, suara serak dengan nada rendah sangwira yang terdengar penuh kasih untuknya kini, sangat kontras berbeda berbeda dari sebelumnya.
“Gue udah lama merhatiin lo, bahkan kayaknya tuh udah sejak hari pertama lo bawa gue ke ruang konseling, karena bolos di gudang deh”
Lebih tepatnya dua tahun lalu, saat sang jelita bahkan baru menjabat sebagai sekretaris dua di OSIS.
“Gue sering liat bekas luka lo juga, sejak hari itu”
Tak ada yang pernah menyadarinya selama ini, bahkan teman sebangkunya ataupun guru-guru yang paling dekat dengannya, lantas mengapa sangwira bisa sejeli itu?
“Gue bahkan tau, kalo lo gak pernah benar-benar tersenyum, lo dan topeng lo terlalu tipis, gue bisa liat semuanya”
Entah pengalaman seluas apa yang telah sangwira lalui, sampai diagnosis mandirinya kelewat failed.
“Gue gak pernah cari tau apapun tentang lo, tapi asumsi gue dari pengamatan sederhana gue, lo nih ibaratnya tuh kaya bunga Dahlia yang harus tumbuh di antara bunga Mawar. Lo berusaha keras buat tetap mekarin kelopak bunga lo supaya dilirik mata, walaupun lo tau hal itu gak bakal mudah, karena batang bunga Mawar di sekitar lo itu punya banyak duri, dan mereka selalu berhasil buat lo tercabik”
Sederhana, penjelasan sangwira tak perlu membuatnya berpikir panjang, perumpamaan nya bahkan tak perlu ia cari-cari maknanya, sang jelita paham, dan memang benar sepenuhnya perkataan sangwira itu.
Selama ini sang jelita berusaha keras untuk tetap terlihat baik-baik saja, juga sempurna, tanpa cacat celah dan kelemahan sedikitpun, agar orang tuanya tak perlu merasa kecewa, apalagi ganjaran atas kegagalannya adalah luka fisik dan mental yang kan terbentuk sedemikian rupa di jiwa, raga dan mentalnya.
Walaupun ingin menangis sekalipun sang jelita kan tetap memaksakan senyum serta tawanya.
Walaupun tengah sekarat saat berjuang keras untuk sebuah nilai sang jelita harus memaksakan dirinya tuk tetap berdiri tegap, seolah pantang menyerah.
Sang jelita memang bukanlah setangkai Mawar dengan segala keindahannya yang selaras dengan aroma harum semerbak mewanginya, yang juga bahkan pandai melindungi dirinya dengan duri-duri tajamnya — sang jelita berbeda, namun orang tuanya tidak pernah mau tahu, apapun yang terjadi keinginan mereka harus terpenuhi, padahal buah hati mereka itu bukanlah mawar yang indah dan pandai menarik perhatian serta pandai melindungi dirinya sendiri.
Sang jelita hanyalah setangkai Dahlia, cantik nan indah, namun tak beraroma sama sekali, sedangkan tangkainya kan menguarkan aroma tak sedap saat terluka, Dahlia juga bunga yang memiliki tangkai yang begitu rapuh bahkan tak miliki duri pelindung, dan begitu sulit dibiakkan, jika tidak sabar ia tak akan pernah berbunga — sang jelita harus melalui proses panjang, untuk dapatkan hal-hal sempurna, ia harus mengorbankan banyak waktu dan mentalnya, seharusnya orang tuanya mau bersabar, buah hati mereka butuh proses panjang jika mau setara dengan bunga-bunga lainnya (anak rekan kerja mereka).
Dahlia mungkin tak menarik bagi sebagian orang, sebab memiliki banyak kekurangan, namun karena hukum alam yang terus berlaku jadi ia harus berusaha keras untuk tetap mekar — sang jelita harus tetap terus memaksakan dirinya dalam hal apapun, hanya untuk diakui keberadaanya, ia juga tak boleh mengeluh, jadi harus pandai pasang topeng dimuka umum. Sebab semesta bekerja dengan kejamnya, ia tak mau beri toleransi akan adanya celah kecacatan sedikitpun.
“Jangan takut, jangan lagi-lagi bersedih, mulai hari ini, gue bakal ngelindungin lo dan bakal buat lo bahagia terus”
“Tapi … gue cacat” Dalam artian miliki banyak kekurangan.
“Gue juga berbeda” Tentang ketertarikannya pada pasangan.
“Kita juga gak bisa sama-sama” Hubungan dua anak adam jelas masih tabu.
“Mahesa …” Netra rusa sang jelita yang kian berselimut embun itu berusaha keras menatap sangwira.
“No matter what they say. I'll choose to love you anyway ‘cause you’re my Dahlia”