pshaconne
4 min readAug 31, 2024

tujuh belas ️️ ️️

️️Detik waktu dikala malam hendak temui larutnya, bumi ini malah terasa semakin mencengkam, cahaya sang rembulan meredup sebab kepulan awan mengkudeta seluruh singgasana langit, ribuan anak bintang meringkuk ketakutan sampai rasi bintang kacau balau, semesta berusaha bungkam walaupun dersik angin yang berdesir tiada lelah merengek pilu, bahkan sampai berjeritan.

Hiruk-pikuk kota tak terdengar berdenting ataupun pun mengusik rungu, namun karut-marut pikiran sangwira kini benar-benar ricuh.

“Sampai kapan kau mau memaksa ku tinggal disini Ravana? Aku mau pulang …”

Sang jelita merengek pilu seraya menangis tersedu-sedu, tanpa tau jikalau sang empunya nama kini berdiri di balik tubuhnya, yang tengah meringkuk seperti janin di atas ranjang.

“Aku mau pulang, aku rindu Ramajakanta, Ravana …”

Nama yang tak pernah ingin sangwira dengar itu selalu sang jelita sebutkan di tengah malam, kala ia tak sengaja terjaga dari tidur lelapnya.

“Aku tidak mau kalau anak ini tak tau siapa Ayah kandungnya …”

Benci, sangwira benci mengetahuinya, jikalau buah hati yang tengah menjadikan tubuh sang jelita inangnya itu bukanlah benihnya, bukan miliknya, atau pun milik keduanya, bersama.

“Aku janji, aku janji tak akan mengatakan pada siapapun, kalau … kalau kau yang telah menyekap ku selama delapan bulan disini. Aku janji Ravana, tapi ku mohon, pulangkanlah aku pada Jaka”

“Jaka … aku rindu. Anak kita sebentar lagi lahir, aku - aku takut kalau harus melahirkan anak kita tanpa mu disisiku” Gumam sang jelita seraya menangis semakin pilu dan mengusap-usap sayang perut buncitnya yang telah memasuki bulan kedelapannya itu.

“Hasyita …”

Suara serak dan berat sangwira buat sang jelita serentak bangkit dari posisinya, lantas mengusap pipi gembilnya yang dilinangi air mata.

“Apa … kau belum mencintaiku, lagi? Seperti saat kita masih remaja, dulu?

Sang jelita ingin menangis dengan keras, bohong jikalau hatinya tak lagi jatuh, delapan bulan diperlakukan bak seorang Dewi, yang hanya satu tuk dipuja-puji, yang selalu sangwira hormati seolah sang jelita adalah sosok yang paling suci, dan dengan rasa cinta sangwira yang begitu agung itu, tak sejengkal pun tubuhnya dapatkan sentuhan lancang, bahkan jarak mereka berhadapan pun hampir tiga meter jauhnya.

Namun sang jelita tak mungkin berani khianat, dia sudah sah sandang predikat istri orang walaupun cintanya masih dangkal bahkan tak setengah dari perasaannya kala bersama sangwira di masa lalu.

“Ravana … apa kau begitu mencintaiku?”

“Aku sangat mencintaimu, Hasyita” Jawabnya tegas walaupun suaranya terdengar bergetar dan embun tipis mulai melingkupi netranya.

“Kalau begitu, tolong pulangkan aku pada Ramajakanta, aku mohon, Ravana …”

Hati sangwira yang telah bernanah kini tengah ditikam ribuan sembilu, tenggorokannya yang kering kerontang semakin perih terasa kala nafasnya tercekat, kepalanya yang penuh akan ribuan pemikiran yang rumit berhasil mematikan fungsi otaknya, tubuh kekarnya yang begitu gagah nan tegap hilang wibawa, kekuatannya menguap seolah tak pernah singgah, bagian terkelam dari kelereng netranya bergulir risau kala menelisik air muka jelitanya yang penuh luka.

Sangwira rasa ia pantas pertahankan miliknya, lalu berinya seluruh dunianya beserta isinya, tanpa kata tapi, asal sang jelita mau tetap tinggal seumur hidup, bersamanya.

“Ravana?”

Sangwira tak menjawabnya, ia langsung beranjak pergi dari tempatnya semula, mengayunkan kaki jenjangnya tuk melangkah menjauhi sangkar emas sang jelita, yang dengan penuh rasa cinta ia bangun untuk yang terkasih seorang.

“Ravana, ada apa? Kenapa kau kemari? Ini sudah jam sebelas malam juga”

“Aku ingin berbicara serius, denganmu kak

“Masuklah. Oh ya apa kau sudah menjenguk Jinan? Di rumah sakit tadi ada Ayah dan Ibu, juga mertuamu”

“Kak, apa kau mencintai, Hasyita?”

Sosok yang di lontari pertanyaan tampak mengerutkan dahinya, sebab lagi-lagi diberi pertanyaan yang sama seperti hari lalu.

“Tentu, dia istriku?” Ujar Ramajakanta, seorang lelaki yang tampak begitu sehat bugar, tampan, dan tak sedikitpun terlihat frustasi, padahal istrinya sudah delapan bulan lamanya menghilang tanpa jejak.

Sangwira mengumpat keras di batinnya mendengar jawaban itu. Tentu katanya? Ia berujar yakin dan pasti dengan kondisi tubuhnya yang baik - sangat baik dan tak segaris pun tampak adanya guratan kekhawatiran disana.

“Setelah orang tua kita menikah, aku selalu menganggapmu seperti kakakku sendiri. Aku menyayangimu tanpa kata tapi. Bahkan saat kekasihmu menuduhku yang menghamilinya, atas perintah mu, karena kau mau melanjutkan pendidikanmu tanpa beban, aku dengan tololnya membantumu dulu”

“Ravana, maafkan aku, aku …”

“Yang tak kau ketahui, Hasyita adalah kekasihku, sejak lama” Akunya dengan jujur.

“Apa? Kenapa kau tak mengatakannya sejak awal?”

Jaka jelas saja terkejut, dia benar-benar tak mengetahui fakta itu sama sekali, bahkan setelah menikahi sosok Hasyita, dia tak pernah taruh curiga mengapa istrinya sering menanyakan keadaan adik tirinya itu.

“Terlambat, kau sudah menceritakan kronologi yang salah tentang pernikahanku dengan Jinan. Jelitaku tak lagi percaya kak, dia tak lagi mau terima diriku, dia enggan sama sekali tuk hanya sekedar menyapaku penuh kelembutan seperti hari lalu, dia sudah kecewa kak, kecewa atas kebaikanku padamu”

“Ravana, maafkan aku, aku benar-benar, astaga …”

“Pergilah ke apartemenku, kau tau kan alamatnya? Kata sandinya tanggal lahir Hasyita, dan Hasyita, istrimu itu ada disana. Aku mengurungkannya disana selama delapan bulan. Maaf, maafkan aku yang egois

Ramajakanta mematung menatap kepergian Ravana penuh sesal, dia benar-benar tak menyangka telah anugerahkan luka yang sebegitu besarnya pada sosok Ravana yang sudah terlalu banyak korbankan banyak hal untuknya.

“Bukankah seharusnya aku yang meminta maaf disini?”

pshaconne
pshaconne

Written by pshaconne

love yourself or let me loving you better than anyone.

No responses yet